Home BERITAKABAR JOGJA Pemanggilan Reporter Balairung Indikasikan Kriminalisasi terhadap Jurnalis

Pemanggilan Reporter Balairung Indikasikan Kriminalisasi terhadap Jurnalis

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on January 17, 2019

Lpmarena.com Penyidikan yang dilakukan oleh Polsisi Daerah D.I. Yogyakarta terhadap Citra Maudy, reporter Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung yang menulis berita Nalar Pincang UGM dalam Kasus Perkosaan dinilai janggal dan terdapat indikasi kriminalisasi.

Hal tersebut disampaikan oleh Yogi Zulfadhli, kuasa hukum Citra Maudy dalam konferensi pers yang diselenggarakan kantor LBH Yogyakarta, Kotagede, Yogyakarta, Rabu (16/01) pukul 13.00 WIB.

Pada 7 Januari Citra memenuhi panggilan oleh Polisi daerah D.I. Yogyakarta sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan kepada Agni. Pemanggilan ini didasarkan pada aduan yang diajukan oleh Arif Nur Cahyo, Kepala Satuan Keamanan Kampus (SKK) UGM dengan nomor S.Pgl/2450/XII/2018/Ditreskrimum.

Kejanggalan tersebut terlihat dari beberapa hal. Pertama, Citra tidak masuk dalam saksi karena peran citra hanya sebagai pencari berita dan mempublikasikannya melalui website Balairung. Ia juga tidak masuk dalam kategori saksi berdasarkan KUHP bahwa saksi adalah orang yang melihat, mengetahui, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa pidananya.

Kedua, pertanyaan yang diajukan oleh penyidik bukan mengarah pokok aduan, yakni dugaan tindak perkosaan yang menimpa Agni. Penyidik justru mengajukan pertanyaan seputar berita dan proses reportase/liputan yang dilakukan.

Ketiga, hal ini di luar dari penyidikan, adalah statement kabur Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Provinsi DIY, Kombes Hadi Utomo yang menyatakan terdapat indikasi bohong dari nomenklatur “perkosaan” yang digunakan Balairung dalam beritanya. Bahkan, kata Yogi, pejabat Polda tersebut berstatemen sebelum hasil penyidikan keluar.

Padahal, penyidikan merupakan tahap menentukan tersangka. “Penyidikan itu kan merupakan proses pencarian tersangka. Nah, untuk mencari tersangka dia menggunakan pasal KUHP, dengan panduan penyidikan ada pada pasal 285 dan 289 KUHP,” papar Yogi.

Dalam pemanggilannya, Citra mengaku dicecar beberapa pertanyaan yang justru di luar substansi kasus, yang mengarah pada tindakan Citra sendiri sebagai reporter. Seperti, identitas narasumber yang dianonimkan, di mana menjumpainya, bagaimana kondisi korban ketika diwawancara, hingga apa hingga pertanyaan mengenai apakah berita ini benar atau hoax.

Dalam hal ini, Yogi sempat berdebat dengan penyidik karena keluar dari substansi kasus dan melewati batas etika jurnalistik. Namun, penyidik justru mengatakan bahwa pertanyaan tersebut untuk mengungkap akar dari segalanya. “Pelapornya ini mendasarkan laporannya pada berita yang anda tulis,” kata Citra mengutip apa yang disampaikan penyidik.

Tindakan Polda DIY juga dinilai sebagai kegagalan paham dalam menangani kasus ini. Sebab, yang dilaporkan adalah kasus perkosaan namun yang dikejar penyidik justru mengenai kebenaran berita. Pendekatannya jugadinilai tidak tepat.

”Apa yang dilakukan oleh teman-teman Balairung adalah bagian dari kemerdekaan pers. Kalaupun yang dipermasalahkan beritanya, maka pendekatan yang dipakai bukan pendekatan pidana namun bisa pendekatan UU Pers atau mekanisme jurnalistik lainnya” papar Yogi.

Hal ini disebutkan pada pasal 4 ayat 1 UU 40/1999 menegaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.

Sementara itu, Pito Agustin anggota LBH Pers Yogyakarta menambahkan, pendekatan hukum pidana dari pihak kepolisian semakin memperlihatkan alamat untuk mengkriminalisasi wartawan Balairung.

Padahal apa yang dialami Agni sebagai korban merupakan perkosaan menurut versi Komnas Perempuan. Sedangkan kata pemerkosaan di KUHP memiliki penjelasan tersendiri.

“Padahal jelas itu adalah pemerkosaan menurut versi Komnas Perempuan. Memasukkan benda-benda ke dalam alat kelamin itu adalah kekerasan,pemerkosaan. Tapi kan Polisi menggunakan KUHP. (Sementara di) KUHP permerkosaan ada persetubuhan dan seperti itu” ungkap Pito.

Pito juga mengungkapkan, Dewan pers sudah meneken Memorandum of Understanding (MoU) dengan Polri mengenai penanganan kasus yang berkaitan dengan pers, dikembalikan ke Dewan Pers, bukan dengan memanggil jurnalis meskipun hanya sebagai saksi.

Perspektif kepolisian selaku penyidik juga musti lebih jeli. Bukan justru menyerang balik dengan dalih berita bohong atau salah serang dengan undang-undang yang tidak sesuai.

Reporter: Sekar

Redaktur: Syakirun Ni’am

Foto: Syakirun Ni’am