Published on October 10, 2018
*Oleh: Zaim Yunus
Kata Van Gogh “dunia adalah ciptaan Tuhan yang gagal”. Maka, tidak ada salahnya jika saya mengajak Anda untuk memberontak, melakukan protes kepada Tuhan—bisa pakai alasan kapitalisme, kesetaran, penindasan atau kekurangan estetika. Mungkin Anda ingat para nabi dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Pandji Kusmin: bosan hidup di surga yang serba sempurna itu dan request untuk diturunkan kembali ke bumi. Meski dilarang Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dengan tuduhan menghina Tuhan, paling tidak kita bisa mencontek spiritnya, “pemberontakan”.
Mosok kita hidup di dunia yang antah berantah ini mau diam saja?
Di Nusantara, khususnya Indonesia, laju sejarah digerakkan oleh para “pemberontak”. Ada dialektika di sana. Meskipun, dalam silabus bahasa Indonesia “pemberontak” telah mengalami pergeseran dan pembusukan makna yang tidak main-main. Seolah, jika seorang atau sekelompok kaum telah ditempeli label “pemberontak”—secara tidak adil—maka amalan sosial, politiknya akan ikut lenyap tak tersisa.
Kita ambil contoh yang terjadi pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan PKI 12 November 1926 adalah pemberontakan yang berlangsung serentak di Batavia, Banten, Priangan, Solo dan tempat lainnya. Meski akhirnya berhasil ditumpas pemerintahan kolonial dalam waktu tiga hari. Kemudian pemberontakan Ken Arok, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan pemberontakan yang dimotori bangsawan semacam Diponegoro, dan Raden Mas Said.
Makna “pemberontakan” jadi kian rumit bukan? Hal ini deperunyam dengan peristiwa 1 Oktober 1965. Yang oleh rezim militer Soeharto frasa “pemberontakan” beralih fungsi menjadi “pengkhianatan”. Pada akhirnya, generasi saya dan Anda memperoleh warisan makna “berontak” dan “khianat” yang dipahami sebagai kakak-adik, sebelas-dua belas. Maka jangan heran, ada pemberontak yang beruntung mendapat anugerah “pahlawan” di bulan November, dan ada juga yang tenggelam dalam keterasingan dunia, seperti PKI.
Tetapi, seperti judul esai Muhidin M. Dahlan dalam buku Politik Tanpa Dokumen, “Pemberontak (Tak) Selalu Salah. “Pemberontakan” adalah penggerak roda sejarah sekaligus permainan Tuhan akan ”tesis, anti-tesis, dan sintesis”. Pemberontak memang tak selalu salah. Apa lagi dalam bidang kesenian: sastra, seni rupa dan lainnya. Anda mungkin pernah mendengar istilah seni dada/dadaisme, sastra eksperimental atau nama Afrizal Malna dan Sutardji C. Bachri. Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang fasih.
Meminjam ungkapan Barbara Rose, “Selalu terdapat dimensi protes dalam kreativitas seni. Seniman ibarat remaja yang bosan dengan tradisi kolot dan membayangkan sebuah tatanan baru yang lebih baik”. Ya, lebih baik, atau paling tidak ekspresi kejenuhan terhadap pakem yang sudah ada. Bahkan Albert Camus menegaskan, pemberontakan adalah bentuk kreativitas. Maka memberontaklah, tidak selamanya “pemberontak” muskil mendapat gelar “pahlawan”. Mungkin hanya PKI saja yang memang sedang apes.
Sebetulnya banyak situasi yang perlu banyak pemberontak. Tetapi, pakai otak. Biar jadi seperti Chairil Anwar dalam kesuastraan Indonesia. Tapi ingat kata Budi Darma, “Paling enak menjadi pemberontak, asal jangan mati.” Jangan katakan Anda tidak mampu jadi “pemberontak” seperti tokoh-tokoh di atas. “Tidak berkaliber raksasa,” katanya. Atau, “Saya tidak terlalu pintar dan kebetulan malas baca buku.”
Di zaman yang sudah serba mie instan ini Anda atau saya bisa menjadi “pahlawan” sekaligus “pemberontak” dengan mudah. Tidak butuh terlalu pintar atau membaca banyak buku tebal. Hanya perlu trik-trik khusus yang harus dikerjakan agar tampak pintar. Berterimakasihlah pada internet dan penulis artikel pendek yang memuat banyak kutipan tokoh pemikir. Manfaatkan media tersebut dengan baik. Anda bisa mengambil banyak kutipan dan menempelkannya di esai agar tampak pintar.
Usahakan tokoh Barat, agar seokah-olah Anda bisa bahasa asing. Tidak perlu baca buku tokoh yang ingin anda kutip. Tidak perlu risau soal konteks, yang penting looking smart. Setelah itu, selamat, Anda siap menjadi “pemberontak” tahap satu.
Kemudian, lakukanlah eksperimen. Bisa dilakukan dalam seni rupa atau sastra. Misal, Anda ingin jadi pelukis. Pakailah trik pelukis abstrak, tidak perlu bisa menggambar jelas, yang penting coret-coret kanvas. Bilang saja, lukisan coreng-moreng ini adalah perpaduan “kosmos” dan “khaos”.
Demikian dalam sastra, Anda dapat memproklamirkan diri sebagai penyair atau sastrawan. Dengan dalil eksperimental dan subjektivitas, Anda boleh menulis puisi seperti “Luka/Haha” atau apa pun yang kira-kira dapat ditulis seratus ekor dalam sehari—tidak seperti novel atau cerpen yang dapat menyita waktu Anda menjadi pemberontak dalam waktu singkat—berminggu bahkan berbulan. Bukankah sajak-sajak Pujangga Baru juga hasil penolakan/pemberontakan kepada bentuk puisi lama?
Sungguh, ada kesempatan besar dalam puisi. Sebab, Anda bisa berdalih, kata-kata kacau dalam kalimat yang Anda rangkai adalah gerak tidak sadar, ekspresi, atau sebuah impuls puitik.
Yang terakhir, yakinkanlah pembaca. Baik dengan rambut gondrong atau potret yang menimbulkan kesan tidak pernah mandi selama berhari-hari. Potret bisa diambil dengan raut dahi mengerenyit dan background tumpukan buku tebal agar Anda tampak seperti seorang pemikir. Nah, setelah itu Anda telah siap menjadi “pemberontak” yang akan segera jadi “pahlawan”.
Begitulah kiat-kiat yang ditawarkan Budi Darma untuk orang yang ingin menjadi “pemberontak” dalam waktu singkat dan instan dalam salah satu esainya di buku Solilokui. Ketika sulap sudah diangkat menjadi saudara kandung sastra, mungkin Joko Pinurbo akan mengubah puisinya: “untuk menjadi bintang (tak) harus tahan banting”.
Tetapi, karena tips di atas tidak membutuhkan membaca buku tebal, maka, agar tidak ketahuan dungu dan bebal, mungkin tips di atas agak sulit diterapkan dalam penulisan esai kritik novel. Sebab, novel tidak akrab dengan kekebalan tafsiran dan memiliki makna yang terangkum dalam keutuhan cerita. Artinya, Anda harus membaca novel sampai selesai. Jadi tunggu apa lagi, jadilah pemberontak, sebab Pemberontak (Tak) Selalu Salah. Sekian.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hukum UIN SUnan Kalijaga. Saat ini sedang belajar di Komunitas Kutub Yogyakarta.