Home SASTRAPUISI Puisi-Puisi Farid Merah: Durhaka

Puisi-Puisi Farid Merah: Durhaka

by lpm_arena

Published on July 1, 2018

Durhaka

 

Sejak datang

Aku adalah kutukan

 

 

Dalam kemelaratan,

Masih usia belasan,

 

Kedua kalinya ibuku berbadan dua,

Itu tercatat baik dalam sejarah kecil lingkup keluarga.

 

Padahal ibu-bapakku ikut program terbaru

china dan orba,

Keluarga berencana bencana namanya,

Keluarga berencana bencana berencana bencana

berencana bencana,

 

“Ibuku minum pil KB,”

Di dalam perut ibu,

aku minum pil KB itu.

 

Lalu lahirlah aku.

 

Sleman, Yogyakarta, 24 juni 2018

 

Mati

 

Tenggelam di atas kasur

Setan-setan memprotesiku

Hatiku babak belur

Dihajar isi kepalaku sendiri

 

Sial … !!!

 

Kukira hanya keadaan semesta

yang jauh dari rahmat tuhan

Ternyata diriku,

Jauh lebih memprihatinkan

 

Yogyakarta, 28 oktober 2017.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tumbal yang ditumbalkan

 

Sejak kedatanganku di sini,

Usai dibai’at dan disumpah-sumpahi,

Satu hal itu sudah ku simpan di hati,

Dalam peti mati pribadiku sendiri,

yang menolak untuk pergi.

 

“Sejak saat itu kekeringan kekeringan melanda negeri

pribadiku

Tanpa dipungkiri lagi

Serangan demi serangan datang dari depan belakang

kanan dan kiri,”

 

Semua anggota tubuhku

berkehendak sesuai kehendaknya sendiri,

Tak ada campur tangan dariku lagi,

Mereka berontak pada kedirianku,

 

Bayangkan … !

 

Jika penglihatanmu di matamu hendak mengingkari

dan kesaksiannya sendiri,

Jika pendengaran telingamu hendak menulikan apa yang didengarnya,

Langkah akimu hendak menyesatkan perjalanannya sendiri,

Tanganmu enggan melepaskan duri dari genggamannya,

Mulutmu terus berbunyi, tapi mengkhianati pembicaraannya,

Otakmu hendak menyembunyikan pikiran yang dipikirkannya, logikamu mengabur,

akal sehatmu dikubur,

 

Oh jiwa ..

Jiwaku berlubang,

Berisi sampah,

Disulut api,

Aku terbakar,

Aku lumpuh,

Aku ditawan diriku sendiri.

 

Sleman, Yogyakarta, 10 juni 2018.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Surat buat Ida

 

Ida … !

Apa kau sudah bertemu dengan Nya di surga Da ?

Apa kau sudah menidurkan kepalamu di pangkuanmu mamakmu Da ?

Apa abahmu sudah membacakan dongeng terbarunya untuk menghantarmu tidur Da ?

 

Berat benar jalan yang mesti kau tempuh Da,

Dengan usiamu yang masih muda.

 

“Tapi aku kagumi keberanian masa mudamu Da.”

 

Sedang aku di sini,

Sibuk menenggalamkan diri,

di genangan batu luka yang mencair ini,

Berharap menemukan serpihan-serpihan bangkaimu Da,

Menjejali isi kepalaku dengan berbagai macam suplemen semangat,

Obat keagamaan, iklan sabun mandi, pidato-pidato pasta gigi,

dan propaganda-propaganda hidup yang mengaborsi kehidupan itu sendiri,

 

Aku tak menemukan apa-apa di sana Da,

Aku hanya menemukan diriku yang lain,

Ia menertawai keadaan pikirku yang tercabik-cabik dan jiwaku

yang luka-luka,

 

Sebab aku tampak bodoh dihadapannya,

Mempermalukan diriku sendiri,

Merusak diriku sendiri,

 

Lalu aku minta kepada diriku itu,

Agar ia memukul bagian belakang kepalaku dengan balok kayu,

“Sekeras mungkin … !”

Agar aku bisa mengubur diriku sendiri,

mengubur dendamku di kedalaman diri yang paling dalam,

 

 

Bantul, Yogyakarta, 13 juni 2018

 

*Farid Merah anggota Teater Eska.