Home KANCAH Menyalahkan Korban Pelecehan, Melanggengkan Budaya Perkosaan

Menyalahkan Korban Pelecehan, Melanggengkan Budaya Perkosaan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on June 13, 2018

*Oleh Anisa Dewi Anggriaeni

 

Saya geram ketika mendengar komentar dari orang-orang yang ikut bersuara perihal korban pelecehan seksual, entah itu fisik maupun non-fisik. Victim blaming, pernyataan yang menyalahkan korban, justru sering terlontar ketimbang menyatakan empati atau dukungan secara moril.

Alih-alih menyatakan sikap empati dan dukungan morilnya, mereka justru mencela lantaran pakaian yang dikenakan atau cara bicara yang manja dan mendesah. Padahal tidak satu orangpun yang berhak dilecehkan. Kalimat- kalimat sepert “Salah sendiri bajunya terbuka”, “Ya, dasar orangnya aja begitu” turut mewajarkan tindakan pelecehan seksual.

Baru-baru ini misalnya, ketika salah satu penyanyi dangdut kondang Via Vallen berani speak up lantaran perlakaun cyber sexual (pelecehan seksual dalam dunia maya) oleh orang yang tak dikenal. Keberaniannya mesti didukung dan diapresiasi penuh sebab jarang sekali korban yang berani melawan dan berbicara ke publik. Sialnya, tak sedikit pula yang malah mencela. Menganggap berlebihan atau membesar-besarkan masalah. Sejatinya segala bentuk pelecehan seksual apapun tidak bisa ditolerir, apalagi diberi ruang dengan cara membiarkan.

Dari hasil selancar berita di beberapa media daring, mungkin publik masih ingat kritik seksis yang dilontarkan kepada dokter Eva Carneiro oleh Jose Mourinho pada 2015 silam, lantaran menganjurkan salah satu pemain dari klubnya untuk istirahat karena cidera. Hal itu berdampak pada skor imbang 2-2 atas lawan. Menurut Mourinho, hal itu terjadi karena ketidakcermatan dokter. Carneiro diturunkan dari jabatannya sebagai kepala medis dan akhirnya dia pun mengundurkan diri. Lantas dia melaporkan kritik seksis yang diterimanya kepada pihak berwajib. Di kemudian hari, Mourinho meminta maaf di depan publik bukan secara pribadi. Dalam kasus di atas, kita melihat relasi kuasa berperan, pun misogini, dan seksis hadir dalam spektrum patriarki. Manipulasi seksual memang sering terjadi, adanya pemanfaatan kekuasaaan menjadi senjata pelaku untuk bebas melancarkan aksinya.

Victim blaming turut membantu  pelecehan seksual makin marak. Ideologi patriarki yang mengakar memang tak bisa dihindari dengan menempatkan perempuan sebagai second sex, subordinat, atau objek seksual. Seolah pelecehan adalah hal alamiah yang mesti diterima perempuan. Stigma yang jelas salah kaprah.

Kekerasan berbentuk fisik maupun non-fisik, dan terutama verbal, kerap terjadi di rung publik. Berdasarkan data yang dirilis Komnas Perempuan sebanyak 37 % kekerasan seksual terjadi di lingkungan rumah, 11 % di sekolah, dan 10 % di hotel. Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan menimpa siapa saja, entah laki-laki maupun perempuan, pun motifnya beraneka ragam. Ketika hal tersebut sudah terjadi, pelaku memasang otoritas, menggunakan relasi kuasanya, atau memposisikan diri sebagai sosok yang berhak melakukan itu. Namun, dalam kasus pelecehan sendiri seringkali nampak stigma lebih besar jatuh terhadap korban yang mayoriaas perempuan, ketimbang  pelaku yang mayoritas lak-laki.

Upaya Menekan Angka

Sikap yang menyalahkan korban di Indonesia sendiri masih marak; rape culture (budaya perkosaan) is real. Bukan saja rape culture yang membudaya, tetapi unsur seksis dan misoginis kerap menyumbang terjadnya pelecehan seksual.  Melansir dari artikel yang diunggah Tirto.id pada 10 Juni kemarin, budaya perkosaan sendiri merujuk pada sebuah fenomena ketika perkosaan dan kekerasan seksual sering terjadi dan dinormalkan atau dianggap biasa. Teori ini mulai berkembang pada 1970-an di Amerika Serikat saat feminis gelombang kedua mulai mendiskusikan upaya peningkatan kesadaran tentang menonjolnya angka pemerkosaan. Hasil bentukan dari nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis,merupakan  buah dari ideologi patriarki. Dalam ideologi itu, perempuan dan segala yang feminin ditempatkan di bawah kepentingan laki-laki dan apapun yang dianggap mewakili maskulinitas.

Data pelecehan seksual di Indonesia yang dirilis oleh Komnas Perempuan pada 2017 silam menunjukkan bahwa angka tingkat kekerasan seksual yang menimpa kaum hawa masih tinggi. Pada tahun 2014, tercatat 4.475 kasus, di tahun 2015 kasus meningkat hingga 6.499 kasus, dan pada tahun 2016 terjadi 5.785 kasus.

Jumlah yang tentu saja membuat miris bagi pembaca. Angka-angka yang tertera bukan malah menurun, tetapi fluktuatif. Menekan angka pelecehan sesksual tidak cukup dilakukan oleh perempuan saja, laki-laki pun mesti ikut terlibat; hal ini berlaku bahkan di semua kalangan. Edukasi seks sejak dini mesti dipupuk agar anak juga dapat memahami mana yang termasuk pelecehan sesksual dan mana yang bukan. Budaya tabu perihal  seks mesti disingkirkan terlebih dahulu, dilanjutkan dengan menanamkan edukasi-edukasi yang memahamkan.

Saya masih ingat betul ketika Rocky Gerung bekunjung ke kampus pada Maret silam. Dengan memanfaatkan kehadirannya, kami sengaja doorstop untuk  menanyakan perihal pelecehan seksual yang kerap terjadi di ruang-ruang akademik. Jawabannya singkat, ”Buat saja kurikulum berbasis gender dan diterapkan di setiap jurusan.” Lantaran buru-buru, itu adalah pertanyaan terakhir yang dijawab sebelum naik ke mobil. Beruntung, ketua Komnas Perempuan Azrina bersma Menteri Agama Luqman Hakim Syaiffudin menandatangani MoU(Memorandum of Understanding) intregasi HAM berperspektif gender dalam kurikulum Pergurun Agama Tinggi Islam, pada Minggu, 25 Mei kemarin. Semoga ini menjadi langkah yang baik menghadapi kasus-kasus berbasis gender yang tak kunjung bersua kata usai.

Jauh dari Kehidupan Harmonis

Menurut Muhamma Tholchah Hasan dalam sambutannya pada buku Perlindungan Terhadap Korban Pelecehan Seksual Advokasi Terhdap Perempuan (2011), meletakkan perempuan sebagai objek dan subordinat  sama dengan pengingkaran terhadap nilai-niai keadilan dan kesamaan derajat, serta pelecehan seksual atas hak-hak asasi manusia.

Perilaku semacam itu harus dihindari dalam kehidupan bermasyarakat  agar suasana nyaman dapat tercipta. Dengan bebas dari rasa khawatir, was-was, dan rasa takut. Namun kenyataan yang ada justru sebaliknya, krisis kenyamanan masih terasa, sehingga akan sulit untuk menjaga tatanan dan kehidupan yang mendamaikan.

Problematika yang silih berganti dan hiruk-pikuk kehidupan mestinya bisa diminimaisir bila setiap orang menjaga nafsunya. Keinginan, ambisi, dan tuntutan yang berlebihan sering berimbas pada tindakan yang di luar batas hingga muncul permasalahan-permsalahan baru yang lebih  kompleks dan beragam.

Beri Dukungan, bukan Menyalahkan

Lagi-lagi, victim blaming bukan hal yang pantas dilakukan ketika menjumpai korban pelecehan seksual. Menurut Yayasan Pulih – organisasi non-pemerintahan yang konsen pada layanan pendampingan korban kekerasan, menyatakan bahwa siapapun tidak pantas diperlakukan demikian serta apa yang terjadi bukan kesalahan dari individu korban, dalam artian tidak menghakimi korban. Memastikan bahwa korban aman dan merasa tenteram, mengingat perasaan was-was selalu mengiringinya, maka membangun keadaan yang aman di sekitar korban menjadi penting.

Apabila situasi dirasa sudah cukup kondusif, berikan apa yang diperlukan, misal memberi minum atau pertolongan medis bila ada luka. Jangan sekali-kali mencela; menunjukkan rasa simpati dan empati akan membantu memulihkan sisi psikologis korban. Mendengarkan, mendukung, dan mempercayai ceritanya akan semakin melegakan korban. Tunjukkan dengan kalimat yang mendukung secara moril dan sosial.

Memfasilitasi korban dengan informasi bahwa yang menimpanya merupakan tindakan criminal dan ada proses hukum yang berlaku termasuk informasi layanan pendampingan. Kemudian bantulah korban agar berani membangun relasi dengani berbagai pihak.

Kita tidak perlu berlarut-larut turut melibatkan diri dalam rape culture. Kalau perilaku semacam itu terus dimaklumi, lalu apakah kita akan membiarkan budaya barbar ini menjalar?

 

*Penulis adalah Mahasiswi Sastra Inggris yang tengah mengabdi di LPM Suaka UIN SGD Bandung

Gambar: Instagram Via Vallen