Home KANCAH Larangan Bercadar bagi Mahasiswi Baru

Larangan Bercadar bagi Mahasiswi Baru

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on July 26, 2018

Oleh: Bagus NA*

Isu pelarangan cadar di UIN Sunan Kalijaga mencuat pada awal Maret lalu. Kebijakan untuk membina bahkan sampai mendupak mereka yang bercadar tersebut membuat kampus kami disorot media massa nasional dan lokal habis-habisan. Bahkan Reuters, media luar negeri juga turut meliput.

Namun, isu tersebut seperti tiba-tiba saja lenyap setelah Rektor mengeluarkan surat bernomor B-1679/Un.02/R/AK.00.3/03/2018 yang mencabut Surat Rektor nomor B-13-1/Un.02/R/AK/.00.3/02/2018 tentang pembinaan mahasiswi bercadar dengan alasan menjaga iklim akademik yang kondusif.

Hanya berselang beberapa bulan, permasalahan cadar muncul kembali. Sebagaimana bapak Yudian Wahyudi janjikan dulu, pelarangan cadar menjadi salah satu poin yang termaktub dalam surat pernyataan mematuhi kode etik universitas serta kesediaan menerima sanksi berdasarkan aturan yang berlaku.

Dalam poin tiga dan empat surat tersebut tertulis bahwa: “Sanggup tidak bergabung dengan organisasi apapun yang menganut paham anti Pancasila dan Anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan organisasi yang dilarang pemerintah (dan) Sanggup menggunakan pakaian yang menutup aurat dan tidak menggunakan penutup wajah selama berada di lingkungan kampus. Penggunaan kata “cadar” diperhalus dengan “tidak menggunakan penutup wajah”.

Sebagaimana kali pertama kebijakan itu dikeluarkan, hal ini tentu memunculkan argumen pro dan kontra. Namun, sejauh kami memantau diskursus tentang masalah ini tidak lagi seramai dulu. Mereka yang kontra berpendapat kebijakan tersebut melanggar hak asasi manusia, mengekang kebebasan berekpresi, stigmatisasi dan barangkali benar adalah diskriminatif.

Kami juga belum menjumpai pemberitaan media massa mainstream maupu artikel bebas mengangkat isu ini kembali ke publik. Sementara, pengguna cadar saat ini mungkin sudah merasakan betul diskriminasi akibat efek stigmatisasi akan terorisme, ekstremisme, dan anti pancasila. Kali ini mereka betul-betul berhadapan dengan pemaksaan melepas cadar.

Dengan kebijakan tersebut, pihak universitas membantu memperkuat stigma pemakia cadar itu radikal. Selain itu kampus juga menjadi pelaku diskriminasi. Hal itu bertolak belakangan dengan marwah kampus yang sering kita dengar: kampus yang penuh toleran dalam bertingkah laku dan menjalankan prinsip kebebasana akdemik.

Besar kemungkinan calon mahasiswa baru balik kanan dalam memilih dan mendaftar ulang akibat kebijakan semacam ini. Bagi mereka yang kekeh berpegang pada hasil ijtihad bahwa wajah itu aurat akan memilih kampus yang benar-benar membuka ruang diskusi dari berbagai macam ideologi serta menghormati apapun ekspresi keagamaannya.

Otonomi Kampus dan Ruang Dialog

Kampus memang memiliki hak otonomi dalam mengkondisikan anggotanya.  Siapapun mereka, ketika masih berada di bawah hierarki kekuasaannya harus mentaati kebijakan-kebijakan yang ada. Tapi dalam kasus ini, hal tersebut tampaknya tak bisa diterima. Sebab landasan dari pelarangan cadar itu hanya klaim tunggal semata dan ketakutan dari prasangka yang dipelihara.

Pertanyaannya adalah, mengapa kampus enggan membuka ruang dialog terbuka terhadap mahasiswinya yang menggunakan cadar? Mengapa, bagai pesulap, tiba-tiba langsung muncul instruksi pembinaan mahasiswi bercadar dan memaksa  calon mahasiswa baru menandatangani surat pernyataan tidak memakai cadar?

Alih-alih membuka ruang dialog, Rektor sendiri dalam pernyataannya kepada awak media sebagai mana diberitakan ARENA pada Maret lalu, belum mengetahui apa motif mahasiswinya menggunakan cadar. Rektor mengaku baru melakukan pendataan secara kuantitatif.

Sementara, bagaimana kita bisa mengidentifikasi seorang pemakai cadar itu menganut paham radikalisme sedang kita tidak tahu motif yang didasarkan pada prinsip yang dipegangnya? Dan kalaupun pihak kampus sudah melakukan penelitian dan menemukan ada kesinambungan antara penggunaan cadar dan paham radikalisme dalam keyakinan mahasiswinya, kenapa hal tersebut belum dipublikasikan dan didialogkan bersama?

Saya ingat pernyataan Rektor IPB kepada Tirto.co.id ketika menanggapi klaim BNPT bahwa kampusnya terpapar radikalisme, “Supaya bisa fair, supaya lebih enak, kalau itu berdasarkan hasil kajian, apa kriterianya, metodenya bagaimana, pengambilan data seperti apa?”

Pertanyaan serupa bisa juga kita ajukan kepada pimpinan kampus terkait organisasi apa yang dimaksud menganut paham anti Pancasila dan anti NKRI? Kenapa menstigma pemakai cadar itu radikal? Sanagat tidak bijak jika hanya dengan mengandalkan prasangka, kemudian dilanjutkan mengeluarkan kebijakan tanpa data yang kuat. Sementara calon mahasiswa baru terpaksa pupus untuk melanjutkan studinya. Alih alih memperbaiki, kampus justru semakin memperkeruh keadaan.

Sekali lagi, membayangkan UIN menjadi kampus Islam dengan keterbukaanya terhadap siapapun, yang tak peduli agama, ras, suku bangsa, maupun kebebasan berekpresi tampaknya muskil terjadi. Jika pengguna cadar saja masih didiskriminasi dengan kebijakan yang landasannya belum jelas.

 

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Akidan dan Filsafat Islam

Gambar: The Conversation