Published on April 9, 2018
Lpmarena.com- Minggu siang yang terik, setelah melewati kompleks pesawahan dan perumahan warga, kami memasuki sekolah yang sepi. Tidak ada seorang pun di sana, kecuali seorang remaja dan seorang laki-laki dewasa yang mengawasinya. Osha, remaja 15 tahun itu sibuk menyiapkan dekorasi pada sebuah panggung kecil. Besok, Senin (2/4) mereka akan memperingati Hari Autisme Sedunia.
Laki-laki dewasa itu adalah Heri Hermawan, Wakil Kepala Tata Usaha sekaligus penjaga Sekolah Khusus Autisme ‘Bina Anggita Yogyakarta’. Bertempat di Jalan Garuda no 143, Wonocatur, Banguntapan, Bantul. Sekitar 600 ratus meter ke arah utara dari gedung Jogja Expo Center (JEC).
Mulanya, Bina Anggita adalah lembaga bimbingan autis yang didirikan pada 9 Agustus 1999 dengan nama Bina Anggita. Pada tahun 2005, sekolah ini mendapatkan izin operasional dan berganti menjadi sekolah luar biasa (SLB) Bina Anggita. Sekolah Bina Anggita memiliki jenjang pendidikan khusus autis dari jenjang Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Vokasi.
Sekilas pandang, sekolah ini tidak berbeda dengan sekolah pada umumnya. Terdiri dari ruang kelas, guru, kepala sekolah, perpustakaan, dan lainnya. Namun, di luar konsep fisik sekolah tersebut sangatlah berbeda. Seperti rasio guru dan murid yang hanya 1:2.
Hal ini memungkinkan karena jumlah murid di sekolah hanya 62 dan terdapat 23 guru. Kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB dibagi menjadi beberapa sesi. Sehingga, seringkali satu guru akan bertemu dengan satu murid.
“Karena anak autis itu unik. Jadi, misalnya, kita memiliki 62 siswa yang tiap orangnya memiliki karakternya masing-masing,” terang Ambarsih, Kepala Sekolah Bina Anggita.
Menurut Ambarsih, karakter unik ini terjadi karena orang autis memiliki kelainan pada syaraf sehingga mereka mengalami gangguan pada perilaku, sosial, dan komunikasi. Namun, perilaku unik yang ada pada orang autis harus dilihat sebagai bentuk komunikasi.
Pandangan tentang bagaimana autisme sudah bermunculan sejak lama. Dalam Buletin Psikologi volume 20 Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada yang dipublikasikan pada tahun 2012, S.A. Nugraheni Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, melalui tulisannya yang berjudul Menguak Belantara Autisme, menuturkan bahwa autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks. Kelainan ini sudah menjadi momok dalam dalam dunia kedokteran.
Penyandang autisme biasanya sudah mulai memperlihatkan gejala sejak bayi. Seperti mereka menolak digendong, menangis pada malam hari, dan tidur saat siang. Ketika anak mulai tumbuh, dia kerap berbicara dengan bahasa yang sukar dimengerti oleh orang tuanya.
Leo Kanner, pendiri Klinik Psikiatrik Anak-Anak Johns Hopkins mencoba menjabarkan fenomena autisme pada tahun 1943. Menangani 11 pasien kecil penyandang autisme, Kanner melihat adanya kesamaan gejala yang mencolok, yakni, bahwa mereka adalah orang yang sangat asyik dengan dirinya sendiri. Sampai seolah-olah hanya hidup dalam dunianya itu. Menurut hipotesis Kanner, hal tersebut disebabkan oleh gangguan metabolisme sejak lahir yang kemudian mengakibatkan mereka tidak dapat bersosialisasi. Sayangnya, hipotesis Kanner belum didukung dengan alat medis yang memadai.
Melampaui Kanner, Bernard Rimland, direktur Auisme Research Institue (ARI) yang memiliki anak penyandang autisme mengungkapkan bahwa kelainan tersebut disebabkan oleh adanya gangguan sususnan syaraf pusat (SSP). Selain itu, autisme juga bukan saja karena salah asuh, melainkan juga karena gangguan organik pada otak.
Seni Sebagai Media Komunikasi
Hari berikutnya, Senin (2/4) ARENA kembali berkunjung. Kursi-kursi yang tertata rapi di depan panggung diisi oleh wali murid dan tamu. Sedangkan siswa autis itu terlihat mondar-mandir dan kadang-kadang berteriak tanpa pelafalan kata yang jelas.
Beberapa kali master of ceremony (MC) menjelaskan kepada tamu bahwa hal itu harus dimaklumi dan dipahami sebagai bentuk komunikasi. Bahkan, di sela-sela acara, salah satu siswa autis memecahkan properti pameran fotografi yang ternyata adalah hasil karya dari siswa autis sendiri.
Di sekeliling panggung dan kursi peserta, karya anak-anak autis dipamerkan: fotografi, kaos yang digambar dengan cat pewarna, batik, beragam seni kriya dan sebagainya. Kebanyakan orang autis memang memiliki bakat seni. Di sisi lain, seni juga menjadi salah satu media komunikasi untuk memahami orang autis.
“Maka dari itu, di sekolah ini kita menekankan pada pengembangan bidang seni,” lanjut Ambarsih.
Osha, anak autis yang ARENA jumpai pada hari sebelumnya juga memiliki bakat musik. Kami sempat menyaksikan secara langsung bagaiamana jemarinya lincah dan sudah terampil memainkan tuts piano. Menurut kesaksian Wawan, Osha memang anak yang sangat cerdas. Tidak hanya ahli dalam bermain piano, dia juga ahli dalam mengutak-atik alat elektronik, dan pernah menjuarai lomba renang. Bahkan, menurut sang ibu, Herni, anaknya juga ahli dalam desain grafis digital.
Cara berkomunikasi Osha hampir sama dengan anak-anak pada umumnya. Menurut Herni, hal itu dikarenakan ia sering mengajak Osha berinteraksi dengan teman-teman di komunitas, warga desa dan sebagainya. Bahkan, Osha pernah masuk sekolah umum. Namun, perhatian pengembangannya hanya pada wilayah akademik, sementara pengembangan minat dan bakatnya tidak semasif di sekolah autis.
Kus Tri Haryati, salah satu guru di Bina Anggita menuturkan, metode pendidikan anak autis sebenarnya sudah pernah dirumuskan dalam Kurikulum 2013. Namun, hal tersebut tidak bisa diterapkan sehingga metode pembelajaran khusus anak autis terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.
“Karena anak autis itu tidak bisa distandarisasi dan disamakan dengan anak autis lainnya,” jelas Tri.
Magang : M. Sidratul Muntaha I. dan Zaim Yunus
Redaktur : Fikriyatul Islami, Syakirun Ni’am