Lpmarena.com- Minggu(10/12), di sepertiga malam, hujan mengguyur deras desa Palihan, salah satu lokasi penggusuran lahan untuk pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Desa Palihan menjadi gelap ketika beberapa waktu lalu aliran listrik ke rumah warga diputuskan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Aku diapusi, nek wes padang tak obrak-abrik kabeh! (Saya ditipu, nanti kalau sudah cerah saya ubrak-abrik semua!)”amuk Sudiono, seorang pria tua yang muncul dari arah belakang rumah Purwinto, tempat solidaritas penolak NYIA berkumpul. Dalam keadaan basah kuyup, ia mondar-mandir sembari beteriak.
Sepanjang hari, Sudiono hanya bisa meluapkan ungkapan kekesalan. Dari pagi hingga malam ia hanya bisa meratapi puing-puing bangunan rumahnya yang telah diratakan oleh backhoe. Ia terus mengumpat, kepada Angkasa Pura yang telah meruntuhkan rumahnya. Ia tidak ingin meninggalkan bahkan menjual tanahnya, lebih memilih tidur beralaskan bekas puing bangunan dan pohon yang dirubuhkan. Jika hujan turun, Sudiono tidur di bekas kandang ayam milik Purwinto yang tak jauh dari rumahnya. Padahal ia sendiri kerap ditawari tempat tinggal oleh beberapa warga.
Menurut Purwinto, Sudiono memang sedang mengalami gangguan kejiwaaan. Sebelum rumahnya digusur, ia memang sudah agak stress, tetapi penyakitnya tidak separah sebelumnya. “Dibilang stres ya nggak, dibilang nggak ya stress,” ungkap Purwinto, yang bertetangga dengannya. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sangat memprihatinkan, apalagi kini, ia hanya hidup sendirian. Tak punya istri dan anak, kecuali 8 saudara yang sudah berkeluarga.

Sudiono saat tertidur pulas diatas rubuhan pepohonan yang berada tepat di depan rumahnya yang digusur. (Minggu,10/12)
Dari beberapa pernyataan warga setempat, Sudiono memang tidak pernah bermaksud untuk menjual tanahnya, sekalipun sebenarnya ia adalah orang kaya. Hanya saja saudaranya mengindahkan penyerahan kuasa tanah kepada pihak PT Angkasa Pura. Sehingga rumahnya dirobohkan beberapa waktu lalu. Berakali-kali ia telah diajak oleh keluarganya ke tempat relokasi, tetapi ia memutuskan untuk bertahan. Sehingga saat ini ia masih terlantar dan tidak ada lagi sanak yang datang menyambanginya. Padahal Sudiono dulu adalah orang kaya dan pintar. Orang pertama di kampung ini yang kuliah di UGM.
Badri selaku relawan solidaritas penolak NYIA menganggap bahwa penggusuran lahan tersebut tidak melulu berdampak pada harta (ekonomi), namun juga berdampak pada hubungan kultural antar masyarakat (sosial). Selama pembangunan bandara berproses, hubungan antar masyarakat kian menjadi terpecah-pecah. Mulai dari yang pro, kontra, hingga yang berusaha untuk moderat. Warga saling menumbuhkan sekat dalam berinterkasi di kehidupan sehari-hari mereka. Hal tersebut bahkan terjadi di dalam keluarga sendiri.
“Yah, saya kira kasus dari pak Sudiono bisa direnungkan, bagaimana dampak proyek ini membuka konflik batin antar masyarakat, apalagi dalam keluarga,” paparnya.
NYIA, Merusak Hubungan Sosial dan Kekeluargaan
Tidak hanya Sudiono yang terasing dari keluarganya, beberapa warga lain juga merasa terasing dalam berinteraksi. Para warga penolak bandara tersebut kerap berhati-hati saat menerima tamu yang berkunjung ke rumahnya. Salah satunya dari warga Desa Palihan yang tidak ingin disebutkan namanya oleh ARENA mengaku, pernah menerima ancaman dari keluarganya melalui pesan singkat atau SMS. Pesan tersebut berisi tentang penandatanganan surat terima tanah dari Angkasa Pura. Jika ia tak menyerahkan tanahnya atau tetap menolak, maka keluarganya menuntut uang ganti rugi. Sebab secara administratif tanah tersebut dulunya memang dipegang oleh keluarga. “Kalau saya tetap menolak, saya dituntut ganti rugi sebesar 15 Miliyar,” ungkap, warga yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut pada Senin (4/12).
Semenjak ia menerima pesan tersebut, kini ia merasa sulit lagi untuk berkomunikasi dengan keluarganya. Namun hingga hari ini, ia tetap memilih bertahan di rumahnya, sekalipun hubungan mereka sudah mulai renggang.
“Itu makanya, karena tanah adalah soal yang sensitif, maka bicara tanah bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal sosial. Soal kekeluargaan yang lebih luas,” lanjut Badri, sambil saling mengungkap fakta-fakta terdampak NYIA bersama para relawan solidaritas penolak bandara.
Report: Ilham M Roesdi
Redaktur: Wulan