Home CATATAN KAKI Sulitnya Mencari Kos Murah di Sekitar UIN

Sulitnya Mencari Kos Murah di Sekitar UIN

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on July 27, 2018

Oleh : Fajriatul Kamelia*

 

Musim tahun ajaran baru sudah tiba. Menjelang masuk perkuliahan seperti, saya mesti mencari kos. Selain peringatan hari jadi saya dengan doi, hal ini menjadi agenda tahunan bagi mahasiswa seperti saya yang kontrak sewa kosnya hanya setahun. Bagi yang hubungannya kandas dalam hitungan bulan jangan tersinggung, ya.

Salah satu alasan saya memilih Jogja sebagai tempat kuliah adalah biaya hidup, seperti harga makan dan kosnya yang murah. Saya yakin banyak dari dedek emesh yang sekarang mendaftar di UIN Sunan Kalijaga mempunyai pandangan yang sama.

Karenanya, saya merasa harus mengklarifikasi bahwa yang namanya kos murah di dekat kampus UIN hanyalah mitos, bagaikan gombalan dari si doi yang jauh dari realitas dan tidak mengenal materialisme dialektika historis. Jaman sudah berubah, harga kos terus naik seperti berat badanku, tetapi UMK Jogja tetap rendah, piye jal?

Saya melakukan mini riset ketika mencari kos beberapa minggu terakhir, tentu saja dengan sampel kos putri. Hasilnya, ada tiga tingkat kos-kosan bagi mahasiswi, mulai dari yang biasa saja sampai yang harganya lebih mahal dari UKT golongan V di kampus UIN Sunan Kalijaga.

Pertama, tipe kos di sekitar kampus yang paling murah rata-rata harganya 3,5 juta per tahun. Luas kamarnya 3×3 meter dalam keadan kosong. Dengan kamar seluas itu anda tidak bisa mengisinya dengan barang-barang yang banyak. Jadi untuk mahasiswi yang hedon dan konsumeris tidak disarankan untuk ngekos di tipe ini. Harga kos tersebut belum termasuk biaya listrik dan air, ya. Ditambah dua yang terakhir totalnya 4 juta per tahun.

Jadi anda tetap harus merogoh kocek setiap bulan untuk listrik dan air, serta jangan lupa siapkan stok mie instan yang banyak. Dengan harga segitu kita hanya mendapat fasilitas seadanya: parkiran sempit, jemuran baju npas-pasan yang sering membuat kita mengantri, dan kamar mandi dipakai berjamaah. Dilarang sakit diare, ya, kalau ngekos di sini.

Kedua, kos dengan luasan 4 x 3 meter dengan kamar mandi dalam, tapi tidurnya tidak di luar kok. Harganya sekitar 5 – 6 juta per tahun. Hanya sedikit lebih luas dan terdapat kamar mandi dalam, tapi harganya sudah dua kali lipat lebih tinggi dari tipe kos yang pertama.

Ketiga, kos elit. Kos semacam ini sudah ada di daerah Sapen. Parkirannya lebih luas dari parkiran Fakultas Syari’ah dan Hukum. Weh, Pak Rektor, mosok parkiran fakultas kalah, sih, sama parkiran kos-kosan putri, heuheu. Luas kamarnya sekitar 4 x 5 meter dan dalam keadaan kosong. Fasilitas yang didapat adalah kamar mandi dalam, AC, dan juga terdapat mesin cuci kolektif bagi penghuni kos. Harga kos ini dibanderol dengan harga 1,5 juta perbulan. Ingat, per bulan, ya, gaess, bukan per tiga bulan apa lagi per tahun. Nominal sebesar itu sepadan dengan biaya UKT saya dalam satu semester. Dengan membayar 1,5 juta per bulan sama saja dengan kuliah di UIN selama 6 bulan. Saya bisa saja ngekos di sini, tapi harus jual ginjal dulu.

Menurut data statisktik yang diperoleh dari bincang-bincang serius di warung kopi, tingkat ekonomi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga menengah ke bawah. Berbeda dengan UGM ataupun UNY. Jelas, tipe kos yang kedua dan ketiga sangat amat menyakitkan bagi mahasiswi kita, dan bagi saya khususnya.

Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok mahasiswi pendatang. Sayangnya, tuntutan biaya hidup di sekitar kampus ternyata tidak berpihak pada keadaan ekonomi mahasiswa kita. Kecuali anda berani hidup nomaden: menumpang di kos temen ke kos temen yang lain, atau menginap dari warung kopi ke warung kopi.

Kemudian, apakah program wajib pesantren bagi mahasiswa baru merupakan jawaban dari permasalahan mahalnya biaya kos? Ternyata tidak juga. Menurut data yang dipublikasikan oleh ARENA, program wajib pesantren ini merupakan instruksi dari Kementerian Agama, dan lagi-lagi alasannya untuk menangkal radikalisme.

Padahal biaya masuk pesantren juga mahal, sist and bro. Di pondok pesantren Ulul Albab, yang jaraknya lumayan bisa bikin sehat jika bersepeda ke kampus setiap hari, biaya masuk kali pertama mencapai 3,8 jutaan. Jadi saya yakin itu bukanlah solusi terbaik yang bisa ditawarkan oleh UIN.

Akhirnya, saya kerap bersu’udzon, jangan-jangan mereka yang duduk di birokrasi kampus tidak pernah memikirkan bagimana tempat tinggal mahasiswanya; mahal atau tidak, layak ditinggali atau tidak, pokoknya bodo amat. Soal kebutuhan tempat tinggal nanti dulu, yang paling urgent itu menangani ideologi radikalisme.

Masalah kos-kosan bukan hanya di harga. Tetapi peraturan kos yang nggatheli. Ada peraturan yang menyebutkan jika teman tidak boleh menginap. Jika menginap wajib membayar biaya tambahan sekitar 25 ribu per hari. Parahnya peraturan ini juga berlaku bagi keluarga penghuni kos sendiri yang datang untuk menjenguk. Terdengar sadis memang. Ternyata kapitalisme bukan hanya merasuk pada pengusaha-pengusaha besar. Namun pemilik kos juga ingin kaya dan cepat naik haji.

Belum lagi peraturan yang menghambat kebebasan manusia dalam bertindak dan berpikir, yakni dilarang pulang kos di atas jam 10 malam. Hampir semua kosan putri di dekat kampus menerapkan peraturan tersebut. Tidak heran jika banyak mahasiswi menjadi apatis dan individualis. La wong kegiatannya cuman kampus-kos-kampus-kos. Sangat penting sekali-kali keluar dari cangkang, main-main ke Student Center dan bincang-bincang dengan kawan-kawan Arena. Insyaallah anda bisa menimba ilmu. Jangan diam saja di kos, lama-lama jadi candi!

Ternyata mencarickos saja bisa bikin pusing, ya. Lebih pusing dari menjadi Pimpinan Redaksi ARENA. Oh, iya, harga-harga di atas hanya sesuai pengalaman saya, ya. Kalau berbeda data perlu dibully.  Karena saya bukan Pak Rektor yang maha benar.

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Suanan Kalijaga. Aktif di organisasi Keluarga Aksi Mahasiswa UIN.