Published on April 14, 2018
Bulan Muncul di Dada Kami
Bulan masih muda waktu itu,
sedang bintang hanya berkelip, berkedip, dan terselip
di antara puing-puing malam yang menyembunyikan sayap bidadari
Begitulah malam,
Hanya bisa merebut cahaya
Lalu bagaimana bulan bisa menari sambil menemani kami bermain halma di serambi
Malam sudah melumatnya seperti buah kesambi
dan membaringkannya di keranda bersama sunyi
Neon-neon berkampanye menjadi bulan
dari ruang tamu hingga wc
lalu menyatu seperti donat
Tapi bulan kami tak seperti itu
Bulan kami purnama dengan pancaran nur yang selalu berkelindan di segala ruang
di hati kami, hati yang membutuhkan kehangatan
kala matahari pergi ke luar kota
mata dan mulut tak pernah mengatup
“Karena kuingin selalu ada bulan di sampingku.”
kini, kami bisa tertawa geli setiap melantunkan kidung rembulan
sebab setelah itu bulan-bulan muncul di dada kami
Karena Tak Ada Oase di Dadamu
menjelang senja aku terkapar di atas pahamu
selembut puisi
sebab cakrawala terlalu silau untuk kautatap
dalam lumatan sajak-sajak Rumi
di bandara layangan ujung desa, sayapku mengepak bak capung
membawa surat bumi pada langit
tentang datangnya kapal nuh
dari laut yang dibelah dengan tongkat musa
wajahmu selalu pucat kala bulan
datang dengan sebilah arit
dan i’tikaf bintang-bintang membuatmu
tenggelam dalam permainan monopoli
sementara itu,
anak kecil telanjang saat hujan merayunya
demi melampiaskan nafsu langit
: demi senja apabila tersenyum
akan kuteguk embun di kening dan bibirmu
walau matahari meniadakannya
: tak melunasi yang lebih indah
lalu di dadamu kutanam cinta angin
yang berembus
menembus
menghunus dedaunan
saat kuterima selembar daun
dari seekor kupukupu
mataku tak lagi melihat
berembus
menembus
menghunus
karena tak ada oase di dadamu
DUA PERIHAL PENGANTAR TIDUR
I
Bilamana kau ucap aduh pada batu
yang membuatmu terpeleset jatuh
pastikan hatimu setulus aku
biarkan darahmu mengalir
agar daging tubuhmu menghirup udara segar
yang selalu sabar memompa uraturat nadi di jantungmu
teruslah memandang jauh
sampai sebuah kalimat usang tiba di kepalamu
dari masa lampau yang kau mulai lupa siapa pengarangnya
: “tak ada yang lebih tulus mencintaimu dibanding aku”
Yang tak lupa luput lelah
Memanggil pedang pencabut nyawa.
II
Di sebuah pigura
waktu sejenak singgah
membekukan dirinya pada senyumanmu
ia mulai nyanyikan kidung suka dan duka kemarin
atau segulung benang bermata pancing
yang kau urai, ke arah masa yang akan datang
kabulkanlah, meski tak semua, Tuhan
Lalu hujan dan angin musim
Terus menderu
Terus berderai
Menyaksikan sejauh apa
Ketabahanmu tumbuh dan berbuah
Permen lolypop di bibir dan lidah manisan
Bayang-Bayang yang Meneteskan Darah
Pada musim dingin yang luka
Tak terdengar lagi derai kemanusiaan
Yang nampak di depan cermin hanyalah batu-batu yang dungu
Langit seketika runtuh dalam lipatan darah
Tiada persinggahan lagi untuk menatap matahari
Kegelapan teknologi telah begitu jauh menjadi kepala ruhani zaman
Semua yang diperebutkan hanyalah asap perih yang bertiup dari kegelisahan
Pagi itu aku berdiri pada ketinggian salju yang panas
Kaki berhamburan bagai debu-debu Tuhan
Kuteriakkan pada awan tentang anak yang kehilangan kepalanya
Namun, ternyata suaraku hangus
Menjadi semata bayang-bayang yang meneteskan darah
*Tsaqif Al Adzin Imanulloh, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2017 yang merasa hidup ialah sekumpulan ambisi.