Published on August 5, 2018
Oleh: Zaim Yunus*
Di kota ini sepi sangat mudah ditemui, informasi sangat sulit dicari; tidak ada penjual koran menjajakan berita di persimpangan jalan, lampu merah, atau keramain tempat orang-orang berkumpul menunggu atau melepas orang terkasih tanpa suara di tempat bernama stasiun. Di kota ini tidak ada orang yang mau menjual informasi, menulis berita atau hanya sekadar bercerita bersama keluarga. Kota yang teramat sepi, di mana kabar berita hanya dapat ditemui di kepala sendiri, bahkan jam dinding pun enggan memberi tahu seberapa lama waktu Dina yang kini duduk di halte bus menunggu kekasihnya kembali.
“Koran, koran, koran…“ Masih terngiang suara wanita tua di telinga Dina menjajakan koran di sepanjang jalan lampu merah dua puluh tahun lalu.
Berhubungan atau tidak sesungguhnya bukan masalah besar bagi Dina jika tiba-tiba berita dan informasi hilang begitu saja bersamaan dengan kepergian kekasihnya dari kota ini. Yang menjadi masalah terbesar adalah kenapa kekasih yang benar-benar ia cintai pergi dan hilang begitu saja seolah ditelan dunia tanpa kabar-kabar perpisahan lebih dulu. Itu sangat menyiksa bagi Dina. Malam-malam ia habiskan untuk berpikir tentang alasan orang lain, ia terus melamun, membayangkan bulan, meja, kursi, jendela memberi tahu kenapa kekasih yang sangat ia cintai pergi dan hilang begitu saja.
Di halte bus mengangkut dan menurunkan orang-orang asing setiap hari. Wajah-wajah tak ia kenal, dan tentu mereka tak peduli apakah wajah itu mengenalnya atau tidak. Dina hanya berharap salah satu wajah yang keluar dari kerumunan itu adalah kekasih, laki-laki yang ia tunggu selama entah bertahun-tahun lamanya di halte yang sama.
Ingin rasanya Dina berkata pada orang-orang asing itu, “Hai, siapa namamu? Apakah kau melihat laki-laki ini?” sambil menunjukkan potret mereka berdua yang berangkulan di samping sungai di bawah jembatan berwarna merah di San Francisco. “Jika kau melihatnya tolong beritahu aku, atau jika kau bertemu lagi dengannya tolong beritahu dia kalau aku, Dina menunggu di halte yang sama.”
“Ya, aku melihatnya, dia akan segera pulang, dia sangat merindukanmu.”
Tapi Dina tahu, itu tidak mungkin terjadi. Orang-orang tidak peduli meski dengan wanita yang tiap hari duduk di halte dan mencari seseorang setiap kali bus menurunkan rombongan penumpang. Lagi pula ia juga tahu, orang-orang di sini tidak mau bicara dengan siapa pun selain dengan diri mereka sendiri. Meski hanya berkata “Selamat pagi, semoga harimu menyenangkan” tidak pernah ada.
Barangkali sebuah aib atau suatu tindak kejahatan ketika kau berbicara dengan orang asing di kota ini. Apalagi membagikan berita, atau bicara perihal politik, tidak mungkin terjadi. Tetapi, seingat Dina, dulu kota ini adalah kota sekaligus rumah yang ramah bagi semua orang—setiap warga kota saling mengenal dan tidak pemarah. Dulu, jalan dipenuhi suara-suara orang berbincang, penjual koran, dan informasi atau berita apa pun dapat ditemukan di mana saja. Namun, sejak kepergian kekasih, Dina merasa kota ini tiba-tiba menjadi asing, sepi, tanpa suara, tanpa berita, dan orang-orang bercakap dengan bahasa jauh yang tidak ia mengerti—bisu.
Tidak ada yang bisa dicintai di kota ini selain menunggu. Semua seperti perlu dicurigai. Mulut yang tertutup rapat seperti pintu penjara yang berhati-hati. Sangat mungkin mulut-mulut itu menyembunyikan hal yang lebih besar dari mulut dan suara, bahkan yang lebih besar dari kepala yang pernah ada di dunia. Namun, mencurigai bukanlah hal yang menyenangkan, kau tidak bisa terlalu lama mencurigai semua hal yang bersembunyi, itu akan sangat menyakitkan.
Dina masih dan akan terus berada di halte sampai kekasihnya kembali. Tentu dengan terus mencurigai mulut orang-orang asing yang lalu-lalang. Namun seperti kataku, mencurigai adalah hal yang membosankan. Dina layaknya perempuan pada umumnya yang mencintai kesunyian tetapi benci kesepian. Ia menghibur diri dengan bernyanyi atau berbicara dengan diri sendiri. Sebab berbicara dengan diri sendiri tak perlu suara, cukup terpejam dan biarkan hati berbincang dengan diri kita—hati adalah mulut paling hati-hati, suara paling pemalu sekaligus paling cerewet ketika berbicara masalah perasan-perasan. Sungguh, Dina tidak pernah kesepian meski entah berapa tahun sendirian di halte, menunggu kekasih.
“Apakah itu kau?” tebak Dina dalam hati.
“Eh, bukan.”
“Apa itu kau?”
“Yah, bukan lagi.”
Dina bermain tebak-tebakan dengan dirinya sendiri. Menebak punggung dan pinggang yang berjalan di dalam matanya yang lengang. Tapi sayang ia selalu kalah dalam permainannya sendiri. Ia selalu salah menebak.
**
Waktu semakin tua dan jika dihitung jarak masa lampau makin panjang. Tidak ada yang bisa diharapkan, semua orang masih bisu, informasi tidak pernah ada dan koran telah berhenti mencetak berita. Dina tidak tahu cara menemukan kekasih selain dengan menunggu, itu saja. Dunia juga semakin aneh dan sukar dipahami. Dina tetap menunggu dengan cadangan usia yang kian menipis. Ia mulai diserang batuk-batuk, tubuhnya gampang sakit, pilek, masuk angin dan matanya tak lagi peka pada warna. Dina tidak bisa dengan jelas melihat wajah-wajah orang yang lalu-lalang di halte seperti dulu. Melihat adalah suatu yang sulit. Matanya seolah lelah memberi kabar dan memilih pelan-pelan terkubur jadi gambar pudar yang buram.
“Apakah itu kau?” tebak Dina dengan suara hati yang tua dan bergetar.
“Eh, bukan,” jawabnya sendiri
“Apa itu kau?”
“Yah, bukan lagi.”
Suara hatinya kian kecil. Ia juga sudah lupa cara menggunakan pita suara. Mungkin telah mengkerut keriput dan seolah hendak lepas dan keluar ketika ia berujar, lagi.
“Apakah itu kau?”
Pertanyaan yang sama terus diulang-ulang. Pertanyaan yang suaranya teramat pilu. Pertanyaan yang sesungguhnya menyimpan pernyataan bahwa “Aku ini sangat mencintaimu, Bodoh. Aku rela menunggumu berlama-lama, kau ini di mana? Cepatlah pulang, aku tidak akan marah padamu.”
Sementara itu waktu terus berputar. Orang di halte berganti dan masih sama seperti dulu, selalu terburu-buru. Namun, Dina tetap di sana menanti kekasihnya kembali. Tetapi penantian tetap saja memakan usia, Dina menua dan jarak antara kehidupan dan kematian hanya sebatas kertas di buku tulis. Nafas Dina mulai memendek, detaknya melambat.
Kemudian seorang laki-laki dantang menghampirinya, dan berbisik…
“Apakah itu kau?” tanyanya di telinga Dina, “Aku Kala, aku mencari teman ayahku. Jika kau bertemu dengannya tolong bilang kalau ayahku lupa jalan pulang. Tetapi jika kau bertanya di mana ayahku berada, aku tidak tahu. Kabarnya ia mati tiga hari lalu. Aku hanya menyampaikan pesan dari ayahku kepada seluruh perempuan di kota ini.”
Mendengar itu Dina tersenyum tipis dan mengembuskan napas terakhir. Dan laki-laki itu pergi sambil bersiul dan berjalan menuju arah matahari terbenam meninggalkan mayat perempuan yang tergeletak di halte bus.
*Zaim Yunus, mahasiswa jurusan Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2017. Lahir di Kendal, 19 Mei 1999. Saat ini aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Arena.