Judul novel karya Rio Johan ini tergolong feminin. Diksi “Ibu” bertemu dengan “Susu” seakan melemparkan kenangan paling dasar usai manusia dilahirkan. Ia menyelinap serupa bayangan masa kecil, ketika ibu menyusui dengan penuh kehangatan. Dari dadanya tersebut, seorang ibu memberi hidup dan mendoakan bisikan-bisikan kasih hingga membikin anaknya tumbuh, mampu berpikir, dan mampu bertindak menjadi manusia.
Terkisahlah Firaun Tebh, seorang raja Mesir Kuno dengan permaisurinya Meth dikaruniai putra mahkota bernama Pangeran Sem. Namun, bencana terjadi ketika Pangeran Sem berubah kulitnya menjadi kelabu yang semakin hari semakin gelap, napas yang sangat lemah, dan lunglai seperti tanpa daya setelah disusui oleh ibu susu pilihan istana.
Sebelum penyakit itu menimpa Pangeran Sem, Firaun Tebh memimpikan sesuatu yang ganjil. Firaun Theb mengalami mimpi yang bukan kebanyakan. Mimpi tentang ruang dan waktu yang dipenuhi misteri dan pertanda yang melahirkan akibat-akibat yang majemuk dalam sebuah jagat tunggal. Dia melihat hujan susu. Hujan susu datang dari kantung susu raksasa yang meyembur dan luapannya menjadi-jadi, hingga negeri Firaun yang kering berubah menjadi sebasah susu.
Setelah para penafsir mimpi istana dikumpulkan, mimpi tersebut memang berhubungan dengan bencana yang terjadi pada Pangeran Sem. Tak ada yang bisa menyembuhkan Pangeran Sem kecuali oleh “susu” dari kantung susu seorang perempuan pilihan bernama Iksa. Dari tokoh Iksalah, masalah sesungguhnya bermula. Iksa, perempuan yang seluruh tubuhnya dipenuhi barah dan koreng, kecuali dua kantung susunya yang mulus. Dan Iksa mau menjadi ibu susu dan penyembuh bagi Pangeran Sem dengan tiga persyaratan.
Persyaratan-persyaratan itu dibuat Iksa sebagai usaha menjaga rasa keadilan. Di mana Iksa yang merupakan golongan leta yang lebih rendah dari budak, cacat, miskin, hina, mencoba memperjuangkan hak-haknya untuk kaumnya terhadap perlakuan, hukum, dan aturan tidak adil yang dibuat oleh kepemimpinan Firaun Theb. Ada tiga pesan utama yang memungkinkan dari tiga persyaratan itu:
Pertama, rasa keadilan itu sendiri. Kata Iksa, O Tuan yang beratas-namakan hukum / yang jujur dalam mengadili / janganlah derukan tututan akan kebenaran/ (hlm. 78). Iksa meminta Firaun Theb menyediakan ribuan deben bahan makanan, rempah-rempah, unggas, ternak batu-batuan berharga, seperti tembaga, perak, dan emas; untuk dibagikan secara merata terhadap para budak yang kalah perang di tanah leluhurnya. Leluhur yang miskin, melarat, dan serba kekurangan. Firaun Theb lalu memerintahkan anak buah dan wazirnya untuk mewujudkan keinginan perempuan Iksa yang pertama.
Kedua, tuntutan Iksa agar sikap-sikap tak peduli Firaun terhadap kaum-kaum minoritas segera diubah. Terlebih pada rakyat dan sejarah-sejarah yang disembunyikan. Iksa menceritakan tentang kisah perjuangan leluhurnya, yang kisahnya tersebut lenyap dimakan duli-duli gurun dan sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Iksa meminta kisah leluhurnya juga ditulis dan diceritakan.
Ketiga, terkait dengan perlakuan dan kesempatan mengembangkan diri dan kesejahteraan keturunan. Iksa berhak hamil dari benih Firaun, meski dia korengan. Dan setelah kelahiran anaknya itu, ketika ia tumbuh dewasa, anak itu juga berhak mendapat kekuasaan di tanah leluhur. Meski pada akhirnya, Iksa dan bayinya mendapat hukuman yang setara dengan perilakunya yang dianggap menanam benih-benih kudeta.
Yang paling menarik dari perempuan Iksa adalah kesopanan, keikhlasan, ketabahan, serta besarnya kasih dalam menghadapi penderitaan. Iksa mewakili alteritas orang yang mampu melakukan hal yang tak terbahasakan. Ia di luar batas-batas simbol. Fenomena ketidakadilan yang menyebabkan Iksa berkehendak.
Rio secara tidak langsung saya anggap sebagai aktivis emansipasi yang sensitif gender. Tak hanya lewat tokoh perempuan Iksa atau judul pemilihan untuk buku ini sendiri, tapi juga dalam karya-karya lain yang menunjukkan keberpihakannya terhadap perempuan. Semisal dalam cerpen karyanya yang berjudul Ginekopolis yang terdapat dalam antologi cerpen Aksara Amananunna, yang menceritakan bagaimana jika sebuah dunia dikuasai—bukan oleh laki-laki, tapi—perempuan. Bahkan dari hal sepele, quote yang ia cantumkan di data diri dalam akun instagramnya mengutip tokoh feminis Prancis, Simone de Beauvoir: all opression [sic!] creates a state of war, and this is no exception (Instagram @riojohan pada 29 Oktober 2017).
Melalui Iksa, alih-alih memarjinalkan perempuan, Rio justru mengkuduskan wilayah dada perempuan yang tabu menjadi suatu satire menarik untuk dikaji. “Susu” ibarat kesejahteraan dan “ibu” adalah bumi itu sendiri. Lebih lanjut, kajian terhadap tubuh perempuan salah satunya bisa dikaji dari perspektif filsuf Amerika, Iris Marion Young lewat esainya Throwing Like a Girl (1980).
Young menganalisis fenomena terhadap tubuh perempuan sebagai sang liyan. Young menjelakan bahwa tubuh perempuan merupakan beban yang serba rentan. Ini terjadi karena adanya transedensi yang ambigu, perempuan enggan untuk terlibat sepenuhnya terhadap kehendaknya; intensionalitas yang terbatas, tubuh perempuan yang tidak secara langsung menuju apa yang menjadi tujuannya, sering berputar-putar mencari orientasi; dan kesatuan yang terpotong dengan lingkungan sekitarnya. Iksa (bahkan Meth juga) boleh dikatakan sebagai subjek yang terkena tulah tubuhnya sendiri—seperti yang dikatakan Young.
Pada masa Firaun yang cenderung sangat partriarkis, saya menyayangkan kisah Firaun yang tidak sempurna. Pembongkaran Fir’aun Theb yang gagal meski dia diberi porsi lebih hingga 6 bab—Mimpi Susu Firaun Theb 1 s.d. 6. Semasa saya SD, guru agama saya bernama Bu Har bercerita Firaun di masa Nabi Musa sangat lalim. Firaun merampas hak-hak rakyat, membunuhi bayi laki-laki, dan berlaku sewenang-wenang dengan kekuasaannya; tapi di Firaun Theb saya tak melihat kekejian yang melebihi itu. Bahkan Firaun Theb sendiri cenderung berkarakter alim memperlakukan Iksa, permaisuri, dan rakyat-rakyatnya.
Di novel ini pula saya dipaksa untuk membuka kamus Bahasa Indonesia berulang kali untuk mengartikan kata-kata baru. Rio menggunakan referensi diksi-diksi yang jarang dipakai, yang memperluas kacamata pembaca dalam berbahasa Indonesia, di antaranya seperti luah, lekit, gabir, garib, dan sebagainya. Rio mungkin membuat buku ini dengan ditemani tesaurus elektronik dan kamus Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta. Gaya kepenulisannya pun beberapa menurut saya masih baru. Rio yang menggandrungi gim konsol, sejarah dunia yang jauh, dan nonton film tengah bereksperimen terhadap kalimat-kalimat yang panjang. Seperti di halaman 82, satu halaman hanya ditulis dengan satu kalimat. Tanda hubung utama adalah koma dan titik koma.
Ilustrasi-ilustrasi terkait plot karya Iqbal Asaputra cukup membantu saya mengimajinasikan apa yang terjadi. Sama membantunya seperti gambar-gambar yang ada di buku Le Petit Prince karya Antoine De Saint-Exupery terbitan Gramedia. Meski kisah-kisah dewa-dewi Mesir cukup mengganggu pikiran saya, sebab saya tak mengenal mereka. Saya ingin berteriak, “saya yang di sini tak dapat menjangkau apa yang di sana”.
Meski kelahiran buku ini semacam proyek yang digagas oleh Komite Buku Nasional lewat program residensi penulis, novel ini cukup segar dalam menu-menu yang dihadirkan para sastrawan Indonesia lewat karyanya. Rio pergi ke Jerman pada Oktober 2016 dengan kepala yang dipenuhi susu dan mitologi Mesir. Bangun setiap pukul empat pagi untuk menulis di apartemennya di Antonienstrasse milik imigran Kuba, Donatella Sanchez.
Nyaris, saya susah tertawa membaca novel ini. Meski dongeng, dongeng ini tak ringan. Apalagi bagi pembaca yang tak paham mitologi, ilmu botani, dan diksi-diksi kesehatan. Kerja ekstra Rio itu memang terlihat pada risetnya yang kuat; bermain ke museum-museum yang mengoleksi kebudayaan Mesir di Berlin, Paris, dan Amsterdam; dan membaca buku-buku yang sesuai dengan plotnya, Writings From Ancient Egypt, The Will of Naunakht, Religion and Magic in Ancien Egypt, Pharaoh, A Legend of Old Egypt, The Pyramid, dan serupanya.
Lebih lanjut, memahami penulis sekaligus memahami apa yang dibacanya. Memahami karya Rio Johan berarti juga memahami penulis-penulis yang dia favoritkan dan dia cantumkan di daftar akun Goodreads miliknya: Stanislaw Lem, Donald Barthelme, Bohumil Hrabal, Sigizmund Krzhizhanovsky, Victor Pelevin, Thomas Pynchon, Woody Allen, James Joyce, Virginia Woolf, DH Lawrance, Anais Nin, Agatha Cristie, Sigmund Freud, Djuna Barnes, Henry Miller, Leopold von Sacher-Masoch, Italo Calvino, Gabriel Garcia Marquez. Maupun penulis-penulis yang belum terdaftar di daftar Goodreads-nya—yakni penulis-penulis seangkatan Rio Johan yang saling berkawan akrab: Dewi Kharisma Michellia, Risda Nur Widia, Mario F Lawi, Dea Anugrah, Norman Erikson Pasaribu, dan lain-lain.
Akhirnya, kesustraan dari dulu selalu begitu, tak banyak yang mau berumit ria dengan sains dan sesuatu yang berbau “ilmiah”. Kalaupun ada, sedikit pula yang menjadikan sains tak hanya sekedar tempelan cerita. Dalam konteks kekinian, penulis kelahiran Baturaja dan alumnus jurusan Teknik Kimia tersebut coba menghancurkan ketakutan-ketakutan para sastrawan kanon atau sastrawan baru datang, yang susah diajak “bertema antimainstream”, “untuk jadi penjahat”, “jadi pemberontak”. Meski Rio bukan orang Mesir, tapi dia berani menulis tentang Mesir. Ini kelebihan tersendiri. Saya hanya membayangkan, jika orang Mesir yang membaca buku ini, bagaimana pendapatnya?
Judul Buku Ibu Susu │ Penulis Rio Johan │ Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia │ Kota Terbit Jakarta │ Waktu Terbit Oktober 2017 │ Jumlah Halaman vi + 202 hlm │ Dimensi 13,5 cm x 20 cm │ Peresensi Isma Swastiningrum
Bacaan Penunjang:
Batubara, Bernard. (5 Juni 2016). Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis. Diakses 26 Oktober 2017 dari www.bisikanbusuk.com.
Wuri, Dias Novita. (19 Desember 2016). Berlin, Gurun Pasir, dan Rio Johan di Tengah-tengahnya. Diakses 26 Oktober 2017 dari www.jakartabeat.net.