Published on May 11, 2018
*Oleh Zaim Yunus
Jika kalian bertanya kenapa saya menulis, tolong jangan tanyakan lagi. Kepala saya telah retak oleh pertanyaan yang sama. Tapi, sungguh, tidak ada orang di dunia ini yang ingin jadi penulis. Saya pikir kau juga berpikir sama sepertiku. Ada dua kemungkinan ketika seseorang—terpaksa—menjadi penulis: pertama, ia ingin menyelamatkan nyawanya. Kedua, ia ingin bunuh diri dengan cara yang paling merepotkan. Dan saya memilih alasan pertama untuk menjawab pertanyaan kalian.
Satu hal yang ingin saya tanyakan kepada kalian, kenapa kalian menyukai hal-hal yang saya sembunyikan dan tidak sedetik pun terpikirkan untuk saya bagikan kepada kalian? Apakah kalian lahir dari orang tua yang sangat pelit hingga hadiah ulang tahun pun tak kalian dapatkan dan kalian perlu merebutnya dari orang lain. Tentu, saya tidak akan mengtakan hal itu pada kalian.
Meski kalian tidak memaksanya dan saya benci mengatakannya, saya akan tetap membagikan cerita dan pengakuan ini kepada kalian. Ya, saya termasuk orang yang tidak lihai menyembunyikan sesuatu. Apalagi perihal kesalahan dan kecelakaan yang saya alami hingga terpaksa menulis guna menyelamatkan nyawa saya sendiri. Saya tidak mau gara-gara menyimpan pertanyaan kehidupan saya menjadi terancam. Kalian harus tahu, saya punya dua orang anak untuk dinafkahi setiap hari.
*
Kisah ini dimulai sembilan belas tahun yang lalu. Ketika negara yang saya tempati saat ini sedang mengalami gejolak yang tidak bisa dihindari. Kala itu saya belum menikah dengan istri saya saat ini. Waktu itu kami masih pacaran dan suka mencuri ciuman di kamar mandi masjid atau halaman belakan greja setelah semua jamaah pulang.
Saya adalah remaja yang memiliki hobi yang umum pada masanya, hobi saya marah, sama seperti teman-teman saya. Dulu, kami sering mengasah ketajaman kemarahan dengan cara membaca, itu latihan paling efektif, kata pemimpin di antara kami. Kemudian dilanjutkan dengan pemanasan di lapangan, mereka—teman-teman dan saya—belajar berteriak dan menghamburkan kata sebanyak-banyaknya, tentu, kata yang kami hamburkan adalah kata-kata yang dapat membakar apa saja.
“Kota ini neraka, kita harus mengubahnya menjadi surga,” teriak teman saya yang berambut gondrong berbadan kurus.
“Setuju!”
“Kota ini penjara, maka kita harus membakarnya.”
Selain membakar kata-kata, kami juga melatih diri untuk membiasakan berbicara layaknya pelatih hewan di kebun binatang, juga mengumpat dan mencurigai segala yang asing. Waktu itu saya lupa, saya sering merasa asing dengan diri sendiri ketika berada di kamar kos bersama pacar yang saat ini menjadi istri saya. Tapi tidak apa, semua perlu dicurigai termasuk diri sendiri.
Satu hal yang saya tahu betul dari teman-teman saya adalah mereka benar-benar tahu cara membaca pikiran pejabat dan mencari kesalahan orang lain sampai hal yang paling kecil sekali pun. Jujur, saya tidak terlalu menyukai mereka. Saya lebih senang menghabiskan waktu di perpustakaan sepanjang siang atau datang di kos-kosan pacar saya ketika dia libur bekerja.
Di perpustakaan, saya bisa menghabiskan buku seperti orang-orang miskin menghabiskan nasi kotak berisi ayam bakar setelah menghadiri rapat suatu partai sebelum pemilu digelar. Saya juga sering ikut rapat partai, saya mengajak pacar saya juga, di sana kami bisa makan enak dengan hanya bermodal berangkat dan telinga yang pura-pura menyimak.
Selain menjadi anggota partai dan anggota organisasi pemuda pemarah, saya menyisihkan waktu saya untuk bekerja di salah satu penerbit kecil di kota saya. Saat itu, satu hari bisa sepanjang satu menit, tidak terasa malam tiba dan saya harus mengistirahatkan diri yang lelah. Kata-kata juga perlu beristirahat, umpatan dan kemarahan harus tidur agar besok pagi bisa segar kembali.
Setelah semua rencana disiapkan, perhitungan juga telah matang, saya dan teman-teman saya berkumpul di alun-alun kota. Kata-kata sudah siap kami lemparkan. Umpatan yang sudah dirancang jauh hari siap untuk di ledakkan begitu saja. Tentu, tidak hanya saya dan teman-teman saya yang datang di alun-alun kota. Banyak orang asing yang tidak saya kenal bergabung dengan segala umpatan yang tidak berbeda dengan kami. Saya percaya, makin banyak kepala makin banyak pula senjata.
Saya melarang pacar saya ikut, saya bilang, ia cukup di kamar saja, atau di perpustakaan, atau di manapun selama bukan di alun-alun.
***
Kami mulai menghancurkan kota sedikit demi sedikit. Hebat sekali ternyata kata-kata bisa menghanguskan apa saja yang ada di depannya. Pemuda-pemuda pengangguran yang pemalas juga ikut terbakar, mereka bergabung bersama gerombolan kami menghancurkan kota yang sudah dibangun tiga puluh tahun itu.
“Hancurkan!”
Tidak ada yang berani menghalangi kami. Tapi naas, tubuh saya yang tidak terlalu besar membuat saya tersenggol-senggol sampai akhirnya tersungkur dan terinjak-injak. Masih untung saya tidak pingsan, saya merayap di antara kaki-kaki menuju sebuah kebun untuk menyelamatkan diri. Saya berlindung di kebun kalimat.
Di kebun kalimat saya menyelamatkan diri. Sangat aman. Demonstran yang terbakar amarah sendiri tidak bisa menyentuh taman ini, juga polisi, kebun kalimat seperti jubah malaikat penyelamat yang sangat kuat hingga kata paling tajam manapun tidak dapat menembusnya.
Di luar kebun, demonstran yang berisi pemuda pemarah dan orang-orang asing melempar kata kepada polisi. Banyak polisi terluka karena lemparan kata. Begitu pun demonstran, banyak yang mati terkena kata tajam yang meluncur dari mulut senjata.
Tanpa ijin terlebih dulu saya pulang ke rumah. Jangan bertanya saya harus ijin kepada siapa, ya, tentu dengan ketua organisasi pemuda pemarah itu. Saya pulang tentu dengan lebam di seluruh tubuh. Lalu saya mengambil bolpoin dan menceritakan kisah pembakaran kota demi menyelamatkan nyawa saya yang tersisa.
“Menulis akan membuatmu abadi.” Saya teringat kata-kata itu.
Kata pacar saya setelah menutup buku di pangkuannya.
Saya pikir menulis adalah cara untuk menyambung nyawa, atau paling tidak menunda kematian. Dan betul, saya tidak jadi mati meski lebam di seluruh tubuh saya terasa nyeri.
Kemampuan menulis saya sangat buruk, bahkan saya hanya bisa menuliskan kisah tentang penghancuran kota oleh teman-teman saya yang hampir merenggut nyawa saya sendiri. Kisah itu saya ceritakan pertama kali kepada pacar saya yang sekarang jadi istri saya. Ia selalu tertawa mendengar itu, dan sampai sekarang ia meminta saya menceritakannya kembali ketika ia tidak bisa tidur.
Dua tahun setelah kejadian itu, kami—teman-teman dan saya—tidak pernah berkumpul. Organisasi pemuda pemarah sudah bubar. Saya tidak menemukan mereka. Dan saya masih terus-menerus menulis tentang kisah penghancuran kota itu untuk menyambung nyawa saya. Sesekali saya sempat terpikir ingin menulis tentang kisah seorang anak yang terlahir dari keluarga bantaran rel kereta membangun kota yang telah runtuh. Tapi selalu saja saya gagal. Saya hanya bisa menulis tentang kehancuran saja.
Tiga tahu kemudian, saya menikah dengan pacar saya. Saya terpaksa menikahinya lebih cepat dari rencana karena pacar saya mengaku ada yang menendang-nendang di dalam perutnya dan membuatnya mual. Karena saya tidak tega tidak ada yang merawat rasa mualnya dan mengantarkannya ke kamar mandi malam hari, akhirnya saya putuskan untuk menikahinya segera.
Saat itu di kota yang saya tinggali, semua harga sedang melonjak tinggi, termasuk cincin emas, mobil dan gaun mewah yang roknya dihiasi berlian mahal. Sebenarnya tidak ada hubungannya, meski harga sedang turun pun aku yakin tidak mampu membeli cincin emas, mobil atau gaun mewah yang roknya dihiasi berlian mahal. Maka saya memberikan cerita tentang penghancuran kota sebagai mahar. Saya yakin pacar saya yang kini jadi istri saya akan senang.
Permasalahan terbesar yang saya hadapi menjelang pernikahan bukanlah soal mahar atau perut pacar saya yang makin membesar. Tapi, saya kebingungan ketika harus mengirimkan surat undangan untuk teman-teman saya, khususnya teman-teman lama satu organisasi pemuda pemarah. Saya ingin mereka tahu, laki-laki seperti saya bisa menikah.
Tapi entah mereka di mana. tidak ada satu pun yang meninggalkan alamat rumah untuk saya. Di sini saya jadi berpikir, mungkin tidak punya rumah adalah cara yang paling cerdas agar surat tak salah alamat. Baik, saya tidak mengundang siapa pun di pesta pernikahan saya, siapa peduli, bahkan malah untung di saya, tidak ada yang diundang berarti membuat pengeluaran makin kecil bukan?
Setelah mendapat ijin dari kepolisian, saya menggelar perayaan pernikahan kecil-kecilan, hanya dihadiri saya dan istri saya saja. Ia sangat bahagia meski hanya kami berdua yang menari di tengah sepi dan lagu dangdut yang mengalun sendiri. Saya kecup bibirnya lama-lama, dia juga sama, mengecup bibir saya lama-lama. Kami bergantian mengucapkan janji untuk tidak saling menghancurkan.
“Kamu boleh pergi semaumu, tapi saya harus ikut, saya tidak ingin ada yang macam-macam denganmu,” kata saya setelah ciuman yang panjang itu.
Akhirnya kami menulis kisah-kisah setiap hari agar maut tak terlalu cepat merenggut kebahagian ini. Istri saya menulis cerita percintaan sepasang kekasih yang membangun rumah di reruntuhan kota, sedangkan saya masih terus-menerus menulis kisah kota yang hancur akibat amarah sekelompok pemuda pemarah, karena hanya itu yang bisa saya tulis.
*
Saya menulis kisah ini ditemani istri saya di samping. Meski hanya foto, bukan masalah. Istri saya meninggal dua hari lalu, meninggalkan dua anak dan satu kenangan yang sangat panjang. Saya tidak bersedih, dia tidak benar-benar mati, ia hanya beristirahat sebentar. Lagi pula saya masih bisa menemuinya di dalam kisah-kisah yang pernah ia tuliskan.
Dan kemarin, saat saya melihat televisi saya menemukan teman lama saya di sana. Pemimpin organisasi pemuda pemarah yang kurus itu sudah gendut rupanya. Ia mengenakan jas yang saya kira harganya sama dengan harga sepeda motor saya. Rambut panjangnya dipotong cepak. Saya kira ia tidak lagi jadi pemarah seperti dulu, tampangnya kelihatan sopan. Sepertinya ia sudah punya dua anak seperti saya, atau tiga barangkali. Tapi ada satu yang tidak berubah, dia suka digelandang polisi. Haha. Masih sama seperti dulu.
Nasib teman-teman lama saya kira sekarang jauh lebih baik. Mereka bertugas membangun kota yang pernah mereka hancurkan dulu. Dan saya hanya bisa menulis tentang penghancuran kota.
Saya pikir saya perlu menghancurkan kota ini sekali lagi.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hukum UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2017.
Gambar: Akurat