Home KANCAH Peringatan Hari Kartini yang Entahlah

Peringatan Hari Kartini yang Entahlah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on April 22, 2018

*Oleh Anisa Dewi Anggri Aeni

Tidak bisa dipungkiri masih banyak di tataran sekolah dasar, sekolah menengah pertama menengah atas atau bahkan institusi atau lembaga resmi merayakan peringatan hari Kartini tak jauh dari parade busana, perlombaan memasak dan kontes kecantikan. Seolah hal-hal itu yang wajib dimiliki perempuan untuk dijadikan jati diri. Sosok Kartini sebagai simbol pejuang perempuan Indonesia luruh sebab peringatanya hanya didasari visualitas bukan kualitas.

Padahal dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang Kartini,  ia mengungkapkan, Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin ..akan pengaryhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibanya,kewajiban yang diserahkan alamsendiri ke dalam tanganya menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. Begitulah penggalan surat yang ditulis Kartini kepada Profesor Anton pada Oktober 1902.

Kartini sendiri sebagai sosok emansipasi yang terus-menerus bergerak di ranah literasi tak menemui kata bosan. Melalui tulisan – tulisan yang ia kirimkan kepada teman-temanya menarik untuk terus diperjuangkan hingga kesetaraan pendidikan di Indonesia khususnya Jawa dapat terpenuhi. Batas dinding yang menjulang pada masa itu sungguh tinggi, sekat antara laki-laki dan perempuan menjadi lebih tebal garisnya.

Bagaimana Kartini berjuang dengan sangat keras ketika sekolah bersaing dengan bangsa Belanda. Bahasa yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar tentu saja Bahasa Belanda, orang-orang Jawa diperlakukan oleh pemerintah tidaj dengan menyiadakn sepiring nasi di meja yang mereka tempati tetapi memberikan daya upaya agar dapat mencapai tempat makanan itu berada.

Ia bercerita bahkan dari segi Bahasa saja ada pengkotak-kotakan, belajar agama yang tanpa mengerti terjemah dan maknanya. Tetapi ia tetap menulis menuangkan pikiran dan gagasanya dalam Bahasa Belanda agar bisa diterima dan didengar oleh orang Eropa sana.  Tanpa menyisihkan basa Jawa sebab dalam keseharianya ia juga menggunakan Basa Jawa.

Peringatan kelahiran pejuang emansipasi lagi-lagi terjebak dalam ruang normative yang tidak jauh dari  kultur imperialism yang dibentuk untuk membentuk bagaimana mestinya laki-laki dan perempuan bersikap. Bayangnkan di institusi pendidikan setiap tanggal 21 April yang terjadi bukan menulis surat atau menumbuhkan budaya literasi sejak dini. Tetapi berlomba-lomba untuk memenangkan kategori peserta tercantik atau busana terapik.

Bukanya Pramoedya Ananta Toer sudah menegaskan, Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Pendapat itu pula dikuatkan oleh Soe Hok Gie jika ingin mengenal dunia maka membacalah. Dan jika ingin dikenal dunia  maka menulislah. Mari renungkan bersama betapa penting literasi di negeri ini. Terlebih melihat peringkat negara yang masuk 3 besar dari bawah. Ironis!

Lalu bagaimana murid laki-laki mempeingati hari Kartini? Seakan peringatan terebut hanya milik perempuan pasalnya lomba yang ada hanya diberlakukan untuk perempuan. Laki – laki menjadi penonton dan pendukung atas parade atau peragaan busana yang dilakukan temanya sendiri dan akan bersorak ramai bila sang model melakukan gerakan-gerakan sensual.

Visi Kartini yang terwakilkan melalui lagu Ibu Kita Kartini Ciptaan WS Supratman menjadi luruh ketika peringatanya hanya di ranah-ranah hedonis. Padahal Kartini diakui pula kebesaranya dalam buku garapan Hurustiati Kartini: Wanita Indonesia yang mengamini pula atas baris pertama lagu Ibu Kita Kartini bahwa memang Kartini Ibu Indonesia.  Imbas gerakan emansipasi salah satunya  banyak  perempuan-perempuan yang berpengetahuan dan terjun di sektor public. Mendobrak stereotip yang membelenggukan produktivitas dan partisipasinya sebagai manusia yang harus jalan beriringan.

Akan menjadi menarik bila peringatan siswa-siswai diberi asupan budaya literasi. Dengan lomba membaca puisi, menulis puisi, menulis surat, cerdas cermat atau lainya yang lebih mencirikan dan mengdepankan sisi edukasinya. Pengajaran agar menjadi pibadi yang baik, untuk bisa menemukan jalan kebenaran.

Namun, tak jarang juga sekoah atau institusi yang merayakan dirgahayu Kartini ini dengan cara- cara menanamkan mencintai budaya sendiri tanpa melupakan sisi-sisi literasi. Perlombaan menyanyikan lagu daerah, pidato Bahasa daerah sekaligus Bahasa asing dan cerdas cermat pula tak ketinggalan. Atau gerakan-gerakan yang lain yang merepresentasikan perjuangan Putri Indonesia yang sepanjang hayat ini.

Emansipasi yang diartikan saat ini sudah berbelok dari realitas nasib perempuan yang kerap mendapat diskrimniasi, ketimpangan, kemisikinan, atau bahkan keterbelakangan. Lalu apakah sebenarnya makna emansipasi itu saat lembaga atau institusi memperingatinya setiap tahun namun masih marak terjadi hal-hal semacam itu?

 

*Penulis adalah mahasiswi Sastra Inggris yang kini mengabdi sebagai Kepala Litbang di LPM Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung.