Published on April 25, 2018
*Oleh Abdul Qoni’ Akmaludin
Ketimpangan mencolok di antara orang-orang yang berbeda telah memicu tumbuhnya skeptisisme untuk melayani masyarakat bawah. (Amartya Sen, Kekerasan dan Identitas).
Teriakan keadilan yang disuarakan oleh pejuang kemanusiaan dalam mimbar bebas sudah tidak asing lagi. Baik itu dalam demonstrasi, seminar, dialog publik, maupun mimbar-mimbar keagamaan. Setiap orasi yang disampaikan seringkali menuntut pemerintah untuk menegakkan keadilan, terutama pada masyarakat bawah yang mengalami ketertindasan. Mereka menganggap keadilan tidak pernah terwujud apabila pemerataan kesejahteraan belum dapat terpenuhi dan pendidikan belum dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
Seringkali isu penggusuran, harga barang mahal, dan pelecahan dijadikan alat propaganda. Menarik perhatian masa untuk mendapatkan dukungan dalam menyampaikan aspirasi. “Mendidik rakyat dengan perjuangan dan mendidik penguasa dengan perlawanan,” menjadi jargon utama untuk membangun chemmistry dan membangkitkan heroisitas peserta.
Strategi seperti itu digunakan dalam mengatasi krisis moneter dan penjatuhan presiden otoriter, Soeharto pada tahun 1998. Presiden yang mengunakan kekuasaan sebagai ladang meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Menjadikan orang-orang yang loyal dengannya sebagai kelompok elite baru. Menguasai dan mengeksplotasi kekayaan alam negara untuk kepentingan segelintir golongan penguasa.
Namun, setelah digulingkannya Soeharto, bukan berarti masalah-masalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial negeri ini sudah dapat diatasi. Krisis ekonomi dan kesenjangan sosial justru mempunyai wajah baru, setelah kran demokrasi dan liberalisasi perdagangan dibuka.
Demokrasi memberi kesempatan kepada masyarakat sipil untuk duduk di pemerintahan. Memberi kebebasan kepada siapa saja yang ingin menyampaikan aspirasi karena memang keterbukaan pers sudah dilegalkan. Sekarang, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan aspirasi dan sudah tidak lagi memperoleh intimidasi karena kebebasannya sudah dijamin undang-undang.
Di sisi lain demokrasi juga cukup banyak menimbulkan kekecewaan. Pasalnya, orang-orang yang dulu membela keadilan dan kemanuisaan berubah menjadi manusia elite dan nakal. Jargon memperjuangkan keadilan tidak lagi diindahkan tatkala posisi kursi kekuasaan sudah berada dalam genggaman. Sama seperti kacang lupa pada kulitnya, atau memang perjuangan yang dulu dilakukan hanya sebagai alat pencitraan. Setelah misi yang diinginkan tercapai, semua itu layaknya sampah yang terbuang dan tak dapat didaur ulang.
Seperti kutipan di awal tulisan yang disadur dalam buku Amartya Sen. Perbedaan kesempatan dalam hal ini perbedaan kelas sosial, akan menimbulkan sikap skeptis seseorang ketika berinteraksi dengan yang lainnya. Selain itu dapat menimbulkan sikap skeptis satu sama lain, artinya tidak ada sikap saling percaya. Menimbulkan kecurigaan dan perasaan was-was dalam melakakukan komunikasi. Akhirnya tidak dapaat menciptakan suasana yang harmonis.
Hubungan tidak harmonis ini dapat dilihat dari setiap penguasa yang datang di daerah pasti menimbulkan perasaan curiga masyarakat. “Ada apa kok tiba-tiba mereka ke sini?” perkataan seperti ini seringkali muncul secara spontan dari mulut masyarakat. Sama halnya dengan penguasa yang selalu curiga kepada masyarakat bawah, taatkala mereka diberikan dana stimulan ataupun sembako. “Benar tidak ya, itu diberikan tepat sasaran?” Kecurigaan seperti ini kerapkali muncul dari para pendonor ataupun penguasa, sehingga dibutuhkan laporan sebagai lembar pertanggungjawaban.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah mengatakan bahwa di dalam tubuh pemerintahan dan politik Indonesia masih banyak maling. Sehingga dibutuhkan orang-orang yang berani untuk membasminya. Namun sayang, orang yang mempunyai keberanian dan idealisme tidak diberikan tempat dan tidak dibiarkan lama untuk bertahan di pemerintahan.
Sampai-sampai istilah yang popular kita dengar, “jangan menjadi politikus apabila kamu tidak berani berbohong. “Istilah-istilah tersebut menjadi bukti bahwa masih banyak hal yang belum selesai pasca reformasi walaupun sudah mengunakan sistem demokrasi. Masih banyak praktek-praktek Orba yang berjalan layaknya tradisi kebudayaan.
Kondisi sosial-politik saat ini mendapat banyak perhatian masyarakat. Semua orang ingin turut andil dalam berkontestasi politik. Akademisi, pengusaha, dan agamawan, semua elemen terbakar semangat untuk berpolitik. Tentunya, mereka menganggap dirinya mempunyai gagasan yang bagus untuk membangun negara.
Obyek politik akhir-akhir ini meluas dan menjadi perhatian masyarakat terutama netizen. Peperangan agama menjadi alat penting untuk memobilisasi masa. Seperti yang dikatakan Fazlur Rahman dalam bukunya Islam, bahwasanya umat beragama terutama Islam dan Yahudi mempunyai militansi yang tinggi terhadap agamanya, sehingga mereka rela melakukan apa saja untuk membela dan memperjuangakan agama. Kondisi seperti inilah yang terkadang dimanfaatkan politisi untuk menjual agama sebagai alat pemuas mencapai kekuasaan.
Seringkali kondisi tersebut mengurangi nilai atau esensi agama itu sendiri. Agama yang menawarkan kedamaian dan keharmonisan berubah menjadi sesuatu yang keras dan kaku hanya karena kepentingan tidak tersampaikan. Perbedaan cara pandang berpolitik menjadi alat jitu untuk menjelekkan bahkan memutuskan persaudaraan.
Kebenaran Tuhan yang Agung seringkali menjadi sempit dan dieksplotasi untuk kepentingan golongan tertentu demi menyelamatkan mereka dari ancaman keduniawian. Seperti yang dikatakan Fazlur Rahman bahwa kebenaran seringkali dibawa oleh orang yang mengiginkan sesuatu, sehingga kebenaran tidak lagi bersifat universal melainkan subyektif berdasarkan kepentingan.
Kondisi yang berlebihan tersebut hanya akan menimbulkan sikap sektarianisme. Membela mati-matian agama walaupun terkadang menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Agama dalam hal ini sudah menjadi barang komoditi yang mempunyai daya jual tinggi untuk diperdagangkan. Munculnya gerakan sektarian menimbulkan potensi terjadinya sikap intoleransi. Karena ukuran kemanusiaan seseorang bukan lagi dinilai dari seberapa baik etika seseorang terhadap orang lain. Melainkan berdasarakan seberapa sama pandangan politik dan agama yang diyakini.
*Penulis adalah penjaga stand takjilan Masjid Syuhada yang mengahabiskan waktu di Arena hanya sekedar ngopi dan makan gorengan.
Gambar: Anti Media