Lpmarena.com- Akhir Bulan September 2017 telah dilakukan Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) oleh Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Hasil survey tersebut kemudian dikonferensikan pada Rabu (25/10) oleh Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta, DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, dan FPPI di Kantor DPD KSPSI DIY.
Hasil survey yang telah dilakukan oleh FPPI sebagai standar penghidupan yang layak antara lain, Sleman dengan hasil surveinya Rp. 2.697.336,00. Disusul kota Yogyakarta dengan Rp. 2.679.342,00. Kemudian Bantul, Rp. 2.532.463,00. Kulon Progo Rp. 2.243.163,00, dan Gunung Kidul Rp. 2.041.061,00.
Patra Jatmiko perwakilan dari PSM, menyampaikan hasil Survei KHL telah mengalami peningkatan untuk harga-harga bahan pokok. “Dan itu akan mempengaruhi besaran upah yang akan diberikan,” paparnya. Namun, akan ada pengecualian jika pemerintah tetap menerapkan PP 78 dalam system pengupahannya. Upah Jogja akan tetap minim karena perhitungannya mengambil skala inflasi tingkat nasional.
Irsya Ade Irawan selaku perwakilan dari Pemuda menyatakan harapannya agar hasil survey KHL dijadikan oleh Gubernur sebagai data pembanding dan titik acuan dalam penentuan besaran upah minimum. “Kalau harapan kami tidak diperhatikan, akan kami lakukan aksi seperti sebelum-sebelumnya,” ujarnya.
Hal itu dikarenakan, jika Gubernur tidak mengindahkan harapan masyarakat dan tetap menerapkan sistem pengupahan dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 masyarakat Jogja terancam tunawisma. “Kalau tetap menggunakan perhitungan dari PP 78, buruh Jogja akan tuna wisma dan jurang ketimpangannya akan semakin melebar,” tambahnya.
Irsyad menyatakan demikian, karena berdasarkan hasil Survei Badan Pusat Statistik (BPS) angka ketimpangan tertinggi se-Indonesia adalah Yogyakarta, dengan ketimpangan yang begitu tinggi Jogja adalah provinsi termiskin dari seluruh pulau Jawa.
Ia menuntut, gubernur DIY untuk menerapkan visi misinya ketika berpidato di depan masyarakat. Dengan menerapkan visi misi gubernur, Jogya akan menjadi kota yang Istimewa dengan upah yang mensejahterakan masyarakat.
Senada dengan Irsyad, Kirnadi ketua DPD KSPSI DIY menyatakan penolakannya dengan adanya PP 78 tahun 2015. “Hampir seluruh Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di seluruh Indonesia menyatakan penolakannya dengan adanya PP 78. Karena dengan PP ini, upah buruh hanya dinaikkan 8,9 %. Dan ini sama saja, nominalnya sangat rendah,” tegasnya.
Dengan nominal yang begitu kecil, angka ketimpangan Jogja akan semakin melebar. Hal ini dirasa Kirnadi karena harga bahan-bahan pokok dipasaran semakin meningkat tetapi upah pekerja atau buruh dengan adanya PP 78 tahun 2015 menjadikan nominalnya kecil.
Kirnadi bersama teman-temannya akan menyampaikan Hasil Survei KHL tersebut kepada Gubernur disertai harapan pada Gubernur dalam menentukan besaran upah dengan mengambil pertimbangan hasil survey KHL teman-teman, bukan dari Dewan Pengupahan.
“Dewan Pengupahan itu salah metodenya dalam melakukan survey. Misalnya, survey sewa kamar untuk buruh itu seharusnya di dalam kamarnya itu terdapat 60 item yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri No. 13 tahun 2012 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Jadi bentuknya rumah. Tetapi faktanya yang disurvei ini hanya kamar kost yang tidak ada 60 item tersebut,” paparnya.
Sebagai penutup, Irsyad kembali mengutarakan pernyataannya bahwa pemerintah Jogja bahwa memberikan upah yang minim sebagai keunggulan komparatif daerah Jogja. Hal ini dilakukan untuk menarik investor datang berbodong-bondong memenuhi pasar Jogja.
Reporter: Anis Nadhiroh
Redaktur: Wulan