Home SASTRACERPEN Calon Pelacur yang Manis

Calon Pelacur yang Manis

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on August 18, 2018

Oleh: Khaerul Muawan*

 

Bukan hal yang sederhana ketika berhadapan dengan kehidupan.  Entah kata sandi apa yang telah kukatakan pada Tuhan hingga membuatku lulus tes untuk ikut serta dalam kehidupan ini. Sebuah kehidupan yang sukar dijalani. Andai kala itu aku tahu kehidupanku sesukar ini, lebih baik aku memilih tidak hidup sama sekali. Bagi mereka yang bisa bernafas dengan lega, menganggap kehidupan ini adalah segalanya. Tak memikirkan bagaimana melihat mentari pagi.

Sedangkan aku hanya memikirkan bagaimana mendapat sesuap nasi  untuk melihat mentari pagi. Mentari yang menerangi hari-hariku demi bertahan hidup. Terkadang aku hanya berterima kasih pada matahari. Meski islam agamaku tapi mataharilah Tuhanku. Begitulah kepercayaanku dari sebuah kehidupan.

Aku masih ingat saat usiaku masih sepuluh tahun. Di antara gedung-gedung tinggi dan lautan, sebuah tempat dimana aku menghabiskan waktu demi kehidupan. Sebuah anjungan yang dikenal dengan nama Pantai Losari adalah kantor bagiku. Pakaian kusut serta bolong-bolong adalah pakaian dinas terbaik bagiku. Meski tak ada tas, pena, buku ataupun komputer kumiliki, tapi setidaknya dengan modal dua tangan, wajah dengan ekspresi lemah tak berdaya dan suara yang membuat orang tutup telinga, bisa menghasilkan lima ratus rupiah tiap kepala.

Di samping menjadi anak jalanan, aku juga menjadi anak jajahan. Anak yang bekerja untuk sepasang manusia yang telah melahirkanku di kehidupan ini sebagai tanda bakti bagi mereka, katanya. Jika pulang dari dinas dan hasil jerih payahku membuat mereka tidak puas, maka hukum cambuklah yang kudapat agar mereka puas.

Ayahku yang besar, tinggi dan hitam membuatku selalu takut berhadapan dengannya. Ibuku besar dan cerewet, juga sama saja dengan ayahku. Hampir tiap malam mereka menyambutku dengan cambukan, bukan sebuah senyuman ataupun pelukan sebagaimana umumnya orangtua yang berbagi kasih dengan anak-anaknya.

Saat pertama kali aku diperlakukan sebagai budak, tangisanlah yang menjadi pengantar tidurku yang hanya beralaskan kardus, bukan sebuah cerita ataupun dongeng. Begitu pula saat aku bangun pagi, bukan sapuan halus yang penuh kasih sayang, melainkan gertakan dan pukulan yang penuh kekejaman. Maka tangisan pula yang mengawali hariku.

Aku juga masih ingat saat itu Risma, adikku, yang usianya lebih muda lima tahun dariku. Ia begitu disayang, dirawat bahkan didandani layaknya putri. Pakaiannya tidak pernah kotor. Ia dibiasakan hidup layaknya gadis-gadis penggoda. Entah darimana kedua orangtuaku mendapat uang untuk membiayai adikku ini. Ia tidak hanya dengan kasih sayang, tapi juga pendidikan yang layak.

Tapi dari semua kebahagiaan yang didapatkan adikku itu, tak satu pun yang tidak ia bagikan kepadaku. Bahkan ia mengajariku apa yang telah dipelajarinya di sekolah. Saat ia mendapat uang jajan lebih, ia mendatangiku di anjungan sepulang sekolah. Pernah suatu hari aku berbincang-bincang dengannya, saat itu usianya masih delapan tahun.

“Kak, kenapa mama sama papa jahat sama kakak?” pertanyaannya membuatku ingin menjawab semua keluhan yang kualami selama ini. Namun aku tahu, ia masih polos.

“Papa sama mama tidak jahat, dik. Mereka itu baik! Buktinya kamu disekolahkan, diberi kasih sayang bahkan diberi uang jajan lebih. Kakak ini cuma berbakti sama mereka, dik. Cara kakak berbakti sama mereka itu dengan seperti ini. Sedangkan kamu dengan cara sekolah, punya cita-cita biar punya uang banyak.”

“Tapi aku tidak mau lihat kakak dicambuk tiap pulang ke rumah! aku tidak mau, kak!” air matanya perlahan menetes, membasahi setiap kulit pipinya  yang masih halus. Aku berikan ia pelukan pertama.

Sesuatu yang indah dalam tangisan kurasakan dan itulah yang biasa mereka sebut kasih sayang. Aku kecup keningnya lalu kupeluk kembali dengan pakaianku yang kotor dan bau. Air mataku perlahan menetes. Aku sapu hingga bersih dan tak berbekas. Aku tak ingin ia melihatku menangis. Lalu aku lepaskan pelukanku darinya. kami duduk di hadapan mentari senja.

“Dik, kamu lihat matahari itu?” tanyaku padanya sembari tersenyum lalu menunjuk pada matahari senja itu.

“Iya, kak! Aku lihat. Kenapa, kak?”

“Kira-kira matahari itu kemana?”

“Tenggelam, kak.”

“Tidak dik, dia tidak tenggelam. Tapi dia pergi memberikan kehangatan di belahan bumi lain sehingga kita bisa merasa sejuk di malam hari. Bukankah dia itu adil? Ya, itulah tuhanku yang sangat adil!” ia terkejut mendengar ucapanku.

“Kakak Islam?”

“Iya, kata mama.”

“Islam punya Tuhan kak, namanya Allah. Kalau Kristen, nama tuhannya Yesus.”

“Allah itu hanya Tuhan untuk orang Islam yang kaya dik, bukan orang miskin seperti kita.”

“Tidak, Kak! Kata guruku, Allah itu Tuhan yang menciptakan matahari, bumi, dan semua isinya.” Dia menatapku serius. Seakan tak membiarkanku memuji matahari. “Kak, percayalah padaku! Nanti aku ajarkan bagaimana cara shalat.”

“Shalat itu apa, Dik?”

“Besok aku tunjukkan sama kakak. Tapi kakak ada waktu, kan?” aku menatapnya sembari meletakkan kedua tanganku di atas pundaknya yang kecil.

“Kapan sih kakak tidak punya waktu untuk adikku yang cantik ini?” dia hanya tersenyum. Kami memandangi matahari hingga terbenam.

***

Sekitar dua tahun ia mengajariku banyak hal. Aku sebagai kakaknya tidak menyangka ia sepandai ini. Selama di sekolah, ia selalu mendapat peringkat pertama sampai sekarang.

Suatu malam, pertikaian di antara kedua orangtuaku terjadi untuk yang pertama kalinya. Aku dan Risma kala itu  sedang membaca buku di kamar.

“Ternyata selama ini pekerjaanmu seperti itu, Riska!” bentak papaku dalam bahasa Makassar yang kasar.

“Lebih baik aku begini daripada kamu yang kerjanya tiap malam hanya main judi.” Balas ibuku dengan bahasa yang sama. Suara pertikaian mereka terdengar dari luar kamar. Risma ketakutan hingga ia memelukku.

“Tapi setidaknya aku punya harga diri!”

“Puih! Harga diri hanya akan membuatmu menjadi bangkai, Bobi! Sedangkan aku bisa hidup dengan menjual harga diri. Empat ratus ribu tiap kali main, Bobi! Tapi kamu malah tidak bersyukur. Kamu juga tidak tahu terima kasih. Kamu pikir uang modal judimu darimana? Dari aku, bobi! Dari aku! Bukan dari anakmu yang gembel itu.”

“Tapi aku malu, Riska! Aku malu! Ternyata kau tidak hanya main dengan orang lain, tapi juga main dengan temanku. Lima tahun kau sembunyikan pekerjaan sialanmu itu, Riska. Dasar pelacur murahan!”

“Pergi kau dari rumahku, Bobi! Sekarang rumah ini bukan milikmu lagi!”

“Oke, suatu hari kau akan menyesal, Riska. Ingat itu!”

“Sekarang aku mau pergi kerja. Kalau kamu masih ada disini saat aku pulang, akan kusuruh pacarku menghajarmu!”

Aku langsung melepas pelukan adikku lalu berlari ke luar kamar. Kudapati ayahku masuk ke dalam kamarnya, sedangkan ibuku pergi entah kemana. Tiba-tiba Risma keluar menghampiriku sembari memelukku.

“Papa sama mama kemana, kak!”

“Sssstt! Jangan bicara, nanti kita dipukuli lagi.”

Kemudian ayahku keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah tas.

“Papa tidak akan memukulimu lagi, nak!” ia berlutut di hadapan kami yang sedang berdiri. Tiba-tiba ia memeluk kami. Tangisannya pun pecah. “Papa akan pergi. Kalian jangan nakal, yah!”

“Pa, biarkan kami ikut. Kami tidak mau tinggal dengan mama. Dia sudah berubah, pa!” ujarku.

“Iya, pa! Aku mau ikut papa!” begitu pun Risma.

“Papa tidak bisa menghidupi kalian. Tapi tidak usah khawatir, papa akan kembali dengan uang yang sangat banyak. Nanti papa belikan Riska boneka Barbie yang cantik. Dan Riswan, papa akan belikan kamu HP canggih!” kami tersenyum mendengar ucapan seorang pria yang kami anggap ayah itu. Ia lalu pergi sembari menutup pintu rumah. Disitulah saat terakhir aku melihat ayahku. Tiba-tiba Risma menangis.

“Kak, aku tidak mau tinggal sama mama. Dia sudah jahat!” aku berjalan membawanya ke kamar untuk menenangkan pikirannya.

“Tidak usah pikirkan mama! Sekarang kamu baring lalu tutup mata dan bayangkan ayah datang membawa boneka Barbie yang cantik,” ujarku seraya menyanyikan lagu pengantar tidur untuknya. Aku sapu-sapu rambutnya hingga ia benar-benar tertidur. Aku pun berbaring di sampingnya sembari memeluknya. Aku menatapnya lalu berkata, “Apa pun yang terjadi, kakak tidak akan biarkanmu seperti mama, Dik. Cukuplah mama yang seperti itu. Kakak akan bekerja keras untuk menghidupimu, karena kamulah keluargaku yang tersisa, Risma.” Aku kecup keningnya lalu tidur dengan air mata yang kembali menetes.

***

Selama enam tahun lebih aku dan Risma berjalan bersama waktu. Tak satu pun hari yang kami lalui untuk bersenang-senang seperti anak lainnya. Selama itu pula, ibuku jarang pulang ke rumah. Saat bangun pagi, Risma memasak sarapan untukku. Dia belajar memasak dari teman-temannnya dan gurunya.

Saat ia berangkat sekolah, saat itu pula aku berangkat bekerja. Aku menghabiskan waktuku di anjungan hanya berjualan keliling dan mengamen. Kusisakan uangku untuk ditabung. Penghasilanku selama enam tahun membuat adikku bisa bersekolah dengan tenang. Sedangkan aku sudah tidak pernah mendapat cambukan lagi dari ibuku. Kini kehidupan ibuku berantakan dan tak terurus. Terkadang dia pulang dalam keadaan mabuk di saat larut malam.

Kami hanya mengunci pintu kamar dan diam tanpa suara. Saat suara ocehannya menghilang, saat itulah kami keluar mencari tempat yang aman. Biasanya, masjid di anjungan  yang tak jauh dari rumah kami adalah tempat untuk berisitirahat. Kami tak peduli dengan angin malam atau pun hujan, yang jelasnya kami aman. Saat menjelang subuh, kami baru pulang ke rumah mengambil pakaian lalu kembali ke masjid. Tanpa mandi pagi, Risma berangkat ke sekolah. Dan aku tetap bekerja. Menjual minuman keliling tidak mutlak aku kerjakan. Aku masih sering dengar rutinitas yang kulakukan sejak dulu, yaitu mengamen.

Selama bertahun-tahun aku menyanyi untuk bertahan hidup, akhirnya membuat suaraku terdengar lebih indah. Dengan uang hasilku pula, aku belikan gitar untuk memperindah syair lagu yang kunyanyikan. Aku tak pernah kekurangan untuk menghidupi adikku. Kini Risma juga semakin giat belajar. Tak ada waktu baginya selain membaca buku. Selepas pulang sekolah, ia terlebih dahulu mendatangaiku di anjungan. Selama enam tahun pula, uang jajan yang kuberikan padanya hanya ditabung. Ia tidak perlah jajan di sekolah. Katanya, dia tidak akan bisa menyantap makanan jika tak bersamaku. Semua makanan dianggapnya sampah jika aku tak ikut makan bersamanya.

Selama enam tahun, aku merasakan kebahagian hidup bersama Risma hingga tiba suatu malam dimana malam itu adalah malam terakhir kebahagiaanku direnggut oleh suatu peristiwa, tepat di malam ulang tahunnya yang ke tujuh belas ditemani hujan deras dan suara gemuruh dari langit serta cahaya kilat. Cuaca malam itu tak membuat kebahagiaan kami padam.

Di dalam kamar yang sudah dihiasi dengan balon warna-warni serta tulisan Happy Birthday. Kami menikmati kue Bolu sederhana dan  satu lilin kecil. Kami memakai topi kerucut yang kubuat dari karton manila berwarna. Kami tertawa, bernyanyi sembari memainkan gitar dan meniup lilin kecil bersama-sama.

“Selamat ulang tahun ya, dik! Semoga  adikku yang cantik, manis, imut dan baik ini, umurnya dipanjangkan dan rezekinya terus bertambah serta sehat selalu!”

“Terima kasih kakakku yang ganteng tapi bau.” Dia tertawa kecil lalu mengecup pipi kiriku. Aku memeluknya penuh kebahagiaan. Tiba-tiba suara benturan pintu terdengar dari luar rumah.

“Risma?” teriak ibuku memanggil adikku. Risma yang ketakutan kini memelukku dengan erat. Aku yang lupa mengunci pintu kamar, tiba-tiba terbuka. Ibuku berjalan menghampiri Risma dan menariknya keluar. Tangan kanan Riska berhasil lepas dari pelukanku. Aku langsung menggenggam tangan kirinya.

“Ma, Risma mau dibawa kemana?”

“Diam kamu, gembel!” dia terus menarik tangan Risma.

“Ma, lepaskan Risma! Dia tidak mau ikut dengan mama.”

“Hei gembel, asal kamu tahu saja, ya! Ada pengusaha besar yang siap membayar empat puluh juta untuk gadis perawan.”

“Tidak! Mama tidak boleh menjual Risma.”

“Lepaskan, gembel!” dia langung menarik Risma sekencang-kencangnya hingga tanganya lepas dari genggamanku.

“Kak, tolong Risma!” ujar Risma yang terus menahan dirinya  dengan kedua kakinya.

Kelakuan ibuku sudah melebihi batas kemanusiaan. Aku yang sudah berjanji dengan Risma malam itu, tidak akan tinggal diam. Dengan segera aku berlari ke dapur mengambil sebilah pisau lalu kutancapkan tepat di lehernya. Darahnya memuncrat membasahi pakaian Risma. Ia lalu menjerit ketakutan sembari memelukku. Aku kemudian menutup pintu rumah agar tak ada yang melihat peristiwa ini.

“Sekarang kita ke kamar. Masukkan semua barang-barang yang kamu perlukan,  terutama pakaianmu.” Ujarku seraya menariknya ke dalam kamar.

Risma yang ketakutan, segera melakukan perintahku. Aku mengambil uang tabunganku di bawah kasur lalu kuselipkan ke dalam tasnya.

“Tolong ambil dua kantongan besar di dapur biar pakaian kita di tas tidak basah!” tanpa kata penuh ketakutan dia melakukan perintahku.

Selepas itu, kami meninggalkan rumah. aku berlari sembari menggandengi tangan Risma. Hujan deras membasahi kami. Aku yang mulai ketakutan mencari tempat persembunyian, bingung harus kemana. Kami hanya terus berlari hingga tiba di depan masjid. Kami masuk lalu berteduh di teras.

“Dik, kalau kamu mau aman, cukup lakukan apa yang kakak perintahkan!” dia hanya mengangguk. “Sekarang ganti pakaianmu lalu tidurlah! Biar kakak yang jaga.” Dia benar-benar melakukan apa yang kuperintahkan. Saat hujan mulai reda, aku mengganti pakaian lalu beranjak tidur di sampingnya.

Subuh menjelang pagi, Risma membangunkanku dari tidur lalu mengajakku shalat subuh berjamaah. Selepas shalat, aku dan Risma segera bersiap-siap meninggalkan kota Makassar. Tiba-tiba.

“Angkat tangan! Jangan bergerak!” aku berbalik. Dua pria berseragam polisi menodongkan senjata di hadapanku. Mereka perlahan mendekat . “Anda adalah tersangka pembunuhan terhadap ibu kandung sendiri.” Mereka lalu menangkap kedua tanganku.

Aku lalu dibawa keluar dari masjid. Risma yang terkejut berlari menghampiriku.

“Kak, jangan tinggalkan Risma!” dia lalu merangkul kaki salah seorang dari polisi itu. “Pak, tolong jangan tangkap dia! Cuma dia satu-satunya keluargaku yang tersisa.” Ucapannya membuat tangisanku pecah.

“Pak, izin aku bicara dengan adikku sejenak!” kedua polisi itu saling memandang lalu melepaskanku. Aku langsung memeluk Risma yang sudah dalam keadaan posisi duduk terseret.

“Risma!” ujarku sembari menatap seluruh wajahnya. Aku sapu rambutnya dari atas hingga ke bawah berkali-kali. Kusentuh pipinya lalu kusap air matanya. “Adikku sayang! Hari ini adalah hari ulang tahunmu yang ke tujuh belas adikku. Sudah banyak masa yang kita lewati bersama. Tawa candamu tidak akan pernah kulupa.

Kenangan manis dan pahit akan menjadi sejarah kita. Kini kau telah dewasa adikku sayang. Kau bukan lagi anak kecil yang terus merengek, minta dinyanyikan lagu sebelum tidur.” Aku berusaha tersenyum saat air mataku tak henti-hentinya menetes. “Adikku sayang, kini kau adalah wanita dewasa yang perkasa. Kau telah membuktikan kehebatanmu pada kehidupan ini. Sekarang kau bebas terbang kemana saja. Adikku sayang, aku selipkan uang di dalam tasmu. Uang itu akan cukup membawamu terbang jauh dari kota ini. Lupakanlah kakakmu yang pembunuh ini, dik! Tinggalkan semua kenangan pahit di kota ini!”

“Tidak kak! Tidak! Aku tidak akan bisa hidup tanpamu, kak. Aku belum siap!” tangisannya semakin membuatku ikut menangisi takdir ini.

“Adikku sayang, kamu masih ingat apa yang kakak ucapkan semalam?” dia mengangguk-ngangguk, mengiyakan. “Lakukanlah adikku! Lakukan jika kamu ingin aman! Mungkin puluhan tahun kakakmu ini harus terkurung di balik jeruji besi. Tapi tidak usah khawatir, aku tetap akan hidup.”

“Kak!” tiba-tiba ia kembali memelukku dengan erat, seakan tak ingin melepaskanku. Pelukannya semakin membuatku tidak ingin melepaskannya dari kehidupanku.

“Adikku yang cantik, kakak ingin menatap dalam wajahmu untuk yang terakhir kalinya, sayang!” dia melepaskan pelukannya. Kedua tanganku menyentuh pipinya yang masih halus dan suci. Begitu pun kedua tangannya menyentuh pipiku. “Adikku sayang, akan tiba masa dimana kau akan berkeluarga, punya anak. Berilah mereka kasih sayang, rawatlah mereka dan jadikan hari-harinya penuh kasih sayang darimu. Karena kau adalah malaikat kecilku, adindaku. Karenamu pula aku memiliki harapan hidup. Kau yang membagikan kasih sayang padaku saat usiamu masih belum mengerti tentang kasih sayang. Kau telah mengajariku banyak hal. Kau adalah…”

“Kak!” dia semakin menangis.

“…harapan hidupku, adindaku sayang! Andai kau tidak dicipta oleh Tuhan sebagai malaikat kecil tak bersayap, maka tiada guna aku hidup, dik! Kakakmu ini menderita, dijajah saat negara ini sudah merdeka. Adikku sayang, jadikanlah tangisanmu sebagai tangisan terakhir atas pahitnya kehidupan. Kita sudah terlatih menghadapi semua ini. Jika suatu hari kau bertemu dengan papa, katakan padanya tentang apa yang selama ini kita alami, semuanya tentang apa yang kita rasakan! Adikku sayang, sekalipun kehidupanmu lebih pahit dari kehidupan yang telah kita alami ini, jangan pernah kau nodai dirimu dan kehormatanmu hanya karena takut mati. Karena kau malaikat kecilku yang Tuhan titipkan kepadaku agar bisa bertahan hidup dengan harapan yang kau datangkan dari kasih sayangmu, adindaku.”

Aku mengecup keningnya lalu kusapu air matanya. Kemudian ia pun mengecup keningku sembari menghapus air mataku.

Aku perlahan berdiri mengangkatnya. Wajahnya kutatap dengan saksama. Aku langsung memeluknya sesaat untuk yang terakhir kalinya. “Selamat ulang tahun, malaikat kecilku!” Selepas itu aku meninggalkannya sendirian. Aku terus berjalan dengan dua polisi itu tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya hingga tiba aku di mobil. Dari kejauhan, kulihat ia menangis. Dari kejauhan, kulihat ia, adikku, malaikat kecilku untuk yang terakhir kalinya.

 

Kaliurang, 09 Mei 2015