Home BERITAKABAR JOGJA Feminisme dan Agama Menentang Kekerasan Seksual

Feminisme dan Agama Menentang Kekerasan Seksual

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on November 22, 2018

Salah satu penyebab kekerasan seksual adalah hubungan sosial yang menempatkan perempuan sebagai objek. Selain menentang pandangan ini, feminisme juga tidak bertentangan dengan agama.

Lpmarena.com- Klaim utama feminisme adalah menempatkan perempuan sebagai subjek. Kekerasan seksual yang laki-laki lakukan pada perempuan disebebakan karena mereka merasa berhak dan menganggap perempuan sebagai objek.

Hal tersebut disampaikan Ulya Niami Efrina Jamson, dosen program studi (Prodi) Departemen Politik dan Pemerintahan UGM. Menurut Ulya masalah personal seperti di atas merupakan sebentuk praktik politik. Karenanya, perempuan harus punya hak bicara dan menentukan haknya sendiri.

“Hal inilah yang akan diperjuangkan oleh feminisme,” terang aktivis Fatayat Nahdhlatul Ulama ini dalam talkshow Islam, Perempuan, dan Feminisme, yang diadakan oleh Jamaah Shalahudin UGM dan Jamaah Muslim Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), di Selasar Barat fakultas, Jumat (16/11).

Melengkapi Ulya, Sahironi, Manajer Rifka Annisa, lembaga nirlaba yang konsen menangani kasus kekerasan seksual, mengatakan, dari riset yang dilakukan pihaknya, sekitar 22 % – 49 % laki-laki mengaku pernah melakukan kekerasan seksual pada perempuan.

Adapun motivasi laki-laki melakukan kekerasan seksual pada perempuan karena mereka merasa berhak sebesar 70 %, untuk bersenang-senang 23 % – 43 %, karena marah atau sebagai penghukuman 23 % – 34 %, dan karena pengaruh minuman keras sebanyak 9 %.

Lebih lanjut, Sahironi mengatakan penyebab laki-laki melakukan kekerasan seksual dan perempuan menjadi korbannya bisa dilacak melalui variabel personal, keluarga, komunitas, dan sosial.

Dalam variabel personal, pandangan relasi seksual laki-laki sebagai pihak yang dilayani dan perempuan melayani, memiliki risiko 14 kali lipat bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan seksual.

Sementara, perempuan yang memiliki pandangan cenderung menerima dan menyerah pada keadaan—sekalipun itu buruk baginya, merasa harus pasif, dan tidak boleh terlalu agresif, memiliki risiko lebih rentan jadi korban pelecehan seksual.

Bahkan dibanding perempuan tomboy, kekerasan seksual justru lebih rawan menimpa perempuan yang terkesan seperti muslimah sejati. “Karena dalam dirinya tidak ditanamkan konsep keberanian,” jelas Roni.

Jika variable personal muncul dari dalam diri seseorang, dalam variable keluarga hubungan yang tidak harmonis antara ayah dan ibu bisa mendorong anak melakukan tindak kekerasan seksual.

Seperti, ayah melakukan kekerasan pada ibu, ayah yang cenderung mendominasi dan sikap ibu yang pasif, serta kurangnya pengasuhan terhadap anak.

Sementara, dalam variable komunitas terdapat proyeksi perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung bungkam karena stigma negatif dari lingkungan.

Kekerasan Seksual dalam Pandangan Agama

Menurut perspektif Islam, Arif Wibowo Pengajar Ma’had Aly Imam Al Ghazali menjelaskan, keluarga menjadi entitas terkecil dalam masyarakat. Dalam keluarga dibutuhkan koordinasi yang baik antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki tidak mendominasi.

“Seringkali kajian-kajian mengenai keluarga itu pada kajian fikih sehingga laki-laki sangat dominan,” ungkap Arif.

Problem lain, menurut Arif, adalah masuknya industrialisasi yang mengebiri peran dan membuat keluarga sulit membagi waktu. Secara historis feminisme muncul merespon era tersebut.

Sehingga, salah satu tantangan terbesar bagi tokoh agama saat ini adalah menyejahterakan keluarga. Sebab, keluarga kerap menjadi pintu terjadinya kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan kekerasan fisik. “Dan memang kapitalisme itu tanpa ampun. Orang diukur hanya dari sisi produktivitasnya saja,” tutur Koordinator Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) ini.

Sementara itu, Sahironi menyayangkan agama kerap dijadikan justifikasi, termasuk dalam mengkonstruksi struktur sosial yang didominasi oleh laki-laki. Sejak sebelum kemunculan Islam, sudah ada budaya patriarki di mana perempuan dijadikan barang, bahkan warisan. “Kemudian Islam lahir untuk membongkar itu semua,” tegas Sahironi.

Menjawab apakah feminisme bertentangan dengan agama, Ulya menegaskan, feminisme tidak serta merta bertentangan dengan agama. Sebab, yang diperjuangkan feminisme keadilan sosial, membongkar nalar seksisme, dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.

“Musuh bersamanya bukan islam yang anti feminis atau feminis yang anti islam. Tetapi musuh bersama adalah industrialisasi,” jelas Ulya.

Reporter: Nur Hidayah

Redaktur: Tsaqif Al Adzin Imanulloh