Published on Augst 19, 2018
Oleh: Abdul Qoni’ Akmaludin*
Terlalu tua usia negara ini taat kala dihitung mengunakan ukuran ketahanan hidup manusia. Terlebih apabila dibandingkan usia harapan hidup penduduk Indonesia yang hanya berkisar 60-65 tahun. Apabila mengunakan ukuran ketahanan hidup manusia bangsa ini sudah tidak lagi mengalami masa yang mana dikatakan sebagai masa produktifitas atau generasi milenial biasa sebut dengan masa keemasan.
Namun, itu tak berlaku bagi usia suatu bangsa. Pasalnya, tua atau mudanya usia suatu bangsa selalu diisi oleh komposisi manusia yang sama pada setiap tahunannya. Bangsa adalah sebuah ruang mati yang mana hidup atau eksisnya ditentukan oleh orang yang ada di dalamnya. Makanya bukan bangsa itu sendiri yang mampu menentukan ke arah mana dirinya akan berjalan dan menyelesaikan problem yang ada dalam dirinya. Tetapi, penduduk yang ada di dalamnya yang seharusnya mampu berfikir dan mencarikan solusi atas apa yang menimpa bangsa tersebut.
Para pendahulu selalu berkata bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar. Besar dalam arti mempunyai wilayah geografis yang besar. Sekitar 5 juta kilometer persegi, yang tentunya tumbuh di dalamnya manusia dan budaya yang beraneka ragam. Besar di sini dapat dimaknai pula atas besar perjuangannya dalam melawan imperialisme dan kolonialisme. Membebaskan tanah-tanah dari cengkraman penjajah yang mengorbankan banyak sekali nyawa dan bermacam-macam bentuk penganiayaan.
Tidak salah memang manakala tanggal 17 Agustus menjadi momen sakral bangsa indonesia. Semua orang bersorak riang dalam menyambut momen tersebut. Berbagai persiapan dilakukan. Beratus-ratus juta dikeluarkan demi menyambut momen sakral ini. Banyak orang bilang bahwa tanggal tersebut adalah momen dimana kita mengingat para leluhur-leluhur kita yang telah bersusah payah dalam memperjuangkan kebebasan lahan, sehingga sekarang kita dengan mudah dapat menempatinya tanpa harus mengangkat senjata. Tidak sedikit pula yang berkata bahwa kapan lagi mengingat leluhur kita kalau tidak dalam momen sakral seperti ini.
Status dan foto berisikikan tentang kemerdekaan memenuhi dan merubah tampilan yang ada di media sosial. Tanpa harus bermusyawarah masyarakat serentak sepakat untuk merubah status serta wall media sosialnya dengan kata merdeka, dirgahayau Indonesiaku , selamat merdeka 73, dll. Tanpa diharuskan untuk mengerti dan memahami kata merdeka yang di dalamnya. Hal semacam itu menjadi sebuah ekstasi dalam komunikasi yang menimbulkan sebuah gejala epilepsi komunikasi. Kenapa tidak demikian?
Freming kemerdekaan di media-media masa menyita perhatian publik secara sempurna, sehingga publik terhentikan sejenak untuk memikirkan penderitaan yang dialami oleh dirinya. Secara spontan segala bentuk tindakan diskriminasi, perampasan hak asasi manusia, dan pelecehan seksual tergeser. Hal tersebut berubah dan menjelma menjadi untaian-untaian kata merdeka. Beban hidup yang mereka tangung selama ini seolah-olah hilang dalam momen sakral tersebut. Namun, mereka tidak sadari bahwa itu hanya sebuah Pseudomerdeka.
Tidak hanya itu, pengalian makna merdeka atau pengkajian makna perjuangan tidak pernah muncul dalam setiap momen sakral seperti sekarang. Apalagi untuk merefleksikan kinerja yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Terlebih lagi tak ada waktu untuk memikirkan kemana arah bangsa ini, nantinya akan dibawa. Karena dalam momen itu anak-anak muda (masyarakat) tidak diperkenankan waktunya untuk memikirkan hal-hal yang sangat fundamental tersebut. Mereka secara spontan diarahkan untuk membuat sebuah perayaan yang megah dan menyenangkan sejak dari awal terbentunya kepanitiaan.
Akibatnya secara psikologis, masyarakat harus senang dan bangga manakala memasuki dalam bulan Agustus. Tanpa dituntut untuk mengetahui kenapa kebanggaan itu harus dimunculkan dan sikap yang seperti apa yang harus diberikan kepada bangsa. Karena kegiatan-kegiatan temporal tersebut tidak pernah mengandung unsur pendidikan, sehingga tidak ada ikatan emosional dengan para leluhur yang sudah susah payah berjuang membebaskan lahan. Ketika peristiwa tersebut dilihat secara sosiologis, bangsa indonesia hanya mengalami merdeka setiap tanggal 17 Agustus.
Dalam posisi ini penulis bukan berarti tidak bangga dengan kemerdekaan yang terjadi. Penulis tentunya bangga dengan dilahirkannya tanggal 17 Agustus sebagai momen menciptakan kehidupan yang harmoni. Tidak ada lagi cacian yang terlontar dalam momen sakral seperti ini. Seluruh penduduk bangsa sepakat dan berbunga hati dalam menyambut dan memperingati momen tersebut. Setidaknya ada momen yang disepakati bersama untuk meneriakan kata merdeka.
Peristiwa tersebut mengelitik penulis untuk mendefiniskan kata kemerdekaan. Pasalnya merdeka menjadi kata yang mengalami reduksi makna yang besar apabila hal tersebut dikontektualisasikan dengan kondisi bangsa indonesia sekarang. Merdeka menurut hemat penulis adalah terlahirnya Indonesia diakui sebagai bangsa oleh masyarakat dunia, sehingga mempunyai kekuatan otoritatif untuk mengatur penduduknya sendiri.
*Penulis adalah aktivis di Kampung Code. Ia juga aktif mengajar di taman kanak-kanak.