Published on January 18, 2019
Lpmarena.com- Preman menjadi figur yang selalu ditemukan dalam sejarah Indonesia. Kelompok ini, yang biasanya berbentuk organisasi masyarakat (Ormas), tetap bisa beradaptasi dan berdampingan dengan negara. Menjelaskan preman pada masa reformasi tidak bisa dipahami tanpa merunut pada sejarah preman dan hubungannya dengan negara pada masa Orde Baru.
Pada masa Orde Baru, di Indonesia terdapat peta kekuasaan yang bersifat lokal. Dalam teritori tersebut biasanya terdapat tokoh yang menjadi ‘jagoan’ dan disegani. “Tapi selalu ada unsur ini orang yang punya kemampuan untuk bikin masalah kalau tidak dituruti atau tidak diberi jatah,” jelas Ian saat membedah bukunya yang berjudul Politik Jatah Preman pada Senin malam (14/01) di Djendelo Koffie, took Buku Togamas Affandi, Sleman.
Ian Douglas Wilson, adalah seorang dosen dan peneliti dari Murdoch University, Australia. Ia melihat keberadan preman lebih dari sekadar ‘urusan keamanan’. Dari kajian etnografi yang dilakukannya, ia menemukan pola relasi kuasa yang dimiliki kelompok tersebut dalam kehidupan sosial.
Protection racket, istilah lain dari keamanan, menurut Ian merupakan bagian yang menyatu dengan kehidupan sosial. Namun protection racket memiliki bentuk yang berbeda berdasarkan konteksnya. Dalam konteks negara hal itu bisa berbentuk upaya protektif negara terhadap warganya dari ancaman negara lain.
Sementara, dalam konteks keseharian, hal tersebut bisa berbentuk ancaman dari gerombolan kriminal. Mereka menjamin keamanan seseorang dari suatu ancaman jika tidak mendapatkan jatah. Padahal, ancamannya adalah kelompok itu sendiri. “Jadi asa unsur maksudnya penipuan dalam itu,” kata Ian.
Pada masa Orde Baru, kelompok preman tidak memiliki hubungan dengan negara begitu saja. Mulanya, mereka merupakan bagian yang berada di luar kekuasaan. Pada masa tersebut, salah satu hal yang paling ditakutkan oleh rezim adalah munculnya struktur yang bisa melawan kekuasaan. Hal itu bisa terlihat dari dokumen sejarah yang menjelaskan apa yang terjadi pada Jepang dengan Yakuza dan Sisilia dengan mafianya.
Maka keluarlah instruksi dari Soeharto untuk menciptakan shock. Tujuannya, untuk memecah kelompok-kelompok tersebut dan menjadikan mereka sebagai bagian kekuasaan negara di wilayah informal. Maka, pada tahun 1980 an muncul fenomena Penembakan Misterius (Petrus) dengan korban mencapai 15.000 jiwa. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan. “Awalnya misterius siapa yang melakukan, tapi pada akhirnya, ya, siapa lagi yang bisa melakukan pada waktu itu selain negara sendiri,” tutur Ian.
Setelah itu, kelompok preman berpikir bahwa mereka tidak akan bisa melawan dan akhirnya memilih bergabung menjadi bagian dari kekuatan negara. Sebab gambaran tersebut, yang Ian tuliskan dalam bukunya, Ian menyebut Orde Baru sebagi criminal state karena menggunakan berbagai unsur informal sebagai bagian dari kekuasaannya dengan cara-cara kekerasan.
Jumlah polisi yang lebih sedikit dari masyarakat membuat kelompok preman yang bersifat lokal tesebut kemudian direkrut menjadi bagian dari sistem ‘keamanan’. Negara membutuhkan kekuasaan lain. Pada waktu tertentu, kelompok ini juga diturunkan untuk mengintimidasi aktivis. Misalnya, ketika mahasiswa menuntut kemerdekaan Timor Leste. “Mereka bisa melakukan hal-hal yang dibutuhkan rezim supaya orde itu tetap ada.”
Beberapa Ormas juga melakukan kekerasan dengan membawa legitimasi. Ian mencontohkan, Pemuda Pancasila yang meminta setoran dan intimidasi dengan legitimasi Pancasila atau menyelamatkan masyarakat dari ancaman hantu komunisme. “Jelas ancaman sebenarnya mereka sendiri,” kata Ian sambil tertawa.
Organisasi Preman Pasca Reformasi
Setelah Orde Baru berakhir, Ian menjelaskan, relasi kekuasaan seperti itu tetap berlangsung. Mereka beradaptasi dengan sistem demokrasi multi partai dan electoral. Bahkan euforia demokrasi turut mempengaruhi kelompok tersebut.
Namun beberapa hal berubah. Seperti makna preman secara konotatif dalam masyarakat hari ini selalu berarti kriminal—dulu dilekatkan pada tentara berpakaian bebas, bentuk hubungan Ormas dengan negara yang bisa saling tawar menawar, hingga penciptaan legitimasi oleh masing-masing Ormas.
Relasinya juga semakin kompleks. Mereka berhubungan dengan partai, pengusaha, dan orang kepolisian atau TNI—buka sebagai institusi. Hubungan tersebut memberi legitimasi yang bersifat teritorial, kesukuan, atau identitas lain.
Di Jakarta, Ian mencontohkan, ada Forum Betawi Rembuk (FBR) yang mendaku sebagai pribumi. Kelompok ini muncul karena menjadi bagian yang terpinggirkan dari pembangunan ekonomi. Mereka meminta setoran, jatah lapangan pekerjaan, serta bidang-bidang sector informal.
Sementara Front Pembela Islam (FPI) muncul dengan legitimasi menyelamatkan umat. Mereka muncul merespon moralitas masyarakat yang dinilai buruk. Selain itu adalah demokrasi yang dinilai keterlaluan, liberalisme, dan asing.
Baik FBR maupun FPI, kata Ian, juga masuk dan mengisi ketidakhadiran Negara. FBR menuntut hak atau akses ekonomi untuk anggotanya dengan klaim sebagai pribumi. Sementara, FPI kadang disewa oleh masyarakat yang bukan anggotanya untuk menangani Bandar narkoba. Masyarakat merasa kepolisian tidak menindak dengan tegas. “Mereka ke polisi, polisi malah dianggap tidak membantu ada hubungan ysng lain dengan unsur kriminal,” kata Ian.
Namun, terkadang Ormas tersebut justru menjadi lapisan elit politik. Pada masa transisi pasca Orde Baru, Gubernur Jakarta pada masa itu senang menjalin hubungan dengan FBR. Mereka dimobilisasikan untuk mengendalikan masyarakat atau kelompok lain, seperti Urban Poor Consortium (UPC) atau jaringan rakyat miskin kota. Sementara, FPI pada awal kemunculannya menjadi kelompok keamanan yang dirangkul oleh petinggi militer. Mereka difungsikan untuk membendung kekuatan sosial yang muncul pasca reformasi.
Di sisi lain, elit politik juga memandang Ormas sebagai instrument yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan partai tidak memiliki jangkauan sampai akar rumput. Ormas dibutuhkan utnuk menjembatani partai dengan komunitas atau menggalang massa dan menggerakkn mereka di jalanan. Hal ini menjadi salah satu kekuatan Ormas untuk melakukan tawar menawar dengan Negara. “Karena politik di jalan selalu penting di Indonesia,” kata Ian.
Kekuatan politik bisa ditentukan di jalanan. Ian mencontohkan fenomena aksi 212. “Kelompok yang mampu menggerakan massa termasuk FPI itu punya daya politik yang sangat diinginkan, dicari, dibutuhkan oleh politik elite. Sekarang mereka punya modal yang sangat diinginkan oleh politik,” tutup Ian.
Reporter: Nur Hidayah
Penulis: Syakirun Ni’am
Redaktur: Fikriyatul Islami M.
Foto: Instagram Diurna.arta