Home CATATAN KAKI Program Pesantren Pak Rektor yang Bikin Mahasiswa Baru Galau

Program Pesantren Pak Rektor yang Bikin Mahasiswa Baru Galau

by lpm_arena

Published on July 13, 2018

Oleh: Isla Edogawa

Surat Keputusan Rektor Nomor B-3810/Un.02/R/PP.00/07/2018 menyatakan bahwa mahasiswa baru lulusan SMA dan SMK wajib mengikuti program pesantren atau ‘mondok’selama dua semester.

Kampus kami emang nggak kehabisan cara buat jadi topik. Mulai dari pengibaran bendera HTI yang Saya nggak tahu pake upacara macam apa, pelarangan cadar yang bikin rektor kami diberitakan media nasional berhari-hari, sampai pertigaan UIN yang adem sejak pak Yudian naik, mendadak panas pada Mei lalu. Dan yang terbaru, ya, program pesantren Pak Rektor ini.

Pengumuman yang sudah ditandatangani oleh rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi pada 5 Juli lalu telah beredar di grup-grup Whatsapp mahasiswa baru. Sampai sini saya belum tahu apakah Ridho, awak Arena yang jadi bandar link grup Whatsapp se-Jogja ikut memantau dan menginvestigasi.

Sebagai detektif swasta yang menangani kasus dengan gratis, saya turut menyelidiki kasus ini; menelusuri hulu hilir kebijakan, mewawancarai beberapa pihak yang terdampak, dan menghitung beberapa kemungkinan akibat yang menimpa dhedhe emesh kita. Dan yang penting untuk digaris bawahi adalah SK program pesantren tersebut beredar setelah banyak mahasiswa diterima. Hmm, terdengar seperti jebakan Bat Man. Selain itu, menurut Saya banyak hal yang harus dikaji ulang dalam kebijakan baru ini.

Tidak sedikit maba mengaku keberatan dengan adanya kewajiban mondok yang dinilai cukup diskriminatif. Karena Pak Lurah di kampung bukan Pak Dhe sendiri dan sedang sibuk ngurus e budgeting, protes disuarakan langsung oelh mereka. Terdapat banyak aspek yang mereka keluhkan, antara lain:

Diskriminasi Lulusan Sekolah

Kebijakan program pesantren yang wajib bagi mahasiswa baruUIN Sunan Kalijaga angkatan 2018, hanya diperuntukkan bagi lulusan SMA/SMK. Dalam berita yang diterbitkan lpmarena.com pada 27 Juni lalu, Pak Rektor memang menyatakan akan ada program pesantren bagi mahasiswa baru yang tidak mengerti baca tulis Al-Quran. Kebijakan ini juga sebagai upaya menangkal radikalisme yang menyebar di kampus-kampus.

Tapi, apakah itu berarti lulusan sekolah umum telah dipastikan tidak bisa membaca dan menulis Al-Quran dan rentan tertular paham radikalisme?

Dhini SIntia Putri, salah satu mahasiswa baru yang lolos seleksi jalur SNMPTN melihat kebijakan ini pilih kasih. “Yang sekolah di MAN, kok, nggak disuruh mondok? Sedangkan yang SMK dan SMA harus mondok. Apa MAN itu sekolah berbasis Islam dan gak wajib mondok? Gimana yang SMK dan berbasis Islam? Apa itu adil?” ujarnya melalui pesan Whatsapp, Kamis (12/7).

Dhini mengatakan bahwa tidak semua yang menjadi lulusan sekolah umum itu tidak bisa mengaji, begitupun sebaliknya. Pihak kampus terlalu menggenaralisir mahasiswa baru yang akan dikenai kebijakan baru tersebut.

Takaran yang digunakan oleh pihak kampus harusnya lebih objektif dan tidak memandang sebelah mata lulusan sekolah umum. Karena jika kita mau membuka mata lebih lebar, ada banyak sekali sekolah umum yang berada di bawah naungan pesantren. Hal ini tentu dapat menjelaskan kualitas lulusannya dalam hal mengaji Al-Quran. Jangankan baca tulis, tafsir Munir udah dibolak-balik, Pak.

Biaya Semakin Bertambah

Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya awal masuk kuliah tidaklah sedikit. Mulai biaya transportasi untuk tes, check up, registrasi ulang, biaya pendaftaran hingga pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi yang telah diterima. Merogoh kocek dalam-dalam adalah hal yang tidak asing bagi para pejuang perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Orang tua pasti sudah mempersiapkan uang beberapa gepok untuk keperluan tersebut, bahkan sampai jual sawah. Tapi jika tiba-tiba ada tuntutan tidak terduga semacam ini, semakin lengkaplah beban tanggungan mereka. Terlebih tidak sedikit dari teman-teman kita yang mau bayar UKT harus nguli terlebih dahulu.

Mendapat kejutan dari Pak Rektor, Heli Rismawaldi, orang tua dari Gesti Nindi Saputri, mahasiswi baru program studi Ilmu Komunikasi menolak kebijakan program pesantren ini. Dia membuat surat yang ditujukan kepada Rektor UIN Sunan Kalijaga dengan tanda tangan di atas materai 6000 pada 10 Juli kemarin. Dia keberatan anaknya tinggal di pesantren dengan alasan berdomisili di Umbulharjo, Yogyakarta, sehingga jarak ke kampus masih bisa dilaju dari rumah. Selain itu tentu saja tentu saja masalah keuangan keluarga.

Octia Putri, teman Gesti yang berdomisili di Piyungan, Bantul juga keberatan dengan kebijakan ini. Sebab bisa ditempuh menggunakan kendaraan dari rumah. Lagi-lagi, biaya menjadi permasalahan utamanya. “Biayanya malah semakin mahal kalau mondok,” ujarnya mewakili keluhan-keluhan yang sama dari grup Whatsapp program studinya.

Octia mengaku, sejak awal tujuannya memilih kuliah di UIN adalah untuk meperdalam program studi yang ia pilih, bukan memperdalam ilmu agama. Jika tiba-tiba ada kewajiban untuk nyantri, tentu di luar dugaan dan ia sama sekali tidak siap. “Ibuku juga nggak ngijinin,” tukasnya.

Biaya mondok memang tidak murah. Di komplek Al Farabi Wahid Hasyim, pondok yang jaraknya sekitar 2 KM dari kampus, pada 2015 lalu kalo dihitung-hitung sebulannya 250 ribu. Itu belum sama makan. Lumayan miring di Al Munawwir Krapyak, Komplek L misalnya, satu bulan biayanya 55 ribu buat yang nggak bawa laptop.

Transportasi Tidak Terjamin

Terdapat puluhan pondok pesantren di Yogyakarta, beberapanya di area sekitar UIN. Sayangnya tidak semua bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sebagian besar justru berjarak cukup jauh dan harus menggunakan kendaraan pribadi karena tidak dilalui kendaraan umum seperti Trans Jogja (TJ).

Wahid Hasyim termasuk lumayan dekat, berjarak sekitar 2 KM dari kampus UIN. Sayangnya tidak dilintasi TJ, dan satu-satunya transportasi adalah jasa ojek online dan becak. Tidak berbeda dengan Al Munawwir Krapyak, jarak dari halte TJ sekitar 2 KM. Giliran udah naik TJ masih harus muter-muter sampe terminal Giwangan dan baru sampai kampus sekitar satu jam kemudian. Bisa sih pake sepeda. Bonusnya, lulus kuliah kamu bisa jadi atlet.

“Gimana yangn nggak bisa bawa motor? Jarak pondok lumayan jauh,” ungkap Dhini Sintia Putri, mahasiswi baru jurusan Pendidikan Fisika asal Gunung Kidul. Sementara untuk naik angkutan umum tidak hanya menambah biaya, tapi juga tidak efisien.

Pada akhirnya pelaksanaan dari kebijakan Pak Rektor ini tidak mudah. Masalah di atas nyata dan dirasakan mahasiswa baru beserta keluarganya. Jika memang pihak kampus benar-benar peduli, maka harus betul-betul diperhatikan, terutama ekonomi keluarga. Kebijakan yang berbentuk hukum bersifat memaksa, kalau pertimbangannya tidak menyeluruh, mustahil kebijakan tersebut menjadi rohmatan li UIN.

Menangkal radikalisme memang sangat penting, mengingat penyebarannya yang subur di perguruan tinggi. Di sisi lain pondok pesantren memang salah satu ruang yang memiliki diskursus dan tradisi yang bisa menangkal wacana ekstrem. Namun, apa jadinya jika tholabul ilmi dipesantren tiu dipaksa dan menyusahkan keluarga?

*Isla Edogawa, mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.

Editor: Syakirun Ni’am