Home CATATAN KAKI Kebisuan dan Sebuah Ekstase Kehidupan

Kebisuan dan Sebuah Ekstase Kehidupan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on December 7, 2018

Oleh: Zaim Yunus*

Pada 29 November 2018, saya tiba di Humberg untuk yang ketiga kalinya. Tempias di kaca pesawat Boeng 747 bergerak seperti siput di kaca pesawat. Kali ini perjalanan ke Humberg tidak lebih dari tiga puluh menit, tidak juga lebih jauh dari sepuluh lembar kertas berwarna cokelat. Saya tidak pernah sekali pun melawat ke Humberg. Novelis asal Jepang; Haruki Murakami dengan Norwegian Wood-nya yang membawa saya pergi ke sana.

Tidak habis pikir, Murakami menulis novel Norwegian Wood dalam keadaan baik-baik saja. Sebab, sejak halaman pertama, sejak Watanabe—si tokoh utama—dan saya tiba di Humberg, ekstase kebisuan pun kepiluan memeras saya untuk tetap khidmat dalam sunyi dan hening yang bening. Suara instrumentalia lagu “Norwegian Wood” dari The Beatles, barangkali menambah sepi kian nyaring tak tersaring. Saya tahu, lagu itu meremas Watanabe pada ingatan tentang Naoko, kekasihnya. Begitu pun saya, terjerembab katalis Watanabe-Beatles-Naoko, bahkan sebelum halaman kesepuluh buku itu.

Di negara mana pun, sunyi sering hadir dalam sebuah karya. Buktinya, karya akbar Gabriel Garcia Marquez pun berjudul sunyi: One Hundred Years of Solitude. Sunyi seolah lahir sebagai gaya retorik paling menawan dalam kehidupam. Di setiap massanya sunyi akan tetap jadi neologisme baru, dan menjadi diksi klise yang barangkali akan bertahan bertahun-tahun, sampai kiamat.

Berbicara “sunyi”, lekat kaitannya dengan diam. Di mana bagi saya, diam adalah seni menjaga kesetabilan ketenangan dan bunyi. Zikir, meditasi, banyak mengajarkan kita tentang hal itu; pun para zen, sufi, biksu, dan rabi yang secara imperatif memasukkana laku itu dalam ajarannya. Siapa yang dapat memberontak pada sunyi? Bahkan para pemberontak sekalipun sebetulnya menanggung kesepiannya masing-masing.

Kita perlu memahami sunyi sebagai the eloquency of silence, yakni: kefasihan dari diam. Maksudnya, seperti tertulis pada paragraf sebelum ini—bahwa sunyi adalah seni. Dan diam memang seringkali menjadi bahasa paling luwes dan dapat menjelma ungkapan paling padat. Ini lekat dengan perkataan Ivan Illich, tentang the eloquency of silence, “Kata-kata dan kalimat terdiri atas diam yang lebih bermakna dari pada bunyi.” Illich menambahkan bahwa, “Bahasa adalah seutas tali kebisuan. Bunyi menjadi simpul-simpulnya.”

Ada banyak dimensi dalam sunyi dan kebisuan. Anda bisa saja bertahan berjam-jam dalam diam dengan perempuan yang Anda cintai. Namun, apakah itu artinya Anda tidak lagi mencintainya? Bukan, malah sebaliknya, merasa tidak ada kata yang tepat untuk mengatakan sesuatu hal adalah alasan diam yang terdalam. Tidak selamanya komunikasi terjadi lewat percakapan atau suara yang saling bersahutan karena semua bisa jadi sebaliknya.

Inilah yang disebut sebagai kata-kata dan kalimat yang tersusun dari diam yang lebih bermakna dari pada bunyi. Goenawan Mohamad dalam kumpulan esai Kata Waktu, berjudul “Kebisuan”, pun membicarakan Ivan Illich dan the eloquency of silence. Bahwa suatu hal yang penting: jeda dalam komunikasi. Bahwa diam diperlukan untuk membentuk sebuah makna, bukan sekadar tidak mengerjakan apa pun, lebih dari itu, diam bahkan konklusi dari kebisingan yang kotor dan penuh pelintiran.

Disebabkan itu, di jaman perubahan cepat seperti sekarang ini, kebisuan—sunyi—adalah suatu arus balik menuju muasal. Tidaklah dunia makin gila dengan suara, kegilaan dengan pengeras suara sehingga memaksa orang lain mendengarkan pendapat dengan cara ceroboh. Barangkali Anda sempat mendengar seorang pemuka agama dengan kesombongannya memaki dan mengatai Kepala Negara sebagai banci. Di sini saya tidak membacanya sebagai pelanggaran kesopanan yang hirarkis. Namun, lebih dari itu, kebebasan—sebagai konsekuensi dari kemerdekaan—telah merenggut diam dari bibir kita.

Kembali pada Goenawan Mohamad dalam esai yang sama, “Bila kata-kata bagian dari keberdiam-dirian, yang terdengar bukanlah ‘ajaran’ atau ‘kuliah’.” Kata-kata selayaknya berupa proses batin sekaligus sebagai bagian integral dari diam. Sehingga menjaga kesetabilan keduanya menjadi pilihan yang bijak. Bukan malah berat satu hal dan melupakan bagian penting yang menyusunnya. Ibarat roda: yang menjadi pusat adalah kata-kata yang terucapkan—tapi yang membentuk roda adalah ruang kosong di antara itu semua, begitu yang ditulis Goenawan dalam esainya.

Pada dekade demokrasi liberal ini, menyuarakan pendapat adalah hak yang harus dijaga. Tentu dengan hal itu saya setuju. Namun, apakah kebebasan tersebut lantas merenggut dan mengalpakan repertoar kebisuan-diri. Tidak perlu naif jika kita memang kekurangan perenungan. Kebodohan purba kini muncul kembali, menjadi ketergesaan yang memprihatinkan dan menyesatkan diri pada kemerosotan.

Pastilah banyak aspek yang mendukung fenoma tersebut tetap berjalan licin. Keriuhan media sosial, misalnya, ribuan berita bohong bisa ribuan bertebaran per-harinya. Memang dilematis membicarakan konsekuensi kemerdekaan dan kebebasan. Butuh kedewasaan yang benar-benar matang guna meminimalisir dampak buruk yang ditimbulkan oleh hal tersebut. Jika dingin tak tercatat pada termometer, kedewasaan tidak pula tercatat pada kuesioner survei. Membicarakannya sama halnya menjadi ahli nujum yang tidak pernah melihat bintang—nonsens.

Pun dalam Norwegian Wood, Watanabe tetaplah laki-laki dewasa yang tak pernah mengenal dirinya. Meskipun dilanda sunyi sebelum atau selepas kehilangan Naoko yang mati bunuh diri, ia tetap laki-laki yang tak menemukan apa pun.

Apakah sebuah ciuman di atas loteng menyembuhkannya? Tentu saja tidak. Sunyi menghampirinya, cinta Watanabe mengambang di satu titik. Ternyata kesunyian yang panjang pun tidak membuahkan hasil. Namun, bukan suatu yang buruk bukan? Dengan menyembunyikan diri dalam sunyi dan diam, paling tidak ia tidak menambah kepelelikan yang sudah kian sinting. Tetapi saya tidak yakin, apakah kesunyian masih bekerja di antara dunia yang riuhnya makin gila ini?

 

 

*Zaim Yunus, pegiat literasi di Komunitas Kutub Yogyakarta