Oleh: Maman Suratman*
Ada yang nyaris tak pernah beres di setiap perhelatan Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jika bukan pada aspek ideologisnya: tiada atau minimnya pendidikan politik; maka masalahnya—pasti—terletak pada tataran praksisnya: menjelma sebatas medan perebutan kekuasaan.
Pemilwa UIN agaknya begitu. Meski saya tak berani menyebutnya sebagai fakta, tapi di masing-masing momentumnya—setidaknya yang pernah saya temui, langsung ataupun tidak, laku yang demikian hampir tak pernah absen. Seolah yang begitu-begitu adalah keniscayaan. Sudah seperti kanker akut tingkat dewa saja—dibiarkan, menjalar; diobati, dioperasi, bisa-bisa mati. Rumit sekali.
Meski serumit itu penanganannya, tapi kita tetap tak boleh tinggal diam. Mesti ada upaya yang senantiasa harus kita lakukan, paling tidak diserukan. Istilahnya, ini bisa kita sebut saja sebagai tangggung jawab kemahasiswaan.
Mengapa dan Untuk Apa Pemilwa?
Mengapa Pemilwa penting? Bukankah apa yang selama ini dilahirkannya adalah kebiadaban? Untuk apa lagi eksistensinya diharuskan? Tidakkah sebaiknya Pemilwa itu dimatikan saja?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, saya jamin, hanya akan lahir dari otak-otak yang dangkal. Mereka hanya melihat Pemilwa dari jubah luarannya saja. Mereka tak mampu menarik apa yang paling otentik dalam prosesnya. Maka muncullah nalar politik yang banal seperti itu.
Pemilwa, juga ajang pertarungan kepentingan secara umum, sejatinya adalah sarana pendulang perubahan. Kita tahu, perubahan (yang baik) hanya akan mampu diretas oleh manusia-manusia unggul. Dan manusia-manusia unggul ini, seperti pelaut handal dalam pepatah, tidak akan pernah lahir dari ombak yang tenang.
Dalam rangka inilah Pemilwa menjadi penting. Sebab ia melibatkan kompetisi, sebuah ruang yang membuat orang harus bergelut, hingga melahirkan manusia-manusia unggul. Mereka inilah yang kelak akan bawa perubahan dari, oleh, dan untuk kehidupan kampus.
Naasnya, tak semua mahasiswa memandang kompetisi dalam Pemilwa sebagai ajang yang mendewasakan. Justru yang marak adalah penolakan atasnya. Mereka sebut keniscayaan ini sebagai mediumnya orang-orang liar, lantaran bertitik tumpu pada paham siapa kuat dia menang.
Padahal, tak ada perubahan tanpa subjek-subjek unggul. Sekali lagi, hanya dengan kompetisilah manusia-manusia unggul bisa lahir. Mereka inilah yang kelak jadi generasi pewajah peradaban. Sementara yang tersingkir, jika tak beralih memperbaiki diri kemudian berkompetisi kembali, maka akan jadi orang-orang buangan alias sampah.
Maka tak perlulah menolak kompetisi, apalagi sampai menyebutnya sebagai ajang tak memanusiakan. Sebab itu hanyalah ciri orang-orang tak mampu saja, yang enggan memajukan diri, yang pesimis. Ngeri sekali jika orang-orang semacam ini harus kita ikuti, bukan?
Meretas Peran Partai Politik Mahasiswa
Ketika bicara tentang perubahan kampus, terlebih melalui Pemilwa sebagai momentum utamanya, maka tak ada yang patut kita bicarakan selain peran Partai Politik Mahasiswa sebagai peretasnya. Upaya ini, selain mengingat semakin dekatnya agenda dua tahunan itu, juga sebagai tanggung jawab kemahasiswaan di sisi lainnya.
Kita tahu betul, eksistensi Partai Politik Mahasiswa di UIN hari ini semakin hari tereduksi, jika tidak melemah. Yang harusnya sibuk pada pengentasan agenda bernuansa pembaruan kampus, justru melulu tampil pada pengejaran kepentingan pribadi atau golongan semata.
Jangankan memberi kritik atas rancangan kebijakan rektorat, misalnya, yang mereka utamakan dan dianggap sebagai kerja-kerja politik itu adalah upaya pemenangan kandidatnya semata. Fatalnya lagi, mereka abai bercerita tentang mengapa mahasiswa harus memilih kandidatnya, dan mengapa tidak boleh mengarahkan pilihannya pada yang lain.
Dalam aksi-aksi kampanye pun, yang mereka umbar secara luas adalah kelebihan-kelebihan calon yang mereka usung belaka. Mereka lebih kerap mengumbar kelebihan kandidatnya, tapi enggan menyoal kelemahan-kelemahan yang ada padanya. Wajar saja jika banyak mahasiswa sering berprasangka buruk: tak ada kepentingan lain selain hendak menjadi partai penguasa setelah Pemilwa usai.
Yang tak kalah pentingnya mengapa kita harus bicara tentang peran Partai Politik Mahasiswa ini adalah karena kesadaran politik mahasiswa sendiri. Diakui atau tidak, kebanyakan masih punya kesadaran politik yang sungguh jauh dari harapan. Istilah “kesadaran kritis” sama sekali belum menubuh dalam jiwa-raganya.
Lazim, bukan, di mana politik masih dianggap sebagai istilah yang hanya menggambar pertarungan antar-elite belaka? Politik dimaknai tak lebih sebagai alat mencapai kekuasaan saja. Tendang-menendang, sikut-menyikut, begitulah gambaran yang tampak melulu diandaikan.
Dua alasan itulah kita harus menulis tentang peran Partai Politik Mahasiswa ini. Sebab, bagaimanapun, perannya dalam pembangunan kampus jauh lebih penting daripada peran HMJ atau UKM-UKM lainnya di Student Center sana.
Pendidikan Politik sebagai Keutamaan
Sebagai wadah pendidikan politik mahasiswa, peran Partai Politik Mahasiswa mestilah harus jadi ruang pembelajaran sekaligus perjuangan. Eksistensinya hanya harus menubuh dalam konteks pembangunan kampus kini dan ke depan. Inilah yang saya kira niscaya sebagai orientasinya, bukan pada yang lain.
Dalam konteks demokrasi skala luas, setidaknya ada 4 (empat) peran penting mengapa Partai Politik Mahasiswa dalam kampus diniscayakan. Keempat peran itu adalah sarana komunikasi, ruang sosialisasi, wadah kaderisasi, dan manajemen konflik.
Sebagai sarana komunikasi, Partai Politik Mahasiswa harus menjelma jadi corong aspirasi, yang istilah Soekarnois-nya disebut “penyambung lidah rakyat”. Konsekuensinya, lembaga ini senantiasa harus menghargai aspirasi yang berbeda-beda. Individu, kelompok atau golongan mahasiswa apa dan mana pun, semua dari mereka harus didengar. Perannya ini harus mampu mengarahkan politik sebagai alat untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada—bukan dalam arti menyeragamkan, tapi bersatu dalam perbedaan, toleran dalam keberagaman.
Untuk perannya sebagai ruang sosialisasi—saya menyebutnya sebagai ruang pendidikan politik, tak ada hal lain yang harus ditegaskan selain bahwa Partai Politik Mahasiswa adalah sarana penyadaran. Konsep atau semacam kurikulum pendidikan yang harus dilaksanakannya tak lebih sebagaimana konsep pendidikan ala Paulo Freire: menyadarkan dan lalu membebaskan.
Terakhir, sebagai wadah perkaderan (kaderisasi/rekruitmen) dan manajemen konflik, meski tetap penting dan dibutuhkan, saya kira hanya harus ditempatkan sebagai langkah yang bukan sebagai keutamaan. Sebab keduanya, langsung ataupun tidak, hanya akan tercapai jika kesadaran politik di kalangan mahasiswa itu sudah tumbuh.
Maka dengan ini bisa kita terangkan bahwa penyadaran politik—melalui sosialisasi atau pendidikan politik—itulah yang harus diintensifkan dalam kerja-kerja Partai Politik Mahasiswa. Kesadaran melalui pendidikan adalah keutamaan yang tidak boleh tidak harus diagendakan dari sejak awal.
*Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta