Home KUPAS GAYA MEROKOK ORANG JAWA DAN MOTIF KAMPANYE ANTI-ROKOK

GAYA MEROKOK ORANG JAWA DAN MOTIF KAMPANYE ANTI-ROKOK

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

 

 

“Hanya dengan rokok murahan, rokok tingwe atau puntung sekalipun, wong cilik di Jawa dapat terus berdiri dan mandiri, melupakan sejenak beban hidupnya yang tak mungkin lagi digambarkan dengan kata dan bahasa, dari situ pula mereka mampu terus bertahan dan membangun sejarah di tanah kelahirannya.” Kutipan buku Ngudud : Cara Orang Jawa Menikmati Hidup.

Saat awal kedatangannya, tembakau merupakan komoditi untuk dikirim ke Eropa. Belanda menyuruh petani Indonesia menanam tembakau di lahannya. Tembakau nantinya dibentuk menjadi rokok jenis cerutu. Karena, cerutu digemari oleh orang-orang Eropa dan Amerika. Belanda, kemudian, menggunakan cerutu sebagai tanda perbedaan kelas. Namun, Sultan Agung mengadopsinya sebagai upaya dipolamasi dan penjajaran kelas dengan bangsa kolonial.

Orang Jawa tidak menyukai rokok model cerutu. Selain membutuhkan pengolahan dengan biaya yang banyak, cerutu tidak disukai orang Jawa. Tetapi, mereka berupaya untuk meniru apa yang rajanya lakukan, untuk mensejajarkan kedudukannya. Orang Jawa meracik sendiri rokok dengan sederhana. Hanya berupa tembakau, cengkeh, saus, dan bahan lainnya, dibungkus dengan daun jagung atau kelobot. Tanpa pengolahan rumit, orang Jawa menciptakan rokok kretek.

Waktu itu, rokok menjadi salah satu upaya bertahan hidup orang Jawa di tengah sistem tanam paksa yang menyiksa. Dengan merokok, mereka dapat menghangatkan tubuh, serta menahan rasa lapar akibat kerja paksa.

Sampai saat ini, rokok memiliki khasiat sendiri bagi setiap orang yang mengisapnya. Ada yang menjadikan rokok sebagai obat, adapula, rokok menjadi penenang depresi seseorang. Karena nikotin yang terdapat dalam kandungan tembakau bermanfaat bagi otak. Seseorang yang sedang gusar dan banyak pikiran, menjadi tenang dan fokus.

Rokok juga dijadikan sebagai bahan untuk menentramkan batin. Karena orang Jawa membutuhkan alternatif untuk mewujudkan ketentraman hidup yang didambakan. Merokok telah memainkan peran psikologis di Jawa. Rokok dianggap mampu mengurangi ketegangan orang Jawa saat menghadapi masalah.

Uniknya, orang Jawa telah meratifikasi tentang tata krama saat merokok. Sampai pada titik tata cara merokok dengan baik dan benar. Orang Jawa tetap memiliki prinsip sendiri akan hal ini. Seperti, tidak menerima rokok dari orang lain, tidak merokok saat bertamu dan tidak merokok di depan bukan perokok.

Mereka beranggapan bahwa, menerima rokok dari orang lain, secara tidak langsung terlatih menjadi peminta. Dan, merasa ketergantungan akan kebiasaannya itu. Sedangkan, tidak merokok saat bertamu agar tidak memberi beban kepada tuan rumah. Ketika merokok membutuhkan wadah menampung abu rokok, artinya, telah mengotori si pemilik rumah. Merokok juga tidak boleh di hadapan orang yang tidak merokok. Ditakutkan, tidak terbiasa dengan asap rokok.

Hal inilah yang dibahas oleh Iman Budhi Santosa dalam bukunya “Ngudud Cara Orang Jawa Menikmati Hidup.”. Budhi menghadirkan seputar cerita tentang pengalaman dibalik manfaat rokok. Cerita tersebut, ia jadikan sebagai data empiris, serta upaya menolak anggapan yang tercantum dalam bungkus rokok.

“Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”.

Menurutnya, wong cilik di Jawa telah menemukan manfaat rokok secara individual. Baik pada kondisi mental, pekerjaan, kehidupan sosial, dan lain sebagainya. Namun disisi lain, Budhi juga risih terhadap kampanye anti-rokok. Terbukti, saat membahas peran pihak asing dalam melegalkan larangan rokok.

**

Budhi membuktikan bahwa di sisi lain, sebenarnya rokok juga memiliki manfaat. Seperti, mengobati kaki samiyem dari gigitan ular saat akan memetik teh di bukit Gajahmungkur. Jupiyan selaku mandor petik, mengikat kaki Samiyem dengan sehelai kain. Tembakau di sakunya, ia basahkan dan air perasan tembakau dikucurkan pada bagian patukan ular. Jupiyan urut luka memar hasil gigitan ular. Keluar darah kehitam-hitaman sudah bercampur dengan bisa ular. Satu jam kemudian, rasa nyeri pada kaki Samiyem berangsur hilang.

Budhi juga menceritakan saat ia sedang berinteraksi dengan temannya. Temannya berpenampilan celana sobek, tak berpakaian, serta membawa koran di tangannya. Ia mengalami gangguan jiwa. Budhi memberikan rokok kepada temannya dan langsung ngobrol. Gaya bicara dan pola pikirnya saat merokok kembali pulih. Ketika rokok habis, ia kembali seperti semula.

Berangkat dari dua kisah, yakin rokok menyebabkan sakit ?. Di satu sisi, rokok menjadi obat dan penenang yang baik. Tapi, sisi lain, rokok dianggap biang keladi dari segala penyakit. Tuduhan rokok paling masif ditunjukan kepada perokok aktif. Asap yang dihirup oleh perokok pasif, konon, dampaknya lebih berbahaya. Sehingga, Sakit Mag, Jantung, Paru-Paru, dijatuhkan pada rokok.

Anti-rokok hanya melihat satu realitas yang belum tentu kebenarannya. Padahal masih banyak yang menyebabkan seseorang terserang penyakit.

Jika persoalannya adalah asap, rokok tidak terlalu signifikan berbahayanya, ketimbang asap kendaraan Motor, Mobil, pembakaran Pabrik, cerobong PLTU, dan asap lainnya. Justru sampai saat ini asap tersebut masih tenang-tenang saja. Lalu, mengapa banyak yang mencerca rokok? Apakah pelarangan rokok di Indonesia memang telah dintervensi oleh pihak asing?

Di Balik Penentangan Rokok

Budhi dalam bukunya ini menyertakan tentang rokok dan tantangan zaman. Ia berpendapat bahwa terbentuknya PP 81/ 1999 tentang Pengontrolan Kandungan Tar dan Nikotin Rokok adalah kelanjutan dari sidang umum WHO ke-48, Mei 1995. Membahas kerangka kerja konvensi pengendalian tembakau.

Pada sidang WHO ke-49, Direktur Jendral WHO, Dr. Gro Harlem Brundtland menyatakan, untuk menegendalikan tembakau, diberlakukan program WHO FTCT (The Who Framework Convention On Tobacco Control) tahun 2000. Atas dasar kebijakan WHO tentang “Health for All in the 21ist Century” atau Kesehatan untuk Semua di Abad ke 21.

Program ini berangkat dari hasil Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke 11 di Chicago. Lembaga yang membekingi acara ini yakni, American Medical Association, American Cancer Society dan Robert Johnson Foundation. Sponsor yang hadir seperti American Heart Association,  American Lung Association, US Conters for Disease Control and Prevention, dan WHO yang sebagai tuan rumahnya (Jpnn.com).

Sedangkan, pemberi dana berasal dari Glaxo Wellcome, Novartis, Parmacia dan SmithKline Becham (SKB). Perusahaan-perusaahaan tersebut memproduksi obat-obatan pengganti Nikotin. Seperti, SmithKline Beecham produsen Koyok Nicoderm dan permen karet Nicorrete. Wanda seorang peneliti menyebut, perusahaan ini juga turut mengglontorkan dana ke berbagai lini, salah satunya ormas.

Negara Indonesia mereduksi ketentuan WHO FTCT pada bagian pembatasan iklan rokok yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Hal inilah yang diklaim sebagai tanda keberhasilan bagi kampanye anti-rokok. Padahal banyak sokongan dana yang memuluskan terciptanya UU tersebut. Seperti dilansir dari Jpnn.com, kampanye anti-rokok telah disuplai oleh pihak asing.

Pihak asing mengucurkan sejumlah dana, baik kepada LSM, lembaga fatwa, instansi pemerintah dan perguruan tinggi. Seperti yang dilakukan oleh lembaga Bloomberg Initiative BI pemilik pengusaha Michael R. Bloomberg. Lembaga ini secara terang terangan memberikan sejumlah dana di beberapa kalangan yang telah disebutkan. Dana ditujukan demi memengaruhi berkurangnya penggunaan tembakau.

Seperti, penerima dana pada tingkat perguruan tinggi di antaranya Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sebesar USD 280.755 pada Oktober 2008 – Juli 2011, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) sebesar USD 335.866 pada Februari 2015 – Januari 2017, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sebesar USD 68.794 pada Desember 2015 – November 2016,

Pada jajaran pemerintah yakni Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan USD sebesar 300.000 pada September 2008 -Agustus 2011, USD 300.000 Pada November 2011 – Oktober 2013, USD 250.039 pada Maret 2014 – Februari 2016. Dan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali sebesar USD 159.621 Maret 2012 – 2014.

Sedangkan pada kalangan LSM terdiri dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) sebesar USD 455.911 pada Mei 2008 – Januari 2011, USD 200.000 pada Maret 2011 – Februari 2013, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebesar USD 105.493 pada Desember 2012 – Januari 2014, USD 150.825 pada Februari 2014 – Oktober 2015, USD 454.480 pada Mei 2008 Juli 2010, LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) sebesar USD 47.470. Yayasan Pusaka Indonesia sebesar USD 32.010 pada November 2011 – Desember 2012, USD 74.00 pada Desember 20912 – Juli 2014, USD 86.587 pada Juli 2014 – September 2015, sertaUSD 94.832 pada September 2015. (lihat juga : tobaccocontrolgrants.org).

Dana yang telah diberikan bukan berarti secara gratis begitu saja. Pihak asing berusaha mengintervensi dengan berbagai cara, mulai dari kebijakan, penelitian, dan penyiaran. Jelas hal ini menghambat perekonomian beredarnya tembakau di Indonesia. Apakah hanya atas dasar kesehatan masyarakat? Atau keuntungan kapitalis lain?

Kritik Atas Buku Ini

Buku ini saya baca selama 4 jam dalam sekali duduk. Tata bahasanya sederhana, tidak terlalu berat. Cocok dibaca oleh kalangan yang getol menentang rokok (anti-rokok). Karena si penulis mencoba untuk membuka cara pandang baru mengenai rokok itu sendiri khususnya dalam masyarakat jawa.

Tetapi ada beberapa yang tidak disukai dalam penggalan isi demi isi di dalamnya. Ada beberapa lembar yang dicetak tidak rapih. Lembar tersebut memiliki cetakan yang sama, walaupun sub babnya sudah berganti seperti pada halaman 53 dan 67. Ini mewanti wanti bagi pembaca harus melipet terlebih dahulu.

Ada beberapa bagian pada isi buku yang tidak masuk dalam deretan ide. Dari segi judul Ngudud: Cara Orang Jawa Menikmati Hidup. Melihat subjek yang dihadirkan yakni sebagai “orang Jawa” penulis tidak memaparkan, apa yang dimaksuud “orang Jawa”. Jawa secara teritorial? atau Jawa secara bahasa? Memang, kata Jawa sendiri memiliki makna yang politis dan dapat dieksploitasi untuk pengkaliman tertentu. Seperti di dalam buku ini.

Selanjutnya pada penggalan kisah-kisah yang ditulis oleh penulis. Cerita tersebut terlalu banyak dicantumkan, seperti pada kisah 4. Ia menceritakan tentang kondisi yang dimiliki di Boyolali. Tanpa adanya keselarasan pada isi cerita, semisal, peran rokok dan pengaruh rokok masayarakatnya.

Mungkin isi beberapa cerita yang dihadirkan dapat dipres kembali. Data yang disebutkan sebagai data empiris ternyata tidak menggugah gagasan utama. Tergolong main cocoklogi saja. Si penulis terkesan hanya ingin curhat mengenai pengalaman pribadi beserta rokoknya. Saking banyaknya cerita sampai 2 bab, buku seperti kumpulan cerpen.

Bagian yang tidak nyambung lagi terdapat pada penjelasan “Menelisik Jawa”, halaman 83-99. Saya menangkap, bahwa penulis hanya ingin menjelaskan tentang kekhawtiran yang coba dihadapi oleh orang Jawa.

Judul: Ngudud, Cara orang Jawa Menikmati Hidup | Penulis: Iman Budhi Santosa |Penerbit: Manasuka |Cetakan: Tahun 2012 | Tebal: 134 halaman | Peresensi: Wahidul Halim