Home KANCAH Terkurung Dalam Perasaan Terancam yang Mengada-Ada

Terkurung Dalam Perasaan Terancam yang Mengada-Ada

by lpm_arena

Published on January 28, 2018

Oleh: Rifa’i Asyhari*

Ketakutan adalah salah satu inting manusia paling purba yang masih bertahan setidaknya sampai saat ini. Suatu hari biohacking mungkin dapat mengenyahkan perasaan takut. Pada masa lalu manusia takut pada binatang buas, kegelapan, atau gerhana matahari. Saat ini kita mungkin takut pada masa depan, polisi lalu lintas, atau ancaman terorisme yang dapat muncul secara tidak terduga. Kita menyimpan rasa takut, meski terkadang dengan alasan yang tidak rasional. Rasa takut memang tidak harus rasional, bukan?

Salah seorang teman kita mungkin takut pada kucing dan selalu menghindar tiap kali hewan lucu itu mendekat. Meski dirayu atau diberi informasi bahwa kucing bukan hewan buas yang akan menyakiti manusia, ia tetap takut. Kita tahu, ketakutan teman itu tidak dilandasi alasan-alasan rasional.

Pada ruang yang lebih luas, orang-orang tengah takut pada tenaga kerja asing Cina di Indonesia. Ini semacam perasaan terancam dengan anggapan bahwa tenaga asing adalah penyebab kemiskinan dan kesusahan hidup saat ini. Narasi model ini menyebar tidak saja di Indonesia, tetapi banyak belahan dunia lain. Di Amerika kita menyaksikan narasi anti-imigran dengan slogan ‘American First’ yang diserukan Trump dan berhasil menarik massa.

Maria Le Pen, penggerak Front Nasionalis di Prancis mengusung isu diskrimnatif anti-imigran untuk memenangkan pemilu. Meski Le Pen akhirnya kalah, tetapi orang-orang yang terbuai dengan kampanyenya tidaklah sedikit.

Politisi adalah salah satu kelompok manusia yang paling pintar memanipulasi ketakutan. Mereka berteriak kepada kerumunan orang-orang untuk memberi tahu satu hal: kalian sedang terancam oleh kelompok manusia lain. Sayangnya, kelompok manusia itu selalu dialamatkan pada orang-orang yang memiliki identitas berbeda.

Orang Indonesia dibenturkan dengan Orang Cina, Amerika dengan Meksiko, dan Prancis dengan Imigran Eropa atau Timur Tengah. Perbenturan antar-identitas ini dimotori tokoh-tokoh politik yang sesungguhnya minim gagasan. Mereka, politisi itu, membenturkan sesama kelas bawah demi meguatkan kubu politiknya.

Gaya berpolitik dengan membuat massa merasa terancam terhadap kelompok liyan ini sedang jadi gaya dominan politisi. Mereka sesungguhnya tidak memiliki gagasan konkrit, kecuali usaha membuat massa merasa terancam. Para ahli menyebutnya xenofobia.

Orang-orang xenofobia merasa terancam sekaligus membenci segala hal yang asing. Mereka meyakini asal muasal amburknya ekonomi, sulitnya mencicil rumah, dan atau segala jenis kesusahan hari ini disebabkan  kelompok asing tersebut. Meksi dari tiga contoh di atas kita tahu, landasan perasaan itu irrasional. Dalam konteks politik, solusi xenofobia hanya satu, menjadi kelompok ekslusif dan tidak menerima orang asing. Jadilah mereka kelompok ultra-nasionalis atau ultra-konservatif.

Kemunculan xenofobia saat ini menjadi mungkin sebab perekonomian begitu buruk. Krisis berkepanjangan yang menyulitkan kita untuk menjangkau sumber-sumber ekonomi membuat  khawatir dan cemas. Kita merasa buntu, mungkin juga marah, sebab pemerintah tak kunjung memberi solusi konkrit untuk mengatasi kesulitan ini.

Di tengah perasaan buntu dan putus asa, datanglah politisi-politisi di luar kekuasaan/oposisi yang menyampaikan narasi-narasi ketakutan. Mereka menyebut kesusahan ini disebabkan kelompok asing yang sudah menjarah kekayaan kita. Rakyat harus bersatu untuk mengusir asing dan menggulingkan penguasa yang dianggap memberi jalan masuknya asing itu. Xenofobia adalah gaya politik yang membodohi massa.

Dalam term mutakhir, gaya berpolitik yang menekankan unsur xenofobia disebut populisme. Tentu saja ini bukan satu-satunya unsur, namun sejauh mata memandang, xenofobia selalu menjangkiti kelompok populis.

Para ahli belum bersepakat atas definisi dan posisi populisme dalam ilmu politik. Apakah ini ideologi, konsep, atau gaya politik. Bagi saya, populisme lebih enak dipahami sebagai gaya berpolitik, setidaknya sampai saat ini.

Sebagai gaya politik, populisme cenderung dangkal dan tidak memiliki konsepsi yang jelas. Ia dapat menjelma sebagai alat politik kiri atau kanan. Tetapi pada abad 21, populisme lebih banyak ditunggangi politik kanan, baik ultra-nasionalis maupun konservatif agama.

Gerakan populis selalu ditandai dengan adanya sosok pemimpin karismatik yang dianggap sebagai alter-ego massa. Di Indonesia, kita menyaksikan sosok Rizieq Syihab yang dipuja kelompok 212. Rizieq Syihab menjadi motor penggerak ratusan ribu massa yang berkumpul di Monas kala itu. Tanpa pemimpin yang dianggap alter-ego, massa akan sulit digerakkan.

Kita bertanya, bagaimana bisa orang-orang yang berbeda pekerjaan, latar belakang, dan kepentingan bisa berkumpul di satu tempat dengan pandangan seragam. Tentu ini mengejutkan di zaman liberal dimana sikap dan pengetahuan seseorang dibentuk dengan cara masing-masing. Semua orang memiliki akses ke internet tanpa batas yang memungkinkan pembentukan cara pandang beragam.

Tapi dalam sebuah gerakan populisme, mereka seakan tak terdeferensiasi, menyatu dan menyuarakan satu isu. Ikatan mereka hanya satu, identitas. Kesamaan identitas, meski sesungguhnya rapuh, dijadikan tiik pijak untuk mengumpulkan massa dalam satu kolam yang sama. Identitas kulit putih/orang Amerika dimanfaatkan Trump, warga Prancis dimanfaatkan Maria Le Pen, dan identitas muslim yang digunakan tokoh-tokoh 212.

Tentu saja identitas adalah perekat massa yang rapuh di zaman seperti ini. Mungkin kita sama-sama muslim, tetapi perbedaan ruang, pekerjaan, dan akses faslititas publik seperti rumah sakit atau tempat rekreasi menjadikan kepentingan kita berbeda, bahkan sesungguhnya bertentangan. Orang yang tinggal di istana dengan orang yang hidup susah di gubuk selamanya akan memiliki kepentingan yang berbeda.

Maka kesamaan identitas saja tidak cukup menjadi pengikat massa. Khotib Jumat menyerukan pentingnya umat muslim untuk bahu membahu dalam kehidupan sosial. Tetapi mereka hanya membantu dalam agenda-agenda bersifat seremoni, seperti pernikahan atau hajatan. Sementara masalah ekonomi cenderung jadi urusan masing-masing. Identitas saja tidak cukup.

Untuk itu, selain identitas, gerakan populisme selalu menciptakan musuh bersama yang seringkali salah alamat. Imigran tentu saja orang-orang lemah yang tak punya kuasa atau tak punya pekerjaan di negerinya tetapi disalahkan sebagai penyebab kesulitan ekonomi. Padahal semua orang mengerti, imigran timur tengah misalnya, adalah korban peperangan kekuatan-kekuatan besar. Di Indonesia, sentimen anti-Tionghoa terus dihembuskan untuk memupuk solidaritas sekaligus kebencian.

Gerakan populis membagi manusia ke dalam dua kelompok, ‘Kita’ yang merupakan sekumpulan orang-orang suci serta tertindas versus ‘Mereka’ yang dianggap korup dan bobrok. Ini gerakan perlawanan di luar kubu pemerintahan berkuasa, berposisi sebagai antagonis. Meski terlihat sebagai gerakan massa, populisme kanan pada dasarnya merupakan gerakan elite yang ingin berkuasa. Mungkin mereka oligarki lama yang tengah tersingkir dan menginginkan kekuasaan untuk mengembalikan privelege yang tercabut. Seperti keterangan sebelumnya, mereka menggunakan seorang pemimpin kharismatik.

Pemimpin gerakan populisme menggunakan jargon-jargon sentimentil untuk membakar massa agar kian  solid. Sebagaimana semua jargon, jargon populis tidak memiliki kedalaman. Dangkal dan tentu saja tidak rasional. Massa hanya perlu dibuat emosional.

Seorang pemikir menyebut populisme sebagai “emosionalisasi dan personalisasi politik”. Prosedur politik elektoral dalam demokrasi liberal ditiadakan, massa seakan-akan begitu dekat dengan pemimpin gerakan. Dalam personalisasi politik, kata Robert Samuels, jarak antara pemimpin (ego ideal) dengan pengikut nyaris raib bersamaan dengan ditangguhkannya daya kritis mereka.

Sampai di sini, kita memahami bahwa populisme sangat berbeda dengan gerakan warga. Gerakan 212 tentu berbeda dengan gerakan penolakan bandara oleh warga tergusur. Penggusuran yang merampas rumah atau lahan sehingga warga terancam kehilangan pekerjaan dan masa depan itu nyata. Tidak ada yang bisa menyangkalnya sebagai sebuah penindasan.Sementara dalam populisme, anggapan mengenai elite korup atau asing pencuri kekayaan negara tak dapat diuji secara ilmiah dan bertanggungjawab. Apa peserta aksi 212 merasakan penindasan secara nyata pada kehidupan pribadi mereka sebab Ahok  mengucapkan beberapa kalimat yang dianggap sebagai penistaan agama? Tentu saja tidak.

Kemunculan gerakan populisme biasanya terjadi ketika aktor-aktor gerakan mampu menemukan satu isu bersama yang disampaikan dengan bahasa ‘umat’. Penerjemahan isu inilah yang menjadi kunci keberhasilan gerakan populis dalam menghegemoni massa.

Bagi Ernesto Laclau, populisme berfungsi sebagai wahana diskursif yang merekonstuksi gagasan kolektif orang kebanyakan. Laclau menempatkan populisme sebagai suatu ruang netral yang dapat diisi berbagai macam ideologi, baik kanan maupun kiri. Chantal Mouffe, penerus Laclau sampai saat ini, agaknya memandang populisme secara positif. Kaum progressif dapat memanfaatkanmomentum kebangkitan populisme untuk tujuan-tujuan emansipatoris.

Apakah optimisme Mouffe pada gaya politik ini patut dipertimbangkan? Banyak ahli yang meragukannya sebagai gaya perjuangan yang kompromis dan tidak menjanjikan.

Dengan menyaksikan kuatnya dominasi ultranasionalis dan konservatisme agama atas populisme, kemungkinan masuknya kelompok progrresiv kian minim meski bukan berarti tidak ada. Sampai saat ini, populisme cenderung berbahaya untuk demokrasi.

Gerakan yang berpatok pada segelintir pemimpin kharismatik, tanpa gagasan kecuali jargon, mementingkan massa yang emosional, dan kerap menerjang prosedur negara demokratis, cenderung berbahaya dan mengancam demokrasi.

Baik demkrasi maupun populisme, keduanya memang melibatkan banyak orang. Hanya saja, demokrasi memandang orang-orang sebagai warga negara yang berbeda kepentingan, sementara populisme memandang orang-orang sebagai massa yang tak terdefensiasi. Konsekuensi dari cara pandang ini adalah kerapuhan aliansi populis, terutama ketika mereka berkuasa. Massa solid yang semula meyuarakan satu isu, yakni mengganti rezim dan menyingkirkan musuh imajiner, berubah menjadi massa cair yangmenuntut pemenuhan kepentingan masing-masing sesuai dengan posisi kelas dan konteks sosial.

Meski analisis kelas dianggap tidak lagi relevan dalam strategi pengorganisiran massa, kebutuhan real sehari-hari tidak dapat dilepaskan dari posisi kelas. Yang dibutuhkan petani adalah bibit murah, pupuk murah, dan harga tanaman yang layak saat panen. Tentu berbeda dengan para pemilik usaha yang hanya ingin memangkas ongkos produksi.

Perbedaan kepentingan ini hanya bisa ditangguhkan aktor gerakan dengan memunculkan musuh besar, lagi dan lagi. Hanya dengan cara itu massa akan tetap solid. Pandangan seperti ini setidaknya pernah ditulis Malcom Caldwell dan Ernest Utrecht dalam memandang langkah Soekarno untuk membakar semangat revolusi rakyat. Koloni sudah hilang, pindah ke Papua. Papua sudah direbut, bikinlah konfrontasi dengan Malaysia.

Jika strategi ala Soekarno diterapkan hari ini, masyarakat hanya akan menjadi xenofobik. Lalu menolak globalisasi dengan cara ekstrem, yaitu menjadi inklusif. Aliansi populis adalah aliansi rapuh, menangguhkan daya kritis massa dengan jargon kosong dan janji surgawi yang semu.

Selama ini,demokrasi liberal, meski menghasilkan keimpangan yang perlu diselesaikan, menjadi lahan subur bagi kemunculan beragam gagasan. Jika populisme kanan mengambil alih kekuasaan, kita akan kehilangan ruang yang selama ini sudah berhasil membebaskan setiap orang untuk bersuara dan mengkritik pemerintah. Jika kebebasan bicara sudah dirampas, maka segala bentuk kecurangan dan penindasan semakin sulit dilawan.

 

*Rifai Asyhari, mantan Pemimpin redaksi LPM Arena tahun 2015-2016, founder @ditolakredaktur. Saat ini bekerja sebagai editor di KBEA.