Published on April 16, 2019
Lpmarena.com- Konten pemberitaan media massa semakin menjauhkan masyarakat dari realitasnya. Hal ini disampaikan oleh Nyarwi Ahmad, Staf Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM dalam diskusi publik yang digelar oleh MAP Corner-Klub MKP, Selasa sore (02/04).
Pemberitaan yang disajikan oleh media massa merupakan peristiwa yang bersifat permukaan dan Jakarta sentris. Berbagai hal yang berkaitan dengan seluk beluk masyarakat miskin dan daerah terpelosok tidak mendapatkan porsi dalam pemberitaan. “Keberpihakan media massa kita pada isu-isu sensitif kelas makin hari makin hilang, karena cenderung melayani kelas yang berkuasa, yang memegang kendali ekonomi politik,” terang Nyarwi.
Dalam diskusi yang digelar di Lobby Magister Administrasi Publik Fisipol UGM tersebut, Nyarwi menceritakan bagaimana dampak penguasaan media massa oleh para pemilik modal. Menurut Nyarwi, ketergantungan media massa kepada pemilik modal serta rezim periklanan cukup mengintervensi media massa dalam hal penyajian wacana hingga pemilihan kata.
“Ya, bahkan sampai ke permainan kata. Jangan sampai memunculkan kata ini, nanti rating media akan turun. Kalau rating turun, tidak ada yang mau mengiklan di media tersebut,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Nyarwi memberi pemaparan tentang teori model propaganda yang dicetuskan oleh Edward S Herman dan Noam Chomsky. Menurutnya, meskipun teori tersebut merupakan teori klasik, namun masih relevan untuk membaca fenomena media massa di Indonesia. Ide dasar teori model propaganda menyatakan bahwa media massa merupakan instrumen propaganda kelas penguasa ekonomi politik tertentu.
Nyarwi menjelaskan, ada lima faktor yang menentukan jenis berita yang disajikan media massa menurut teori tersebut. Lima faktor itu adalah kepemilikan, sumber iklan, narasumber, flank dan anti komunisme atau kekuatan ideologi. “Dari berita-berita yang tersaji, kita akan tahu pemilik media itu siapa dan iklan-iklannya apa saja. Narasumber atau sumber-sumber utama dalam pemberitaan, juga sudah pasti sangat menentukan jenis berita seperti apa yang akan tersaji,” paparnya.
Sementara mengenai dua unsur lain yaitu flank dan anti komunisme, menurut Nyarwi cara kerjanya nampak terselubung. Flank adalah kelompok-kelompok yang mengancam eksistensi media massa dari luar, dapat berwujud organisasi massa yang melakukan demo atas pemberitaan yang dilakukan oleh media massa tertentu, atau surat-surat protes yang datang di rubrik Suara Pembaca.
Sedangkan ideologi anti-komunisme mewakili ideologi dominan pada suatu negara, sehingga ideologi anti-komunisme berperan sebagai pengatur kemapanan ideologi negara yang terepresentasikan lewat media massa. “Ya, ideologi pro liberal, pro kapital, yang penting pro ideologi dominan. Kalau di Indonesia ideologinya pancasila ya pancasila,” terangnya.
Dalam diskusi bertajuk Ekonomi Politik Media dan Pemberitaan di Indonesia tersebut, Nyarwi mengungkapkan bahwa media massa adalah institusi yang rumit karena memiliki entitas ganda. Entitas ganda tersebut adalah entitas sebagai perusahaan/bisnis dan sebagai kontrol sosial/pilar ke-4 demokrasi, tepatnya setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Meskipun entitas ganda membuat media massa dalam keadaan dilematis, namun Nyarwi percaya banyak jurnalis yang tetap idealis di tengah monopoli media massa oleh pemilik modal. “Saya tahu, ada banyak sekali jurnalis yang idealis, yang masih menuliskan permasalahan tentang ketidakadilan, kesenjangan, kekerasan, sesuatu yang memang harus diceritakan. Meskipun pada akhirnya nanti berita itu akan dipotong oleh redaksi,” ungkapnya.
Nyarwi juga`mengungkapkan sebuah ide. Agar jurnalis Indonesia yang masih memegang idealisme, dapat membentuk koperasi dan mendirikan media massa. Namun ide itu segera ia tampik mengingat dana untuk mendirikan media massa sangat besar sementara gaji seorang jurnalis tidak kecil. “Untuk itulah saya lebih percaya pada Pers kampus yang independensinya masih tinggi,”pungkasnya.
Reporter: Afin Fariha
Redaktur: Syakirun Ni’am
Foto: Instagram Map Corner Club UGM