Home BERITAKABAR KAMPUS Ada Celah Kecurangan dalam Pemilwa Online

Ada Celah Kecurangan dalam Pemilwa Online

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on December 19, 2018

KPUM menjadi kunci Pemilwa Online berjalan tanpa kecurangan. Sementara itu, belum ada kesepakatan antara Sema Universitas, KPUM Universitas, dan partai mengenai siapa yang akan menjadi saksi dalam Pemilwa. Komunikasi KPUM juga buruk.

Lpmarena.com- Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) tahun 2018 akan menggunakan sistem online untuk kedua kalinya. Kepala Pusat Teknologi, Informasi, dan Pelayanan Data (PTIPD) Shofwatul ‘Uyun menjelaskan,mekanisme pengambilan suara kepada ARENA di kantor  PTIPD lantai 1, Rabu siang (12/12) pukul 14.00 WIB.

Mahasiswa yang akan memberikan suaranya harus datang ke Tempat Pengambilan Suara (TPS) yang difasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) Fakultas masing-masing. Mereka harus membawa Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Tahap selanjutnya adalah registrasi menggunakan nomor induk mahasiswa (NIM). Dalam hal ini, panitia memiliki kewenangan penuh untuk mengecek identitas mahasiswa yang akan memberikan suaranya.

Menurut ‘Uyun, panitia berperan penting dalam mengecek apakah identitas yang tertera dalam KTM. Seperti foto apakah sama dengan pemilih yang hadir. Jika ada kecurigaan, panitia bisa melakukan klarifikasi lebih lanjut. “Tapi, kalau secara wajah sama, nanti bisa diregistrasikan,” kata Uyun.

Setelah itu, pemilih bisa langsung masuk ke TPS dan melakukan pemilihan melalui laman yang dibuka pada browser laptop yang telah disediakan oleh KPUM.

‘Uyun mengatakan, jika tidak mau mengantri sebenarnya pengambilan suara bisa menggunakan laptop atau handphone sendiri. Sebab, secara umum, sistem ini seperti Sistem Informasi Akademik (SIA) yang bisa dibuka melalui perangkat keras manapun. “Tapi yang jelas harus registrasi.”

Dalam proses e voting—demikian kemudian sistem ini disebut, KPUM tingkat fakultas dan universitas memiliki wewenang penuh dalam melaksanakan proses pemungutan suara. PTIPD hanya membuat aplikasi dan tidak ikut campur dalam proses pengambilan suara. “Cuma KPU yang tahu per fakultas, hingga sampai rekapnya KPU yang bekerja,” terang ‘Uyun.

‘Uyun mengaku, pihaknya telah mensosialisasikan program atau aplikasi tersebut kepada panitia dari tiap fakults pada Jum’at (07/12). Tidak begitu berbeda, Ketua KPUM Universitas Mahfud Ghazali mengatakan dalam mekanisme sistem e voting ini, mahasiswa harus mendaftarkan diri terlebih dahulu kepada admin (panitia) menggunakan KTM.

Kemudian admin akan mengecek, apakah calon pemilih tersebut mahasiswa aktif atau bukan. Setelah itu baru bisa melakukan pemilihan suara. Bagi yang sedang berstatus mahasiswa non aktif ia tidak dapat melakukan pemilihan.

Nantinya akan ada dua admin di fakultas. Sementara, dari KPUM Universitas hanya akan memantau sistem tersebut.

Sosialisasi Belum Maksimal

Meskipun pihak PTIPD telah mensosialisasikan kepada KPUM dari tiap fakultas. Namun, sosialisasi terhadap mahasiswa umum terlihat belum maksimal. Beberapa narasumber yang diwawancarai ARENA tidak mengatahui teknis pengambilan suara.

Desi Zuhriana mahasiswi semester lima jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam menyatakan sejauh ini baru sedikit informasi yang dia dapatkan. KPUM memang sudah melakukan sosialisasi. Namun mereka hanya menyebarkan pamflet di media sosial dan print out yang ditempelkan di papan pengumuman fakultas. “Tetapi itu kurang efektif karena belum tentu mahasiswa mau membaca papan pengumuman,” tutur Desi.

Tidak berbeda dengan Desi, Fathur Rahman menilai sosialisasi KPUM kurang. Fathur sudah mencoba mencari tahu informasi seputar teknis pemilihan dengan sistem e voting kepada teman-temannya. Namun, mereka sama saja tidak tahu. Menurut Fathur, hal ini mengakibatkan sikap apatisme teman-temannya. Karena tidak mendapatkan sosialisasi, mereka tidak tahu dan tidak mendapatkan dorongan untuk mencari tahu.

“Jadi mikirnya nggak penting jadi nggak mencari tahu. Tapi dari aku sendiri itu penting, pengen tahu pemilihannya gimana?” tutur mahasiswa Sosiologi Agama semester satu ini ketika ditemui di kafe Basa-Basi, Senin (10/12).

Selain Desi dan Fathur, Noer Affandi, teman satu jurusan Fathur juga mengaku kurang mengetahui teknis pemilihan e voting. “Saya kurang tahu untuk sistem pemilwa saat ini, karena memang sosialisasinya masih kurang,” kata Noer.

Ketidaktahuan teknis e voting tidak saja belum diakui sejumlah mahasiswa biasa. Ketua Umum Partai Kita Bersama (Parkiba) mengaku belum mendapatkan sosialisasi dari KPU M. Pihaknya belum mengetahui bagaimana mekanisme sistem e voting. “Kelemahannya di mana, karena setiap sistem itu ada celahnya, dan kita tidak dikasih tahu,” tutur Adit ketika dihubungi via telepon, Minggu malam (16/12).

Pihaknya telah mengirimkan surat permohonan kejelasan sistem e voting. Namun, surat tersebut belum juga ditanggapi oleh KPU M. Alih-alih mendapatkan jawaban, pihaknya justru disuruh meminta penjelasan pada PTIPD. “Yang menyelenggarakan pemilwa itu KPU M, bukan PTIPD. Kan logikanya itu cacat,” kata Adit.

Celah Kecurangan

Ketua Senat Mahasiswa (Sema) Universitas Afhit Resdi Sandhi mengklaim, sistem e voting ini aman. Pihaknya juga sudah melakukan simulasi. Dalam sistem ini, satu NIM hanya bisa digunakan untuk satu kali pengambilan suara. Setelah itu, sistem akan menutup akses.

Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan ‘Uyun ketika ditemui ARENA lagi pada Senin sore (17/12) di PTIPD. Ia menambahkan, sistem ini bekerja secara real time dan akan mengakumulasi suara yang masuk. Perolehan suara bisa dipantau karena akumulasi berjalan secara otomatis.

Meskipun secara teknologi aman, sistem ini bukan tanpa kelemahan. ‘Uyun membenarkan kecurangan bisa saja dilakukan. Semisal, seseorang mengontak admin di fakultas melalui media sosial dari luar kampus untuk melakukan registrasi 10 KTM. Kemudian orang tersebut akan masuk pada sistem dan menggunakan 10 suara yang tidak sah karena bukan miliknya.

Karenanya, pihak PTIPD menyarankan skema proses. Pemilih harus datang ke TPS untuk melakukan registrasi. Jika pemilih datang ke TPS, menunjukkan KTM dan dicocokkan dengan wajahnya, maka sulit terjadi kecurangan. Semua ini bergantung kepada KPUM.

Jika KPUM membuka keran registrasi secara online, hal itu akan menjadi celah terjadinya kecurangan. Karenanya, proses registrasi harus ketat dan diawasi. “Registrasi itu kan mestinya ada pengawas juga, to,”kata ‘Uyun. “Kuncinya memang di KPU,” tegas ‘Uyun.

Sementara itu, Ketua Partai Parkiba Aditya Utama menyayangkan simulasi yang dilakukan Sema Universitas tidak melibatkan pihaknya. Mestinya, ada kesepakatan antara Sema Universitas sebagai steering committee, KPU M Universitas, dan partai. Namun, hingga kini, belum ada kesepakatan untuk melakukan uji coba e voting. “Kami tidak pernah diajak untuk simulasi pencoblosan.”

Masalah keamanan, Adit mendapatkan sebaran screenshot yang meminta NIM dan password teman atau mahasiswa baru angkatan 2018. Ia memandang, meskipun sudah menggunakan sistem online, celah untuk melakukan kecurangan memang masih ada. “Artinya jika masih ada usaha semacam itu, maka masih ada celah kecurangan dalam sistem tersebut,” tuturnya.

Hingga saat ini pihaknya masih mencoba menemui KPUM. Sebab, selain belum melakukan uji coba sistem bersama, sejauh ini belum ada kesepakatan mengenai siapa yang menjadi saksi dalam Pemilwa serta bagaimana tindakan yang harus diambil ketika terjadi kecurangan.

Jika terdapat masalah yang belum diselesaikan—seperti sosialiasi kepada partai sementara proses Pemilwa terus berlanjut, pihaknya akan mengambil tindakan. “Kami mendesak pihak KPUM untuk menyelesaikannya.”

Reporter: Farobi dan Adit

Redaktur: Syakirun Ni’am

Ilustrasi: Agus Teriyana