Home KANCAH Menemukan Sunan Kalijaga di Kampus Kita

Menemukan Sunan Kalijaga di Kampus Kita

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on February 25, 2019

Oleh: Doel Rohim*

Sudah lelah rasanya membicarakan dimana keberpihakan kampus UIN Sunan Kalijaga dalam upaya pengembangan kebudayaan Jawa di kampus ini. Setelah beberapa saat lalu penulis menemui fakta bahwa salah satu matakuliah di jurusan Sejarah Kebudayan Islam (SKI) yaitu sejarah dan kebudayan Jawa di hapuskan dari kurikulum baru. Penulis tidak habis pikir bagaimana rasanya Jeng Sunan Kalijaga di alam nirwana, kalau hal ini benar terjadi di kampus yang puluhan tahun menggunakan kebesaran namanya untuk brending di mata masyarakat kita.

Nama Sunan Kalijaga yang bernama asli  Raden Said putra adipati Wilatikta dari Tuban hidup sekitar  abat ke14-15 adalah salah satu waliyullah yang sangat mashur namanya di tengah-tengah masyarakat Jawa bahkan nusantara. Seorang penyebar agama Islam yang juga memiliki berbagai macam kahlian, mulai dari teknologi terbarukan pada masanya, kesustraan, kesenian, arsitektur, bahkan wawasan kebudayaan yang luas menjadikan kehadiran sosok yang termasuk wali 9 ini, sulit dihilangkan dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa. Kehadiran Sunan Kalijaga bak cahaya penerang di tengah kebuntuan antara agama Islam dan budaya saat itu. Sehingga Sunan Kalijaga seperti halnya composer yang meracik semua instrument kehidupan manusia Jawa menjadi tatanan yang luhur lagi estetis.

Begitu luhur nama Sunan Kalijaga sebagai panutan pembentuk tatanan kehidupan yang lekat dengan nuansa keberagamaan yang sangat kental. Menjadikan nama beliau di zaman modern diprasastikan menjadi sebuah nama institusi pendidikan yang dulu bernama Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijogo (Almarhum). Pengunaan nama tersebut, tentunya disadari sebagai upaya untuk meneruskan apa yang diperjuangkan oleh Sunan Kalijaga sendiri. Yaitu membumikan ajaran Islam di nusantara tanpa merusak tatanan yang sudah ada sejak nenek moyang kita.

Namun, apakah penggunaan nama tersebut sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita ideal dari cord besar keilmuan yang di jalankan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia hari ini? Sejauh mana juga institusi yang bernama UIN Sunan Kalijaga hari ini mengimplementasikan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga dalam sistematika kurikulum yang ada bagi mahasiswanya? Pertanya-pertanyaan ini menurut penulis akan selalu menarik ditengah arus perubahan dan percaturan global yang menuntut kita untuk membaca disetiap perubahan yang menggerus kewarasan kita hari ini.

Penggunaan nama Sunan Kalijaga sebagai nama intitusi kampus Islam, sebanarnya penulis sendiri tidak tahu pasti siapa yang mengusulkan nama tersebut. Disisi lain mengapa harus Sunan Kalijaga kenapa tidak nama sunan yang lain misalnya. Tetapi yang jelas seperti dijelaskan di buku panduan akademik UIN Suka bahwa spirit dari kampus ini mengambil dari ajaran-ajaran Sunan Kalijaga itu sendiri.

Pertanyaanya apakah seperti itu? Mari kita lihat, sejauh pengamatan penulis yang secara jelas nilai-nilai bahkan teksnya terpampang besar di depan masjid UIN Sunan Kalijaga adalah penggalan suluk linglung yang berbunyi “Anglaras Ilining Banyu Angeli Nanging Ora Keli”, teks tersebut seperti halnya saksi mati yang mungkin satu-satunya bisa merepresentasikan nama Sunan Kalijaga dalam kampus ini. Selebihnya seperti yang kita bisa lihat dari hal yang sederhana, apakah kampus ini mempunyai kajian kusus, atau bahkan jurusan, lebih tinggi lagi fakultas sendiri yang membahas menggenai Sunan Kalijaga dan kebudayaan Jawa. Nampaknya tidak ada, selama hampir lima tahun penulis menjadi bagian fakultas yang katanya paling berbudaya di UIN Suka.

Parahnya lagi nama Sunan Kalijaga hanya dijadikan brending (iklan) yang dilabeli dengan semangat kebudayaan yang digunakan untuk acara-acara berorientasi kebanggan yang bisa dilirik masyarakat nasional maupu international. Namun, acara-acara tersebut toh pada kenyataanya tidak dapat menyentuh esensi gerakan kebudayaan yang memiliki keberpihakan dan alternatif solusi yang dapat dirasakan masyarakat ditengah problem sosial dan keagamaan.

Kalau ingin berkaca dari apa yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga, kita bisa mengambil contoh dari salah satu modifikasi tradisi wayang kulit yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga sebagai bentuk gerakan kebudayaan. Seperti yang telah kita pahami wayang kulit adalah upaya Sunan Kalijaga untuk mengenalkan nilai-nilai ke-Islaman di tanah Jawa tanpa merusak tradisi kepercayaan masyarakat jawa saat itu. Walaupun sebenarnya pembahasan wayang kulit tidak sesederhana hanya sebuah pertunjukan yang dipertontonkan pada masyarakat kemudian penontonya digiring untuk masuk Islam. Jauh lebih dalam dari pada itu, bahwa wayang kulit adalah sebuah manivestasi dari cerminan kehidupan yang di gali dari sepirit ke Islaman yang berporos dari ajaran-ajaran tasawuf Syaihul Akbar Ibnu Arabi (Islam dan kebudayaan 2017).

Wayang kulit sendiri atau bahkan seni tradisi yang lainya di nusantara bisa dipahami sebagai jaring pengaman sosial untuk membentuk mental sepiritual masyarakat dalam upaya pembentukan karakter building masyarakat. Melalui gubahan cerita epos ramayana yang dimodifikasi sedemikian rupa oleh Sunan Kalijaga cerita-cerita tersebut bisa mengakar di kesadaran masyarakat Jawa atas tiga konsep utama ajaranya yaitu, memperindah alam dan kehidupan (hamemayu hayuning bawono), dari mana manusia berasal dan akan berakhir (sangkan paraning dumadi), dan yang terakhir menyatu menjadi satu antara  manusia dan Tuhan (manunggaling kaulo lan gusti). Ketiga konsep itulah yang menjadi agenda utama dari ajaran-ajaran Sunan Kalijaga untuk menciptakan masyarakat yang berbudi luhur dan menghalau kerusakan di muka bumi.

Dimana Keberpihakan UIN Suka Terhadap Kajian Kebudayaan

Membaca dari apa yang telah dijelaskan di atas, ada sebuah titik yang tidak ketemu bagaimana UIN Suka hari ini yang cenderung liberal dan Barat sentris, dengan semangat gerakan kebudayaan yang di jalankan oleh Sunan Kalijaga yang berpijak pada tradisi dan keIslaman. Tentunya mamang tidak lantas kita memahami secera sederhana relasi yang dapat menghubungkan nilai-nilai Sunan Kalijaga dengan kampus UIN Suka di konteks hari ini. Ada persoalan yang lebih rumit ketimbang hanya membangun sebuah jurusan, fakultas, pusat study kebudayaan yang di gali dari semangat Sunan Klijaga. Yaitu integrasi nilai-nilai Sunan Klijaga dalam lenskap besar orientasi pembangunan kurikulum pendidikan yang selama ini menurut pandangan penulis tidak hadir di sistem pendidikan kampus UIN Suka.

Kampus UIN Suka yang hari ini hadir di tengah-tengah kita nampak telah nyaman dengan bangunan epistimologi yang diadobsi dari Barat, dimana semangat liberalisme pengetahuan yang mengarah pada kapitalisasi pendidikan menjadi tujuan utama. Sehingga tidak lagi menyediakan ruang bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang berpijak pada akar dan tradisi masyarakat yang menjadi identitas kita sebagai bangsa yang berbudaya. Kajian-kajian kebudayaan yang bersumbu dari akar tradisi kita hanya riak-riak kecil sebagai bumbu pemanis yang dianggab tidak penting bagi para kolaborator pengetahuan yang mendewakan Barat sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.

Hal ini ditambah lagi dengan asas universalisme yang menjadi discourse (cara yang sudah tertulis untuk memperlakukan sesuatu) utama di kampus UIN Suka ini. Seperti yang di ungkapkan ST Sunardi, Asas ini secara tidak langsung membrangus sepesialisasi-sepesialisai yang muncul di kalangan kita untuk menemukan identitas kita yang sesungguhnya . Bagaimana kita lihat hari ini transformasi IAIN menjadi UIN secara sadar telah merubah bangunan keilmuan yang dulu berpijak pada khasanah ke-Islaman menuju universalisme yang diinjeksi dengan sains dan humaniora Barat, yang pada dasarnya tidak selalu relevan dengan problem solving yang ada ditengah masyarakat kita.

Kondisi seperti ini juga akan menyangkut relasi yang terbentuk mengenai kuasa pengetahuan yang dimana dominasi pengetahuan selalu di pegang oleh negara pertama. Sedangkan kita sebagai bangsa yang dibaca oleh Barat hanya sebagai negara ketiga, selalu dijadikan obyek untuk ditunduakan, diatur ulang, dan dilemahkan secara sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan keagamaan. Model yang kita pahami sebagai kolonialisme gaya baru ini, secara ganas sudah merasuk kesedaran kita melalui struktur pengetahuan yang kita amini sebagai pendidikan yang diajarkan di instansi-istansi pendidikan termasuk UIN Sunan Kalijaga.

Padahal kalau ingin jeli melihat seperti apa sebenarnya relevansi kajian kebudayaan, kita bisa memulai dari membaca ketercerabutan kita hari ini atas identitas cultural kita sebagai bangsa. Dinamika persoalan yang terjadi hari ini tidak hanya disebabkan oleh sturktur ekonom politik yang berorientasi pada pasar bebas saja, tetapi juga hilangnya pijakan kepribadian kita sebagai bangsa atas kolonialisme yang telah ratusan tahun bahkan hingga hari ini merasuk ketulang sum-sum kita. Kondisi seperti itu nampaknya perlu diurai benang merahnya, berpijak pada identitas kebudayaan kitalah sebenarya upaya bertenaga untuk menyalakan percikan api kesadaran itu kita bisa mulai.

Karna keterputusan kita atas bangunan pengetahuan kita sendiri yang telah ribuan tahun di bangun oleh para leluhur kita sudah teramat jauh. Kita telah kehilangan atau sengaja dihilangkan pengetahuan yang pada dasarnya sesuai dengan karakter sosiologis dan geografis manusia nusantara. Kehilangan itulah yang semestinya kita sadari sebagai titik awal permasalahan yang terjadi pada hari ini. Dan bagaimana UIN Suka meresponya.

Di titik ini sepirit Sunan Kalijaga menjadi penting untuk kita renungi atau bahkan kita temukan kembali di kampus UIN Suka ini. Terlepas dimana kita akan menemukannya, nama Sunan Kalijaga sudah seharusnya tidak lagi digunakan hanya sekedar emblem besar yang disematkan tanpa ada isi yang dapat diimplementasikan di jalanya institusi pendidikan Islam ini. Bukanya penggunaan nama besar itu juga harus dibarengi dengan pilihan-pilihan besar bukan.

*Penulis adalah mahasiswa tinggkat akhir dari fakultas Adab dan Ilmu Budaya