Published on November 4, 2018
Lpmarena.com- Dalam Protestan, Pancasila mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Umat memiliki hak yang sama untuk memerintah gereja sehingga tidak ada hirarki dalam gereja protestan. Keputusan selalu diambil melalui rapat bersama. Di situ berlaku kesetaraan; semua umat adalah imam.
Hal tersebut disampaikan oleh Robert Setio ketika membawakan materi Protestan dan Pancasila dalam panel diskusi “Agama-Agama dan Pancasila”, Kamis siang (01/11) di Gedung Prof. Soenarjo lantai 2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam Pancasila sendiri banyak dibahas masalah kesetaraan serta pemahaman agama sebagai moralitas. “Imanual kant, mengatakan agama itu moralitas,” kata Robert mengutip salah satu filsuf modern.
Robert melanjutkan, sila pertama yang memuat tentang ketuhanan harus terintegrasi dengan sila kedua sampai kelima. Konsekwensinya, jika konsep ketuhanan mencampuri urusan duniawi, maka yang duniawi menjadi wadah perenungan tentang ketuhanan. “Soal ketuhanan tidak terpisahkan dengan soal kemanusiaan,” terang dosen Filsafat Keilahian dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
Seminar yang masuk dalam rangkaian kegiatan Pekan Pancasila dan Bela Negara ini membahas bagaimana perspektif berbagai agama di Indonesia terhadap nilai-nilai dalam Pancasila.
Selain Robert, hadir beberapa narasumber dari latar belakang agama yang berbeda. Mereka adalah Romo Bakoro dosen Universitas Sanata Dharma dari kalangan Katolik, Ida Bagus Agung dosen Universitas Sarjana Wiyata dari kalangan Hindu, serta Muh Rosyid dari IAIN Kudus yang membawakan studi kasus toleransi antara umat Konghucu dan Islam di Kudus.
Romo Baskoro dengan menjelaskan bagaimana peran umat Katolik dalam menjaga nilai-nilai Pancasila. Ia menceritakan bagaiamana salah satu tokoh Katolik di Indonesia dapat hidup berdampingan ditengah perbedaan pandangan.
“Sebagaimana kita tahu, sejak revolusi kemerdekaan, uskup Katolik pertama di Indonesia, Albertus Sugiyapranoto melantangkan semboyan 100% Katolik, 100% Indonesia,” kutip Romo. Ungkapan semacam itu, menurutnya, menjadi sebuah ungkapan komitmen total gereja dan umat Katolik di Indonesia terhadap negeri dan bangsa yang berdiri di atas dasar Pancasila.
Dalam Hindu, terdapat konsep-konsep yang selaras dengan sila pertama, yakni konsep ista dewata yang berarti konsep perwujudan Tuhan dalam berbagai penamaan. Namun, konsep ketuhanan dalam Hindu sendiri pada dasarnya adalah esa seperti yang ada dalam sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.
Selain itu, dalam Hindu juga terdapat istilah wasudewa kutumbakam yang berarti seluruh umat manusia di dunia ini adalah saudara. Sehingga, dalam hal ini, ia berharap masyarakat semakin bertakwa dan saling menghormati sesuai dengan sila pertama dan kedua Pancasila—di mana nilai kemanusiaan harusnya dijunjung tinggi.
Sementara itu, Rosyid mengisahkan bagaimana eksistensi Konghucu di Indonesia dan potret-potret toleransi yang berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Eksistensi kaum Konghucu di Indonesia bisa dikatakan mendapatkan angin segar dari pembatasan-pembatasan yang diberlakukan selama Orde Baru setelah muncul Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2000.
Kepres yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid—yang memiliki latar belakang Islam—itu dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2000 silam, mencabut Kepres Nomor 14.
Keputusan tersebut disusul dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif dan diperkokoh dengan Kepres 19 Tahun 2002 tentang Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Hingga terbit Kepres Nomor 12 tahun 2014 peggunaan istilah China diganti dengan Konghucu.
Ia juga menceritakan kehidupan kaum Konghucu di daerah Kudus. Di sana Barongsai menjadi wujud toleransi umat tiga agama, yakni Konghucu, Islam, dan Katolik. Ketika terdengar suara adzan Maghrib, proses latihan yangs edang berlangsung diberhentikan.“Saya tanya, kenapa, Pak, berenti?” kata Rasyid mengutip percakapannya dengan pelatih Barongsai. “Kemudian ia menjawab murid saya ini juga ada orang islamnya. Kami menghargai muslim.”
Reporter: Nuza Istidah (magang)
Redaktur: Syakirun Ni’am