Perempuan sepuh ini bersikukuh, bagaiamanapun takkan menjual tanahnya. Sesering apapun aparat memaksa.
Baru seberapa bentar dari waktu subuh, masih dalam sayup-sayup kantuk saya bersandar di tembok saat seorang ibu tua tiba-tiba duduk dan sesenggukan di depan kami.
“Terima kasih, Mas. Sudah membantu berjuang. Terima kasih,” katanya. Wajahnya berpaling melarikan mata merah dari kami. Berkali-kali dia sampaikan. Relawan lain bangun, salah tingkah.
Rusilah (55) pulang dari mengungsi ke luar kompleks pagar besi sebelah timur yang ditanam Angkasa Pura I. Di lehernya masih mengalung kain jarit bekas menggendong. Bersama dua cucunya yang masih duduk di bangku Sekolah dasar (SD), dia menempati rumah orang tuanya yang kosong di malam hari. Setiap pagi ia pulang dijemput anaknya. Mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri yang terletak di Dusun Kragon, Desa Palihan, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Berada paling ujung barat sebelah utara, mepet dengan pagar besi Angkasa Pura sebelah barat. Luasnya tidak seberapa. Satu rumah itu dia tinggali bersama suami dan kedua anaknya yang sudah berkeluarga.
Sejak Sabtu (2/12) pasca pemutusan listrik oleh PT. PLN pada Selasa (27/11) di 48 rumah warga penolak, Rusilah mengungsi. Ia mengaku merasa gelagapan dalam gelap. Menurut Himawan Kurniadi koordinator lapangan relawan, pasca pemutusan tersebut warga memang menggunakan penerangan seadanya. Seperti lampu emergency dan lilin.
Waktu berlalu tidak peduli. Setiap hari, selesai mengurus cucunya mempersiapkan sekolah ia akan pulang. Bersama anak perempuan dan menantunya ia mencuci, membersihkan rumah, dan memasak. Dia tidak ambil pusing harus memasak lebih banyak dari biasanya. Bahkan senang dengan kehadiran relawan yang disebar di rumah-rumah warga.
Sekarang Rusilah merasa jauh lebih tenang jika dibanding beberapa waktu lalu saat rumah dan tanah tetangganya bernama Fajar diserang oleh Angkasa Pura I dan aparat gabungan (polisi, TNI angkatan darat dan angkatan udara, dan Satpol PP) dari PT. Pembangunan Perumahan (PP), pada Selasa (5/12). Rusilah menyaksikan aksi brutal aparat dari kompleks rumahnya yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Jantungnya bergetar. “Lemas. (Jadinya-red) Tidak punya gairah,” ungkapnya mengingat-ingat kejadian itu.
Pernah dia bercerita bagaimana membangun rumahnya sendiri. Harus jadi kuli kebun sawit di Kalimantan selama lima tahun dan memenangi arisan pada suatu kali. Sedikit demi sedikit bersama suami dan anaknya dia membangun rumah.
“Ngaduk semen sendiri, nyicil-nyicil dapat,” ungkapnya selalu dengan bahasa Jawa Kromo Alus. Bahkan keramiknya belum lama dipasang. Ia ingat biaya itu hasil menjual gabah dari nderep (membantu pemilik sawah memanen padi) selama 25 hari. Tapi, sekarang bersama 38 rumah warga penolak lainnya terancam digusur. Menurutnya sekarang sudah genap lima tahun Angkasa Pura mengganggu kehidupannya. “Mpun marem ngadepi aparat, Mas (sudah bosan menghadapi aparat, Mas),” aku Rusilah.
Aparat, intel, PT. PP, pegawai desa setempat, dan bahkan warga penolak yang membelot mendukung Angkasa Pura I kerap mendatangi rumah warga yang menolak konsinyasi.
Pandangan Soal Tanah
“Kulo niate nolak. Ninggali anak putu, (saya niatnya nolak. Meninggalkan [tanah] untuk anak cucu), ungkap Rusilah serius pada Kamis (7/12).
Tanah Rusilah seluas 500 meter persegi. Dihargai satu juta permeter karena letaknya masuk dari jalan raya. Di sekelilingnya, berserakan puing-puing rumah dihancurkan. Pepohonan besar dan kecil tumbang dan terkumpul di beberapa titik. Semua orang di sini tentunya tahu itu ulah sapuan backhoe PT. Pembangunan Perumahan yang ditunjuk oleh Angkasa Pura untuk menangani pengosongan lahan.
Adik iparnya sendiri sibuk menurunkan genteng dan mencongkel kayu dari rumah yang sudah ia serahkan pada AP I. Namun, dananya belum juga cair. Sebab, suami Rusilah, salah satu dari empat ahli waris tidak menyetujui penjualan itu. Pengadilan tidak mau mencairkan. Yunarto, putra tertua Rusilah bercerita banyak terjadi perpecahan di antara warga setelah kedatangan AP I. Bahkan dalam satu keluarga seperti anak kontra dengan ibunya.
Penolakan Rusilah, kerusakan lingkungan, dan lapangan pekerjaan, tidak menjadikannya dendam pada mereka yang sepakat dengan pendirian bandara. Pun tidak ditunggangi kepentingan apapun.
“Tidak dendam,” jelasnya. “Niatnya tulus nolak,” tegas Rusilah.
Baginya tanah adalah pusaka yang tidak akan dijual. Manusia hanya bergantian menempatinya. Mulanya dipakai oleh kakek neneknya, kemudian bapak ibunya, sampai dia sendiri. Ia berkeinginan mewariskan pada anak cucunya.
“Nggih mboten bakal didol. Lah naming turun temurun to Mas?” (Ya nggak akan dijual. Lah, cuma turun temurun (menempati) to Mas?)
Tanah di Palihan dan sekitarnya merupakan tanah yang subur dan stabil. Tidak pernah banjir ketika musim hujan dan kekeringan ketika kemarau. Pertanian selain padi pun beragam, antara lain, semangka, melon, cabai, bahkan bawang merah. Rusilah mengisahkan, sebelum digusur, sepanjang pesisir dari Palihan sampai Glagah penuh dengan kebun cabai. Dia yang bekerja sebagai buruh tani itu membutuhkan tiga bulan untuk memetiknya.
Berdasarkan data yang dihimpun Wahana Tri Tunggal (WTT) dan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP), sebagaimana dipublikasi oleh Jogja Darurat Agraria; jika bandara didirikan di lokasi ini maka masyarakat akan kehilangan 4.000 pekerja pertanian dari produksi cabai, 30 ton cabai per hektar per tahun, 60.000 pekerja pertanian semangka, 90 ton semangka, 60.000 pekerja pertanian melon dengan produksinya yang mencapai 180 ton melon per hektar per tahun, 12.000 pekerja dari produksi gambas, dan 60 ton gambas per hektar per tahun, 12.000 pekerja pertanian produksi terong, dengan hasil produksi 90 ton terong per hektar per tahun.
Rusilah sendiri tidak punya lahan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya dia bekerja sebagai buruh tani padi, cabai, atau yang lain. Ketika penggusuran terjadi, hilanglah mata pencahariannya. Hingga saat ini dia menganggur karena lahan-lahan ditelantarkan lantaran dibeli Angkasa Pura. Begitu pula tidak sedikit warga lain dengan mata pencaharian serupa Rusilah.
Hidup di kampungnya, meski tidak mewah namun sudah tercukupi. Segala kebutuhan dapur terpenuhi. Rusilah bercerita bagaimana antar tetangga berbagi sayuran yang mereka tanam. Mereka memetik sendiri cabai dari kebun dan kelapa dari pohon di sekitar rumah. Dengan kehidupan yang demikian Rusilah memandang bahwa kehidupan tidak bisa dipisahkan dari tanah. Sebab, semua kebutuhan untuk hidup dicukupi melalui tanah.
“Pokoknya orang hidup, hidupnya itu dengan tanah Mas,” kata Rusilah mengutarakan keyakinannya.
“Kok lemah didol (Kok tanah dijual),” protesnya.
Reporter: Syakirun Ni’am
Redaktur: Wulan