Published on April 24, 2018
Entah berapa kali saya harus menonton film With Honors yang rilis pada 29 April 1994 ini. Dalam dunia pendidikan, khususnya di wilayah perguruan tinggi, film tersebut cukup menarik untuk dikaji secara mendalam. Ada banyak sekali pesan-pesan yang disampaikan dalam setiap alur ceritanya, baik itu kalimat langsung yang diucapkan maupun peristiwa yang sedang terjadi di dalamnya.
Film ini bercerita tentang seorang mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan (Monty Kessler) yang sedang menempuh pendidikannya di Harvard University bersama teman-temannya: Courtney Blumenthal, Everett Calloway, dan Jeffrey Hawkes.
Pada suatu malam ketika Monty mengerjakan tesisnya, ia mendapat masalah karena komputernya rusak. Malam itu juga Monty bergegas menyalin kembali cetakan tunggal yang dimiliknya. Courtney memperingatkannya agar ia menunggu sampai esok, tapi Monty mengindakannya.
Karena ambisi Monty yang begitu kuat untuk mendapatkan gelar kehormatan tertinggi (Summa Cum Laude), ia tidak mempertimbangkan hal apa yang akan terjadi. Lagi-lagi ia mendapat masalah; ia terjatuh setelah menendang sebuah besi yang tertutupi salju, sehingga tesisnya jatuh ke dalam ruang uap Perpustakaan Widener.
Saat mencari tesisnya di ruangan tersebut, ia menemukan seorang pria berusia 50 tahun (Simon B. Wilder) sedang membakar tesisnya halaman demi halaman. Seketika Monty mencegatnya, namun tidak berhasil karena Simon mencoba menghajarnya dengan tongkat besi. Alhasil, Monty tak punya jalan lain untuk mendapatkan kembali tesisnya selain menerima kesepakatan dari Simon, yaitu one page, one thing. Setelah itu, Monty kembali ke rumah dan menelpon polisi untuk menangkap Simon.
Keesokan harinya saat Simon ditangkap dan diadili, Monty membayarkan denda yang dijatuhkan kepada Simon dengan tuduhan penghinaan terhadap majelis hakim sebanyak $50. Simon bebas, tapi masih berurusan dengan Monty.
Hari demi hari mereka lalui. Monty mengalami perubahan yang cukup signifikan selama bersama Simon. Saat pertama kali Monty dibuat kesal oleh Simon, ia menganggap bahwa Simon hanyalah seorang gelandangan yang tak bermoral dan tak berpendidikan. Tetapi kalimat-kalimat ajaib yang sering dituturkan oleh Simon perlahan-lahan membuatnya sadar.
Ada satu adegan di mana Simon ikut menghadiri perkuliahan Professor Pitkannan. Kala itu Pitkannan mengajukan sebuah pertanyaan kepada para mahasiswanya, seberapa jeniuskah konstitusi? Satu orang mencoba menjawab, tapi bukan jawaban yang benar. Meski sudah diperingati oleh Simon, Monty bersikeras menjawab pertanyaan Pitkannan. Monty akhirnya diam setalah jawabannya dibantah oleh Pitkannan.
Karena keributan yang dibuat oleh Simon, Pitkannan menunjuk Simon untuk memperkenalkan diri dan menjawab pertanyaan darinya. Saat ia memperkenalkan diri sebagai gelandangan Harvard dan berpendapat bahwa Harvard adalah kampus yang paling banyak memproduksi sampah, Pitkannan memberikan selembar uang karena mengganggap kehadiran Simon hanya sekadar meminta sumbangan.
Hal itu dianggap Simon sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya. Ia berjalan menghampiri Pitkannan dan mengambil uang yang ada di tangannya. Sebelum Simon keluar meninggalkan ruangan, ia menjawab pertanyaan Professor Pitkannan di hadapan seluruh mahasiswanya.
“Kau bertanya, Pak. Biar kujawab. Konstitusi yang jenius adalah bahwa itu selalu dapat diubah. Konstitusi yang jenius adalah bahwa hal itu tak membuat aturan permanen selain kepercayaan pada kebijkasanaan masyarakat mengatur dirinya sendiri,” kata Simon.
Pitkannan menyanggah, “Percaya pada kebijakan masyarakat adalah apa yang membuat konstitusi kurang dan payah.”
“Payah? Tidak, Pak. Pendiri negara kita adalah petani kulit putih yang sombong, tapi mereka juga orang-orang hebat karena mereka mengetahui satu hal yang hanya diketahui semua orang hebat; bahwa mereka tak tahu segalanya. Mereka tahu akan berbuat salah, tapi mereka meninggalkan cara untuk memperbaikinya. Mereka tak menganggap diri mereka sebagai pemimpin. Mereka ingin pemerintah rakyat, bukan orang kaya. Pemerintah yang mendengar, bukan yang berbicara. Pemerintah yang bisa mengubah, bukan cuma diam. Presiden bukan raja terpilih, tak peduli seberapa besar kekuasaannya karena konstitusi payah tidak memercayai dirinya. Dia adalah pelayan rakyat. Dia gelandangan, ya, Pak Pitkannan. Dia cuma gelandangan. Satu-satunya kebahagiaan yang dia cari adalah kebebasan dan keadilan!”
Simon pergi meninggalkan ruangan; semua mahasiswa di ruangan tersebut bertepuk tangan. Monty pun akhirnya ikut meninggalkan ruangan, lalu menyusul Simon.
Suatu malam saat Simon meminta untuk ikut tinggal di dalam rumah bersama yang lain, Monty menolak dengan bahasa yang halus. Simon mengetahui bahwa Monty membohonginya. Keesokan hari saat Monty mengantarkan sarapan untuk Simon, Simon menghilang dan menitipkan surat tentang pembatalan kesepakatan. Monty kembali stres karena batas akhir penyerahan tesis untuk mendapatkan gelar Summa Cum Laude semakin dekat dan ia belum mendapatkan secara utuh tesisnya dari Simon.
Monty tak peduli lagi dengan Simon. Malam itu ia melanjutkan kembali tesisnya dengan mengingat kembali apa yang pernah ia tulis, tapi gagal karena pikirannya tidak fokus. Courtney yang saat itu melihat Monty sedang stres memperingatkan bahwa masalah utamanya adalah Monty merindukan Simon. Monty pun akhirnya menyadari hal itu.
Liburan Hari Natal tiba. Saat Courtney, Jeffrey, dan Everett berlibur, Monty mendapat pesan, sekaligus dengan keseluruhan tesisnya dari Simon melalui seorang gelandangan. Monty mengabaikan tesisnya, ia justru penasaran dengan pesan Simon.
“Seharusnya kau tidak lagi menerima sesuatu dengan kedua tanganmu. Atau melihat sesuatu dengan gelap mata. Atau memberi makan hantu dalam buku. Kau tak harus melihatnya dari pandanganku atau menerima perkataanku. Kau harus memandangnya dari segala sisi, kemudian menyaringnya.”
Saat itulah Monty menyadari bahwa selama ini pikirannya hanya bisa menerima dari satu sudut pandang, yaitu dari pandangan Professor Pitkannan.
Monty lalu menanyakan keberadaan Simon, tapi gelandangan itu tidak memberitahukannya kecuali nama gereja. Malamnya, Monty mencari geraja tersebut. Ia bertemu dengan seorang pendeta. Pendeta itu mengatakan bahwa ini hanya geraja, bukan tempat penampungan. Lalu pendata itu memberikan saran untuk menelusuri gang yang ada di depan geraja karena para gelandangan sering berada di sana. Tak lama kemudian, Monty menemukan Simon yang sedang sekarat.
Ia mencoba untuk membawa Simon ke rumah sakit, tapi Simon bersikeras menolak dan meminta Monty untuk berjanji agar tidak membawanya ke rumah sakit. Akhirnya, Simon tinggal di rumah bersama Monty dan tidur di kamar Boz yang sudah lama ditinggalkan.
Satu hal yang tak perlu dilewatkan juga bahwa Simon mengidap penyakit Asbestosis karena galangan kapal di Baltimore, dan juga kapal dagang setelah meninggalkan keluarganya untuk bekerja. Para pemilik kapal mengetahui bahwa orang yang bekerja di situ akan kehilangan umurnya 20 tahun, tapi tetap membiarkan orang-orang bekerja demi keuntungannya. Simon tidak menyerah, tapi paru-parunya. Hal itu juga yang membuat Simon dipecat dari pekerjaannya.
Setelah diperiksa oleh dokter, Monty pun akhirnya mengetahui bahwa penyakit Simon sudah berada di tahap akhir, yaitu tidak ada lagi jalan untuk sembuh, hanya bisa menunggu waktu.
Beberapa hari sebelum Simon meninggal, ia menjalani sisa hidupnya bersama keempat mahasiswa itu. Monty belajar bagaimana harus menganalisis, tidak sekadar menerima apa yang orang lain ucapkan atau tuliskan dalam buku. Akhirnya, Monty mengubah, bahkan membuang gagasan dalam tesisnya yang diperoleh dari Professor Pitkannan, lalu membuat gagasan sendiri dari berbagai hasil bacaan dan pengetahuan yang ia peroleh selama menempuh pendidikannya.
Tidak hanya itu, Simon juga memancing Monty agar membuka hati dan pikirannya untuk Courtney yang selama ini tak diakuinya bahwa ia jatuh cinta dengan Courtney. Jeffrey sejak awal menolak kehadiran Simon pun takluk setelah Simon membuatkan Kue Prancis kesukaannya, lalu mengajaknya bercerita banyak hal. Simon juga memperbaiki mobil kesayangan Everett yang selama itu rusak.
Tiba hari saat penyakit Simon kambuh lagi. Ia meminta agar besok diantar untuk bertemu dengan anaknya. Monty mengiyakan permintaan Simon. Keesokannya mereka berangkat. Jeffrey memperingatkan bahwa ia harus menyerahkan tesisnya tepat waktu untuk mendapatkan gelar kehormatan. Monty mengindahkan itu. Ia lebih mementingkan Simon yang sekarat dan sedang ingin bertemu dengan anaknya.
Setelah tiba di lokasi, Simon enggan ditemui oleh anaknya. Monty membujuknya dengan mengatakan bahwa ia sedang sekarat. Anaknya pun menatap tajam, seperti dendam yang masih terpendam. Simon meminta maaf, tapi tak dimaafkan. Rasa sakit yang diterima Simon pun bertambah.
Di malam menjelang kematiannya, Simon meminta agar dibacakan buku Leaves of Grass karya Walt Whitman. Keempat mahasiswa itu saling bergantian membaca sampai tiba giliran Monty. Saat itu juga Simon menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah Simon dimakamkan, Monty membacakan surat kematian Simon.
“Simon B. Wilder meninggal pada hari Rabu. Dia melihat dunia dari jendela kapal kargo yang bocor, adalah seorang kolektor kenangan dan terganggu kuliah di Harvard. Selama 50 tahun di bumi, ia hanya melakukan hal yang disesali. Dia bertahan hidup dengan keluarganya! Jeff Hawkes yang selalu ingat untuk menyiram. Everett Calloway, yang tahu cara menggunakan kata-kata. Courtney Blumenthal, yang kuat dan juga tahu cara mencintai. Dan Monty Kessler akan lulus dengan predikat terhormat.”
Saat Monty menemui Professor Pitkannan, ia mengatakan bahwa semua tesisnya diganti dengan apa yang ia percayai. Pitkannan tidak setuju dengan hasil pemikiran Monty, namun ia mengagumi kebebasan gagasannya, sekaligus menyadari bahwa tidak semua orang setuju dengan gagasannya. Meski tidak mendapatkan gelar kehormatan karena keterlambatan, Monty dan teman-temannya telah mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman dari seorang gelandangan.
Judul With Honors | Sutradara Alek Keshishianu | Produksi Amy Robinson/Paula Weinstein | Penulis William Mastrosimones | Genre Pendidikan | Tahun 1994 | Durasi 103 menit| Pemain Joe Pesci, Brendan Fraser, Moira Kelly, Patrick Dempsey, Josh Hamilton, Gore Vidal | Peresensi Khaerul Muawan
Gambar: Mubi.com