Published on November 17, 2018
Dari balik jeruji, orang-orang yang sudah bertahun tidak melihat langit malam itu menulis.
Lpmarena.com- Pagi itu, Sabtu (15/9), saya berdiri di depan sebuah metal detector. Di belakangnya, dua petugas berbadan tegap mengawasi. Tidak terdapat logam dalam tubuh dan pakaian saya. Dari sini, saya masih mesti melewati satu pintu keamanan lagi.
Seluruh badan saya diperiksa dan sepatu saya dilepas. Identitas saya juga dicatat. Agar lebih meyakinkan, saya tunjukkan kartu pers. Padahal, sebelum melewati mesin pendeteksi itu saya sudah melewati dua kali pemeriksaan.
Tempat yang saya kunjungi adalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Narkotika Yogyakarta yang membina narapidana kasus narkotika dan psikotropika. Letaknya di Kelurahan Pakembinangunan, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Membutuhkan waktu sekitar 41 menit perjalanan kendaraan bermotor dari Tugu Pal Putih ke arah lembah Merapi. Di Lapas ini, semua narapidana adalah laki-laki.
Pada tanggal 3 sampai 5 Mei lalu, Lapas ini mengadakan Pameran Literasi di Balik Jeruji yang diinisiasi oleh penghuni Lapas. Acara itu juga diramaikan oleh beberapa komunitas literasi di Jogja. Bahkan, seorang penulis kawakan lokal terkagum-kagum. Hal itu menarik saya untuk mendalami Lapas ini lebih jauh.
Penulis Novel dan Seorang Guru
Ruang lobi itu redup. Dindingnya yang berwarna biru dihiasi komik yang menggambarkan kehidupan di Lapas: tidur di dalam jeruji dengan buku, kuas, dan beberapa catatan, serta kegiatan harian seperti mandi dalam jeruji, beribadah dalam jeruji, dan makan dalam jeruji.
Pada bagian lain terdapat karikatur. “Kalian di kampus ada kayak gini nggak?” tanya Danto meledek. “Karikatur macam ini bisa sekelas Tempo, loh,” lanjutnya menyebut salah satu media massa nasional. Tentu saja saya tertawa. Dinding kampus kami polos. Karena cat putih dan jingganya, tempat belajar itu palah tampak seperti rumah sakit.
Danto, tidak mau disebutkan nama lengkapnya, mengenakan kemeja flannel yang lengannya dilipat, menampakkan tato bergambar daun ganja di atas telapak tangan kiri. Sementara tangan kanannya tampak lumpuh. Beberapa kali saya dapati ia mesti menggunakan tangannya yang sehat untuk memindahkan satu tangan lainnya. Saya ingin menanyakannya, tapi rasanya sungkan sekali.
Ia bilang, di Lapas ini ada banyak seniman dan lulusan kampus seni sehingga karya seperti karikatur, komik, lukisan, serta kerajinan tangan lainnya memiliki kualitas yang bisa diperhitungkan. Bersama Luthfi Farid, Danto menemani saya berkeliling melihat properti pameran.
Usia mereka berdua berjauhan. Luthfi, yang memakai kaos oblong berwarna putih tampak seperti pria 26 an tahun sementara Danto mungkin sekitar 36 an. Ketika saya menanyakan berapa usianya, mereka hanya terbahak. Di luar dari yang saya bayangkan, ternyata penghuni Lapas ramah-ramah.
Selain komik dan karikatur, mereka juga mengelola mading. Isinya tentang perenungan dan harapan warga Lapas. Salah satu puisi yang sempat saya baca sampai habis berjudul Belajar Mengarang. Menceritakan tentang kerinduan pada kampung halaman, rumah, dan istrinya.
Salah satu baitnya berbunyi, Di dalam penjara/Ia bercerita/Lebih senang bangun/Dan menulis pukul empat pagi/Lalu pikirannya melayang ke kampungnya/ke gubungnya di tepi kali/tempat wanita yang ditinggalkannya/menanam sebatang Ayahuazoa/dan memvisualkan/jiwa-jiwa para penari bali.
Penulis puisi itu Danto. Menurutnya, menulis puisi adalah sebuah usaha untuk berbahasa secara jujur. Selama ini, bahasa adalah alat yang membuat kita merasa superior. Namun, di sisi lain juga memberangus ekspresi diri. “Banyak ekspresi yang tidak bisa diungkapkan melalui bahasa tapi kita tetap memaksa itu,” katanya.
Seperti yang saya duga, Danto merupakan orang terdidik. Selain lulusan kampus swasta ternama di Jogja, ketika menjadi mahasiswa dia juga aktif di salah satu gerakan kiri yang vokal ketika masa Orde Baru dan terkenal militan dengan diskusi wacana kritisnya.
Belakangan baru saya ketahui dari salah satu esai Muhidin M Dahlan atau yang biasa dikenal Gus Muh. Danto telah menulis sebuah novel berjudul “Setan Merah”: Muslihat Internationale Tan Malaka yang diterbitkan oleh Indie Book Corner di penghujung Desember 2011.
Sementara, tangan kanannya yang tampak lumpuh itu memang benar. Danto mengidap lumpuh-layu (acute flacid paralysis), salah satu jenis polio akut yang menyebabkan penurunan fungsi otot dan cenderung layu. Novel setebal 491 halaman itu ditulis dengan satu tangannya.
Danto aktif mengkonsumsi ganja hingga rumahnya digerebek pada 2016 lalu. Ia divonis hukuman lima tahun penjara. Sebelum ditahan, Danto juga seorang penulis sekaligus Ketua Divisi Advokasi di Lingkar Ganja Nusantara (LGN). “Malam itu, sekitar jam 11 tiba-tiba rumah saya digerebek dan saya nggak tahu ditangkap karena apa,” tutur Danto berkisah. “Tapi memang sudah menjadi rahasia umum kalau saya kemana-mana selalu membawa ganja,” ujar Danto sambil tertawa. Ia divonis lima tahun penjaratahana
Sementara, Luthfi adalah seorang sarjana Matematika. Dia mengajar di salah satu Madrasah Tsanawiyah (setara SMP) pada hari Senin sampai Jum’at dan menjadi agen travel pada Sabtu sampai Minggu di Jogja.
Pada 1 Januari 2017 dia ditangkap ketika hendak berangkat kerja. Ia sudah menduga penangkapannya pasti berkaitan dengan konsumsi ganja. Luthfi memang pengguna aktif sejak SMP. Saat penangkapannya, ditemukan barang bukti 42 gram ganja di kosnya. Ia juga divonis lima tahun penjara. “Waktu ditangkap saya kan juga masih aktif ngajar, dan saya nggak konfirmasi berhenti kerja. Bagi saya itu kayak aib, sih,” kenangnya.
Membangun Literasi di Lapas
Dibanding Luthfi, Danto lebih dulu aktif di kegiatan literasi Lapas. Luthfi baru tertarik ketika ia kerap berdiskusi dengan aktivis itu. Mereka sering mengunjungi perpustakaan dan melakukan kegiatan membaca, diskusi, dan menulis bersama.
Tidak puas melakukan kegiatan berdua, Luthfi membuat Komunitas Pecinta Buku di Lapas (Kopiku_pas) untuk menghimpun warga Lapas yang memiliki minat pada literasi. Di muka, perjalanan mereka tidak mudah. Koleksi buku di perpustakaan Lapas sangat sedikit. Sirkulasi buku juga tidak berjalan baik karena banyak buku yang dipinjam tidak dikembalikan dan tersebar di kamar jeruji.
Kopiku_pas memulai langkahnya dengan mengumpulkan buku, melakukan pendataan, membenahi sistem sirkulasi, hingga membuat proposal permohonan bantuan buku yang dikirimkan ke penerbit dan perpustakaan nasional. Suasana perpustakaan juga didesain ulang. Mereka memasang karpet, mengecat, dan menggambar mural di dinding. Salah satu muralnya adalah seorang narapidana yang duduk di atas jeruji sambil membaca buku.
Sekarang, di perpustakaan yang luasnya hanya 4×4 meter, dengan jendela dan pintu dari jeruji itu terdapat bebebrapa rak. Isinya beragam. Buku pengetahuan umum dan agama dikumpulkan pada salah satu sisi dinding. Di seberangnya, buku dengan klasifikasi acak diletakkan. Beberapa di antaranya merupakan karya besar seperti, Haruki Murakami, teori-teori sosial, hingga kartun-kartun peradaban karya Larry Gonnick.
Membaca buku menjadi salah satu cara favorit untuk menghabiskan waktu di Lapas yang sangat luang. Lihat saja, jam efektif kerja di Lapas dimulai dari pukul delapan pagi hingga dua belas siang. Pada waktu itu, beberapa narapidana membantu kegiatan di dapur, perpustakaan, dan poliklinik. Sedangkan lainnya menghabiskan waktu dengan berolahraga, belanja di koperasi, atau bahkan sekadar jalan-jalan keliling Lapas.
Setelah pukul dua belas, narapidana kembali ke jeruji sampai setengah tiga untuk beristirahat. Setelah itu mereka mengikuti pengajian di masjid sampai setengah empat. Satu jam berikutnya, mereka kembali ke jeruji dan menghabiskan waktunya di sana sampai pagi dengan beristirahat, bermain catur, atau melukis. Pada saat itulah mereka sangat luang untuk membaca dan menulis.
Hidup dalam jeruji setiap malam seperti itu pernah ditumpahkan dalam beberapa puisi. Mereka tidak pernah lagi melihat langit malam karena waktu mereka selalu dihabiskan di dalam jeruji. “Kita warna bulan aja udah gak tahu, apa udah jadi hijau? Atau apa sekarang bulannya udah jadi dua?” ungkap Luthfi sambil tertawa.
Menurut Danto, sebetulnya minat baca seseorang selalu tinggi. Namun, akses terhadap buku kerap menjadi masalah. Beberapa narapidana bahkan berulangkali membaca buku yang sama di perpustakaan karena jumlah judul yang terbatas.
Selain membenahi perpustakaan, Kopiku_pas juga membuat buletin mingguan. Kontennya beragam. Mulai dari esai, puisi, cerpen, poster, dan komik yang dibuat sendiri oleh narapidana.
Produksi buletin juga tidak mudah karena untuk mengedit karya yang masuk, mereka mesti menggunakan komputer di kantor staf yang digunakan bergantian. “Waktu kita (untuk menggunakan komputer-red) juga terbatas sekali. Normalnya di hari-hari biasa kita bisa pakai selama tiga jam per hari, tapi kalau mereka (staf Lapas-red) sibuk, kita nggak bisa pakai,” tutur Luthfi.
Dengan segala keterbatasan, buletin mingguan sampai saat ini masih aktif diproduksi. Bahkan, Kopiku_pas pernah mengadakan lomba menulis untuk memancing antusiasme narapidana lain pada kegiatan literasi.
Lomba tersebut diadakan empat kali berturut-turut selama empat bulan. Pada lomba pertama, anggota melakukan iuran uang sebagai hadiah pemenang lomba. Pada lomba-lomba berikutnya, staf Lapas turut memfasiltasi dengan menyiapkan hadiah untuk pemenang.
Tidak jarang, cibiran datang dari narapidana lain. Kali pertama hasil lomba diumumkan seusai upacara, narapidana mengeluh karena lelah mengikuti rangkaian upacara semakin panjang. “Mereka bilang, buat apa lomba-lomba-an, mau kayak gimana juga makannya tetap nggak enak,” kata Luthfi menirukan mereka yang mencibir.
Menurut Danto dan Luthfi, pegiat literasi kerap dibantu staf-staf pengurus Lapas. Furi Sagita adalah staf yang paling sering membantu mereka ketika mengadakan kegiatan literasi, khususnya di tataran birokrasi. Mulai dari lomba yang diadakan di Lapas sampai pameran literasi. Ketika dikonfirmasi, Furi mengatakan membantu narapidana sudah menjadi tugasnya sebagai staf Lapas. “Masalah mereka memang cuma akses itu, sih, Mas. Kalau masalah kreativitas, saya rasa mereka sudah bagus banget,” pungkas Furi.
Salah satu bentuk kreativitas yang banyak diapresiasi adalah pameran literasi yang diselenggarakan pada Mei lalu. Pameran itu juga diabadikan di sebuah buku berjudul Suku Jeruji (yang) Menulis Mimpi. Isinya seluruh karya pameran dan dokumentasi aktivitas pameran. Mereka memang menyebut kelompok mereka sebagai Suku Jeruj karena punya bahasa sendiri.
Kelas Hukum sampai Proyek Menulis
Setelah sukses dengan pameran literasinya, Kopiku_pas aktif mengadakan kelas hukum yang mendatangkan pakar untuk memfasilitasi beberapa narapidana yang masih menjalani proses persidangan.
Selain itu, mereka juga mengadakan kelas Bahasa Inggris. Ketika saya datang, kelas itu sedang berlangsung di aula Lapas tempat pameran dulu. Sisa-sisa pameran masih terlihat.
Di depan aula terpampang lukisan-lukisan motor tua dari berbagai negara, di dinding pojok aula digambar gelembung-gelembung berwarna abu-abu dengan diameter sekitar 30 cm. Setiap gelembungnya tertulis sebuah istilah seperti, “86”, “dibon”, dan “mayax”. Kata Danto ungkapan itu adalah bahasa gaul yang lazim digunakan oleh mereka.
Tidak ketinggalan, kelas menulis juga diselenggarakan setiap Kamis. Dipandu seorang pegiat literasi yang produktif menulis berbagai jenis tulisan, terutama esai, kelas ini sudah berjalan empat kali sejak Agustus lalu.
Muhidin M. Dahlan, penulis kawakan yang membimbing kelas itu menyarankan mereka untuk menggarap proyek literasi yang kontinyu: membuat buku antologi biografi penghuni Lapas bertemakan Temanku Orang Baik.
Konsepnya, setiap narapidana menuliskan sosok narapidana lain. Dari proyek ini, Muhidin berharap penulis-penulis baru lahir dan Lapas 2A Narkotika Yogyakarta bisa menjadi contoh penulis bisa lahir dari mana saja.
Ditemui di Radio Buku, Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, pada Selasa malam (16/10) Muhidin mengaku menikmati proses pembuatan antologi biografi tersebut. Ia berpandangan setiap narapidana perlu mengenal lebih dalam tentang narapidana lain.
Dengan cara itu, mereka bisa lebih akrab dan saling memahami latar belakang masing-masing dengan beragam cerita yang emosional. Muhidin juga menargetkan buku ini dapat diterima oleh masyarakat luas. “Mereka itu kan sebenarnya masih ingin memberikan sesuatu. Dari buku ini lah cerita-cerita mereka bisa didengar orang banyak,” tutur penulis novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur tersebut.
Literasi dan Wacana Ganja
Dipenjara memberi pelajaran tersendiri bagi Danto. Dalam ruang yang terbatas itu ia belajar bagaiamana literasi bisa digunakan sebagai media pembelajaran diskursus narkotika.
Ia berpandangan diskursus narkotika mestinya berlandaskan logika dan riset, pun pada tataran kebijakan. Namun, kebijakan pelarangan penggunaan dan peredaran narkotika di Indonesia hanya mengadopsi konvensi 61 PBB tanpa melalui riset yang dalam dari dalam negeri. Akhirnya, komersialisasi narkotika di pasar gelap bermunculan dan merusak negara.
Ia tidak memepermasalahkan zat psikoaktif dalam berbagai jenis narkotika. Melainkan bagaimana beberapa kalangan menggunakan zat tersebut untuk mencurahkan anfsu dan ambisinya. “Dalam terminologi narconomics, narco-state, atau narco-capitalism, zat-zat psikoaktif dimanfaatkan untuk mengeksploitasi manusia,” jelas Danto.
Berbekal pengetahuan tentang narkotika yang didapatkannya ketika belum ditahan, Danto menyebarkan diskursus tentang narkotika yang berbeda dari versi pemerintah kepada narapidana lainnya.
Reporter: Sidratul Muntaha Idham
Redaktur: Syakirun Ni’am
Laporan ini memenangi lomba news feature yang diasakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Berdasarkan ketentuan lomba, naskah laporan ini juga dipublikasikan di website penyelenggara.