Home KUPAS Pesantren dan Perjuangan Kesetaraan Gender dalam Wigati

Pesantren dan Perjuangan Kesetaraan Gender dalam Wigati

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on June 2, 2018

Pada setiap resah, selalu ada kehendak untuk mencari jawaban atasnya. Sebab berdiam diri, tidak akan mengubah secuilpun dari perjalanan hidup. Pesan untuk selalu mencari dan memperbaiki adalah sebuah kebenaran yang tertunda. Ketika yang tersisa hanyalah hitam dan putih, setiap pilihan akan selalu menghantarkannya pada ujung yang hanya Sang Pencari yang merasakan. Selainnya; berpangku atas tafsir-tafsir terhadapnya. – Wigati

Wigati, santriwati di Pondok Pesantren Darul Islam Kembang Kuning Prajurit Kulon Mojokerto itu seketika menjadi buah bibir. Masyarakat pesantren yang semula digemparkan oleh situasi empatik bin mistis, lengkingan jerit dan amukan Ida Bojonegoro yang sedang kesurupan berubah menjadi tanda tanya. Bukan karena kesurupan itu bersamaan dengan istighosah kubro yang sedang berlangsung di mushalla, melainkan sesosok yang tiba-tiba muncul menjadi pahlawan di tengah ketakutan yang melanda.

Sosoknya pendiam, tertutup dan minimalis dalam bertutur sapa membuatnya tak banyak dikenal. Belum lagi sifat serta kebiasaannya yang tergolong nyeleneh dan mistik turut membentuk pagar pembatas dengan santri yang lain. Mandi di saat surup dengan air warna merah seperti darah adalah satu di antara keanehan-keanehan yang ada pada dirinya.

Selepas kejadian mencengangkan tersebut, pertanyaan-pertanyaan bermunculan tentang siapa Wigati? Mengapa sosoknya yang dianggap primitif dan tak bisa bergaul dengan sesama itu mampu mensterilkan keadaan mistis dan menakutkan yang tak bisa diatasi oleh santri-santri bahkan gus-gus dengan keilmuan tinggi sekalipun? Lintang Manik Woro pun juga merasakannya, santri yang akhirnya menjadi sahabat Wigati dibuatnya bergejolak, mendapati pergolakan batin antara menyudahi rasa penasarannya dengan tidak berbuat apa-apa dan menanggungnya sepanjang hidup, atau mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut yang sama halnya adalah mendekati Wigati yang tidak dikenal dan mistis itu.

Wigati digambarkan sebagai sosok manusia dengan masa lalu kelam. Ia harus menanggung derita atas dosa-dosa yang terjadi yang justru tidak pernah dikehendakinya. Terlahir dari pernikahan siri yang akhirnya menempatkannya pada situasi pelik, antara mengutuknya sebagai kesalahan yang tidak bisa dimaafkan atau menerima dengan berkompromi bahwa kejadian semacam itu adalah kesalahan oleh manusia yang berpikir pendek, yang pada saat tertentu ada kemungkinan individu-individu berbuat salah oleh sebab keterbatasan nalar yang dimilikinya.

Kadang saya berpikir, nikah siri yang digambarkan dalam novel Wigati ini tidak hanya menjadi narasi sosial masa lampau, melainkan ternyata fenomena realitas tersebut terjadi di tengah-tengah kita hari ini. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa, ada dampak-dampak yang berpotensi lahir dan merugikan salah satu pihak, yaitu perempuan.

Perempuan merupakan pihak yang sangat dirugikan manakala dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti ditinggalkan oleh suami, risiko kekerasan, dan seringkali berimbas pada status anak dari hasil pernikahan tersebut. Mungkin tidak hanya lakon Wigati yang hidup dan harus menanggung beban luka akibat pretensi buruk dari dilangsungkannya pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil ini. Tentu ada wigati-wigati lain yang mengalami nasib serupa dan perlu menjadi perhatian kita bersama. Wigati mengisahkan pergumulan batin perempuan jawa yang dikemas epik dalam latar pesantren.

Pesantren dan Perjuangan Kesetaraan Gender

Latar pesantren cukup memberikan nuansa baru guna membaca keadaan hari ini. Saya mengandaikan pesantren akan senantiasa melahirkan perempuan-perempuan progresif. Perempuan yang tidak hanya mengurusi kosmetik dan pakaian semata, tetapi mampu memahami hak-hak dirinya. Memperjuangkan apa yang menjadi perannya untuk berkarya dalam kehidupan. Minimal ia hidup dari pilihan yang rasional atas pembacaannya terhadap dinamikan sosial yang mengelilinginya.

Di Indonesia, feminisme sebagaimana disinggung di atas berjalan sangat unik. Gerakan perjuangan kesetaraan gender tidak hanya diinisiasi oleh kaum perempuan semata, tetapi juga kaum laki-laki. Laki-laki ditempatkan sebagai mitra bukan musuh.

Setidaknya saya menemukan itu pada tokoh Hidayat Jati dalam novel ini. Kehendak (bersama Lintang Manik Woro) untuk mempersatukan seorang anak yang telah lama berpisah dengan ayah kandung, peran proporsional dan relasi yang terurai merupakan ciri dari konsep man care atau laki-laki peduli. Konsep tersebut adalah komitmen bersama untuk mencapai suatu tujuan. Peran keterlibatan dirinya diceritakan sedemikian detail tanpa memaksakan kehendak salah satu pihak. Dan pada akhirnya, pilihan akhir ada pada tangan perempuan yang akan menentukan sikap atas dirinya sendiri.

Pesantren sudah seharusnya mengambil peran dalam perjuangan kesetaraan ini. Dimulai dari memberikan pemahaman terkecil kepada santri-santrinya sampai pada locus peran yang menjadi ruh perjuangan ini. Pesantren tentu tidak akan kehilangan marwah dan wibawa, tetapi semakin tinggi derajatnya jika tidak hanya berbicara soal keagamaan semata. Dengan memberikan penyadaran akan posisi dan tanggung jawab sosial yang akan diembannya ketika hidup di tengah-tengah masyarakat. Sebab saya meyakini bahwa terdapat dua arah kerja yang harus dipraksiskan dalam pesantren untuk mencapai santri/manusia yang kaffah, yaitu agama dan sosial.

Judul              : Wigati

Penulis            : Khilma Anis

Penerbit           : Telaga Aksara

Cetakan           : 2018

Tebal Buku     : 276 halaman

ISBN               : 978-602-60400-9-1

Peresensi         : Rodiyanto

 

Gambar: Shopee