Dunia yang Berlari, Perihal yang Tersingkir dan Tertinggal
Modernitas adalah mimpi-mimpi indah yang sampai di telinga kami. Tapi, yang jelas, kami tidak pernah berharap, pada apa pun, bahkan pada doa-doa sekalipun. Kondisi pesimis. Kami percaya, demi keseimbangan, bahkan, optimisme perihal dunia modern yang paling sehat pun harus menyimpan keraguan. Dunia yang Berlari, begitu judul esai B. Hari Juliawan yang berumah di Majalah Basis, edisi Januari – Februari 2000. Melalui pembacaan dari Giddens, ia menangkap modernitas sebagai fenomena double-edged phenomenon, bermata ganda: menentramkan di satu sisi; menggelisahkan di sisi lain. Dunia yang memberi harapan perihal kemudahan, kecepatan, hingga kesejahteraan, tapi menyimpan “bom” yang siap meledak.
Di negara Dunia Ketiga, diskursus mengenai modernitas akan selalu dibumbui dengan kecurigaan. Betapa tidak, bayang-bayang tentang Barat sebagai kekuatan yang hegemonik akan selalu ada. Bahkan secara konspiratif, Barat, diwakili oleh kapitalisme, dianggap penyetir jalannya modernitas. Konon, mereka siap mengorbankan nasib miliaran orang di negara Dunia Ketiga demi keuntungan sendiri. Namun, tulisan ini tidak akan membicarakan hal tersebut. Tidak pula perihal Master Card, telepon selular, televisi atau rubuhnya perekonomian dunia dan perang nuklir. Tidak. Ini Sederhana. Kami hanya merasa terasing karenanya. Itu saja.
Menurut Yasraf Amir Piliang, pencapaian besar modernitas adalah dalam realisasi dan komersialisasi seluruh aspek dunia. Ia mengubah apa pun menjadi komoditi, menjadi tontonan, menjadi informasi, menjadi produk. Kami pun berada di orbit yang sama. Sebuah organisme hidup yang berfungsi layaknya mesin; produksi, reproduksi, dan terus menerus mengonsumsi. Yasraf menyebut era ini sebagai era “melampaui” atau hyper-modernitas. Era di mana semua tercapai, era kegemukan informasi, kemubaziran, dan perkembangan tanpa batas seperti kanker, tumbuh, berkembang tanpa kendali. Kasat mata, masyarakat modern tampak tidak punya masalah. Sebab kehidupan lebih baik dengan televisi, internet, toko online, video game, akses porno yang cepat, dan segala hal yang menyelimutinya.
Namun, ada yang makin menjauh. Dunia berlari dan beberapa di antara kami tertinggal. Tidak mendapat waktu berhenti dan mengambil napas. Jika menarik diri, roda-rodanya akan menggilas. Kami hancur. Sekali lagi, dunia akan membuat kami patah hati. Banalitas dunia yang digambarkan Yasraf sedang benar-benar terjadi. Dunia modern menyajikan banalitas informasi, banalitas produk, dan kemubaziran. Seperti warna kuku bintang K-pop yang menjadi informasi trendi di masa kini.
Dunia menggembung oleh informasi yang tidak dapat disampaikan pesan-pesannya; oleh produk-produk banal yang tidak ada nilai gunannya; oleh hutan rimba citraan media yang tidak menawarkan apa-apa pada manusia; oleh tontonan yang tidak menimbulkan konsekuensi apa-apa. (Yasraf Amir Piliang: 2000)
Hal yang selaras dengan kutipan Tyler Durden, salah satu tokoh dalam film Fight Club. Ia bilang, “Kita membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan untuk membuat orang yang tidak kita sukai terkesan.” Film yang dibintangi aktor Brad Pitt ini menampilkan kisah orang-orang yang menarik diri dari dunia modern/ dunia “normal”. Keluar dari wacana anarkistis yang dibangun dalam film tersebut, Fight Club adalah gambaran singkat perihal kejenuhan masyarakat modern. Film yang menyentil lelucon klise perihal “Gairah kebebasan yang ditawarkan dunia modern. Tentang uang yang dapat kita gunakan sesuka hati. Tetapi, seringkali, kita menghabiskannya dengan membelanjakan apa yang didiktekan iklan.” Kebebasan yang dipertanyakan.
Film yang mengorbit pada 1999 ini menyuratkan kengerian dunia kapitalistik. Di dalamnya dipenuhi konsumerisme dan meninggalkan ilusi-ilusi industri. Mungkin semacam Diderot Effect atau kondisi pembelian yang reaktif inilah yang menimpa si narator dalam film Fight Club. Pola konsumsi yang sering menjadi fenomen masyarakat modern.
Masih dalam judul yang sama, si narator adalah salah satu masyarakat modern yang kebingungan. Ia kehilangan diri. Ia adalah manusia “normal” peradaban modern. Dengan pekerjaan mapan ia menjadi konsumen tetap Starbucks. Ia juga gemar memborong produk-produk furnitur IKEA, yang kadang tidak terlalu penting, yang tidak ada nilai gunanya. Ini seperti yang dikatakan di atas, modernitas berkembang cepat dan berlari tak terkendali. Kembali mengutip Yasraf:
Ketika segala sesuatu telah berkembang melampaui batas, melangkahi fondasi, menyalahi logika, maka apa yang akan terjadi adalah proses penghancuran diri sendiri (self –destruction)—sebuah proses yang menggiring masyarakat menuju bencana dan kematian.
Film yang diangkat dari novel bertajuk serupa karya Chuck Palahinuk ini memang tidak dapat menggambarkannya secara utuh. Namun, paling tidak dalam film tersebut menyimpan kisah tentang orang-orang yang teraleniasi. Orang yang jenuh dengan kemapanan dunia modern dan mulai menghancurkan diri seperti Sid Vicious, vokalis band Sex Pistol. Berbeda dengan musisi punk kelahiran London tersebut, tokoh-tokoh dalam Fight Club menentang dunia dengan mendirikan kelompok tarung bebas, melakukan vandalisme, dan merencanakan penghancuran bernama Project Mayhem.
Keluar dari kondisi isolasi tersebut, kita mulai disadarkan oleh banyak hal. Melalui Baudrillard, Yasraf menyuratkan bahwa terdapat permasalahan di dunia ini. Dari persoalan sosial, politik, ekonomi, hingga seksual yang makin masif, tampaknya perlu adanya penyadaran. Dunia memang sedang tidak baik. Meski tak signifikan memberikan solusi, pria kelahiran Reims, Prancis ini menyumbang besar dalam membuka visi, kemampuan merasa, di tengah ketidaksadaran kolektif masyarakat global.
Dengan kecepatan dan kondisi hyper, kami merasa kehilangan diri sendiri. Hidup di tengah simulasi-simulasi dan akumulasi pasar benar-benar membingungkan. Kami tidak cukup lantang dan absurd layaknya Tyler Durden. Pun terlampau bodoh untuk menjadi ‘provokator’ seperti Budrillard. Memang dalam beberapa kritik terhadap Baudrillard, ia dianggap mengangkat realitas sosial terlalu ekstrim. Namun, paling tidak, ia menyadarkan kami. Dalam kegamangan hidup dan kegilaan dunia seperti ditulis di atas, kami hanya segelintir keresahan dengan secuil harapan. Seperti pemuda, kami punya mimpi—layaknya film Fight Club—kami ingin berciuman di atas loteng sembari melihat gedung-gedung simbol kapitalisme seperti bangunan penyimpan data kartu kredit hancur terbakar. Sekian.
*Penulis ingin tulisan ini dipublikasikan atas nama Zaim Yunus
Foto: blogs.informatica.com