Published on April 20, 2019
Oleh: Farid merah*
Seperti minggu kemarin, kakek ingin kami berdua berjalan-jalan lagi di taman kota ini. Sudah dua kali akhir pekan, sejak kedatangannya lalu.
Nampaknya kakek suka berjalan di antara rindangnya pepohonan seperti ini. Sambil sesekali ia berhenti berjalan sejenak, memejamkan mata, dan berkata sendiri; “aku kembali.” Dengan mata keriputnya yang berkaca-kaca seperti sedang mengenang suatu hal. Di taman ini ada beberapa kijang yang sengaja dibiarkan lepas, pada rerumputan di antara pepohonan ini. Kakek membawa remah-remah roti sangat banyak, dan diberikannya kepada kijang-kijang itu beberapa kali.
Kami meneruskan jalan-jalan lagi. Melewati kebun bunga buatan, semua tampak baru tumbuh dan mekar-mekarnya, bunga-bunga anggrek, matahari, dan beberapa mawar, aroma harum khas tetumbuhan, dan aneka kembang, menyegarkan paru-paru kami yang sedang kembang-kempis, suara riak sungai buatan mulai terdengar, rintik air mancur dari kolam juga mulai terdengar. Kakek memegang pergelangan tanganku, memandang ke arah kursi yang menghadap air mancur itu, sambil berhenti sejenak dari langkahnya. Terlihat ada beberapa burung merpati hinggap di depan kursi itu, seorang perempuan tua yang seumuran dengan kakek duduk di kursi, dan seorang gadis muda seusiaku duduk di kursi yang berada di depan perempuan tua itu. Tiba-tiba kakek menarikku, seperti tarikan seorang tua yang menemukan kembali masa dan semangat mudanya. Sampainya di tempat, kakek berhenti. Memutar badan memandangi tiap sudut taman di sekitar air mancur ini, dengan mata berkaca-kaca, seperti sedang mengingat sesuatu di dalam kenangan lamanya, dan berkata lirih lagi ia; “aku kembali, kau di mana?”
Ia berjalan ke kursi, duduk di samping seorang perempuan tua yang seumuran dengannya itu, sedikit lebih tua dirinya, ia bicara kepada perempuan tua itu.
“Boleh saya duduk di sebelah anda, Nyonya?”
Nyonya itu menjawab dengan ramah dan tangan yang mempersilahkan, “silahkan, tuan.”
Ia duduk, sambil memandangi perempuan tua yang sedang melempar remah-remah roti ke segerombolan burung merpati. Aku duduk di kursi yang berada di depan mereka berdua, di samping seorang gadis, yang mungkin juga cucu dari nyonya tua itu, pikirku. Kulihat kakek juga mulai melemparkan remah-remah roti ke arah segerombolan burung merpati itu, perlahan-lahan, terus sampai remah-remah roti kakek habis. Ia mulai membuka-buka tasnya, mengeluarkan sebuah buku. Aku pandangi nyonya tua itu, ia tetap memberi makan segerombolan burung merpati dengan perlahan-lahan. Ia memanggil cucu perempuannya yang berada di sebelahku, minta diambilkan minum;
“Sania!” Seru si nyonya tua.
Gadis itu spontan kaget, menutup buku yang dibacanya, dan menyita perhatiannya sedari tadi.
“Ya, nenek,” gadis itu menjawab.
“Suara yang merdu dan sedikit kekanakan,” gumamku dalam hati.
“Tolong ambilkan minuman nenek di tas warna hijau itu, dan bawakan ke sini, sayang!” Seru si nenek.
Gadis itu mengambil minuman, lalu ia hampiri neneknya. Kakek tersenyum pada gadis itu, seperti sedang memberi sapaan. Gadis itu menuangkan minuman ke dalam gelas dan diberikan pada neneknya, sambil membalas sapaan kakek dengan menundukkan kepala dan senyuman, kulihat ia bertanya kepada kakek, tentang buku yang dikeluarkan kakek dari tasnya, gadis itu berkata.
“Kita abadi, yang fana itu waktu,” itu buku lama kan kek?” Tanya gadis itu pada kakek.
Tiba-tiba nyonya tua itu tersedak ketika minum. Gadis itu memarahi neneknya.
“Pelan-pelan nenek. Kata gadis itu.”
“Nyonya tidak apa-apa?” Tanya kakek pada nyonya itu.
Lalu kakek tersenyum dan menjawab pertanyaan gadis itu, “ya, betul, Nak, ini buku sangat lama sekali.”
“Kakek punya dua buku seperti ini, dan yang satu kakek berikan kepada teman kakek sebagai kenang-kenangan,” jawab kakek.
“Aku juga punya kek, nenek menghadiahkannya di ulang tahunku yang ke 17.” Kata gadis itu.
“Pemberian teman lama tuan, mataku sudah mulai kesulitan membaca ukuran hurufnya yang kecil-kecil, jadi kuhadiahkan pada cucuku agar ia membacanya dan membacakannya untukku,” kata nyonya tua menyambar sambil tersenyum.
Gadis itu kembali ke tempat duduknya. Aku memandangnya, ia melihatku dengan senyuman sebagai sapaan pikirku, kami saling menyapa dalam senyum. Ia duduk, kemudian menjulurkan tangannya padaku, aku memandangnya, ia memperkenalkan diri.
“Ira,” gadis itu memperkenalkan diri padaku, sambil menjulurkan tangannya.
Dan aku masih diam dengan kegugupanku. Ia bertanya lagi padaku.
“Dan siapa namamu, apa kakek itu kakekmu?”
“Oh ya, benar ia kakekku.” Jawabku dengan gugup.
“Dan namamu? Kau punya nama, kan?” Tanyanya lagi.
“Ya Tuhan maaf, Ibrahim namaku.” Jawabku.
Dan ia tersenyum, sambil menganggukkan kepala. Dan kembali pada buku dan kesibukannya.
Aku melanjutkan melihat sepasang senja di depanku, seperti ada dua matahari sore yang mulai terbenam di satu pantai. Sepasang lelaki dan perempuan tua, yang aku amati dengan tenang, sambil sesekali perhatianku jatuh pada ponselku. Kakek bertanya dan membuka pembicaraan, lalu obrolan demi obrolan dengan perempuan tua itu.
Dalam keadaan seperti ini, aku selalu teringat cerita kakek.
Kakek pernah bercerita padaku; bahwa dahulu ada seorang perempuan yang sangat dicintainya. Mereka berdua menjalin hubungan selama 2 tahun. “Kami berdua dahulu satu perguruan tinggi, tetapi beda fakultas, kami berdua satu lingkaran di dalam sebuah organisasi pemuda-pemudi,” cerita kakekku. Lebih tepatnya mereka berdua adalah sepasang aktivis pergerakan di masa itu.
Dahulu kami sering bertemu di taman ini, ya di sini, tepat di kursi ini. Cerita kakek padaku. Kami selalu membawa remah-remah roti dan kami beri kepada segerombolan burung-burung merpati yang hinggap di sekitar air mancur taman kota ini. Aku selalu membawa gitar dan buku puisi. Kekasihku sering memandangku lama-lama dengan pandang seorang ibu. Pada saat seperti itu, aku selalu merasa ibukulah yang memandangku, bukan hanya kekasih biasa. Ucap kakek. Aku seperti melihat ibuku ada di dalam dirinya. Aku selalu menyanyikan salah satu puisi di buku puisi itu, yang ku aransemen sendiri. Puisi berjudul Kartu Pos bergambar jembatan, begini liriknya; dinyanyikannyalah lagu itu oleh kakekku.
Kabut yang likang dan kabut pupuh
Lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan
Matahari menggeliat
Tak lagi di langit
Berpusing di pedih lautan.
“Menjelang tahun kedua aku kuliah. Aku mendapat beasiswa dari pemerintah, karena aku mengikuti sebuah program khusus di perguruan tinggi. Aku mendapat beasiswa kuliah di luar negeri. Aku berangkat ke Eropa Kota Praha cekoslovakia untuk konsentrasi ilmu budaya selama 3,5 tahun. Aku meninggalkannya, sehari sebelum aku berangkat, aku berpamitan dengannya di taman ini. Aku meninggalkannya, dan kami berpisah untuk bertemu kembali. Tetapi, pada saat itu ada sebuah situasi politik dalam negeri yang sedang carut-marut. Ada perubahan pemerintahan secara drastis di indonesia, dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer. Yang sebelumnya diawali dengan satu peristiwa yang mengerikan, peristiwa itu dikenal dengan sebutan G30S, di mana ada 7 Dewan Jendral diculik dan dibunuh.
Awal peristiwa itulah yang mengakibatkan kami yang dikirim oleh pemerintah pada masa kekuasaan Presiden Soekarno, tidak bisa kembali ke Indonesia, passport kami dicabut, dan kewarganegaraan kami tidak diakui oleh pemerintahan Indonesia yang baru, “sebab sikap kami yang juga enggan untuk mengakui pemerintahan baru itu.”
Pada mulanya kami diberi pemberitahuan dengan sedikit ancaman, bahwa pemerintahan Presiden Soekarno di negara Republik Indonesia sudah diganti, dan kami diminta untuk memilih salah satu dari dua pilihan sikap yang sangat politis, dengan segala komsekuensinya. Dan aku adalah salah satu anggota perwakilan Afro-Asian People’s Solidarity Organization (AAPSO). Saat itu aku berbicara mewakili Indonesia dalam konferensi Trikontinental di Kuba. Karena aktivitasku itu jugalah aku tidak bisa pulang, kewarganegaraanku dicabut pemerintahan Indonesia yang baru, karena pemerintah menganggapku sebagai agen Gestapu. Aku sangat menderita secara batin. Dipaksa hidup terasing tanpa sanak, tanpa kerabat, dan aku dipaksa meninggalkan orang-orang yang kucintai, dan dituduh yang tidak-tidak tanpa proses keadilan.” Cerita kakekku.
Pada tahun 1995 kakekku baru bisa kembali ke Indonesia, ia menikah dengan seorang perempuan, dialah nenekku, kala itu nenekku sudah mempunyai dua anak. Karena lamanya dia mencari kekasihnya yg dahulu, akhirnya ia putuskan berhenti berharap, tapi tidak berhenti mencari. Lima tahun lamanya menikah dengan kakek, nenek mrninggal dunia. Dan kakekku kembali terpukul, dan ia kembali mencari-cari kekasihnya yg dulu.
Tetapi ia masih sering pulang pergi Jakarta-Praha, itu tidak lain karena pekerjaannya sebagai redaktur, bekerja sebagai redaktur Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI). Pada tahun 2000 kakekku pensiun dari tempat kerjanya di Praha sana. Dan ia kembali secara utuh ke Indonesia. Begitulah cerita kakekku.
Pengalaman kakekku ini sangat mengesankan. Di mana selama berpuluh-puluh tahun, akhirnya kakekku bisa kembali ke negerinya, dan menikah dengan perempuan yang akan menjadi nenekku. Ia pernah menjadi ayah sekaligus ibu yang merawat anak yang bukan anak kandungnya, anak yang dibawa oleh nenekku, dari pernikahan sebelumnya, sekalipun nenekku sudah tiada.
Aku lihat kakek sedang berbincang-bincang dengan perempua tua itu. Aku mendengarkan dan mengamatinya.
“Apa nyonya sering berkunjung ke taman ini?” Tanya kakek.
“Dahulu saya sering tuan, tiap pagi di akhir pekan.”
“Sendirian nyonya?”
“Tentu tidak, dengan cucu saya, saya sangat nyaman dan tenang disini, saya suka sekali.”
“Saya rasa kita punya kesamaan nyonya, hahaha.” Canda kakek.
“Saya rasa nyonya juga suka puisi?”
“Begitulah tuan, hehehe.” Tersenyum nyonya itu.
“Apakah nyonya tidak keberatan jika saya membacakan satu puisi sebuah lagu di sini untuk nyonya?”
“Hahaha.” Tertawa nyonya itu.
“Ya tentu tidak apa – apa, silahkan!” Sambil tertawa.
Yesterday, all my troubles seemed so far away.
Kemarin, masalah nampak jauh dariku
Now it looks as though they’re here to stay
Kini seakan-akan semua masalah ada di sini
Oh, I believe in yesterday
Oh, aku percaya dengan hari kemarin
Suddenly,
Tiba-tiba
I’m not half the man I used to be
Aku tak lagi pria seperti biasanya
There’s a shadow hanging over me
Ada bayangan yang melingkupiku
Oh, yesterday came suddenly
Oh, hari kemarin datang tiba-tiba
Why she had to go
Kenapa dia mesti pergi
I don’t know she wouldn’t say
Entahlah, dia tak mau mengatakannya
I said something wrong
Telah kukatakan hal yang salah
Now I long for yesterday
Kini aku merindukan hari kemarin dan seterusnya. Terima kasih nyonya karena anda telah berkenan mendengarkan saya berbicara, maka dari itu, ini satu lagi puisi buat anda nyonya, dengarkan, ya!
Mencintai angin
Harus menjadi siut
Mencintai air
Harus menjadi ricik
Mencintai gunung
Harus menjadi terjal
Mencintai api
Harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala
Harus menebas jarak
Mencintai-Mu
Harus menjelma aku
“Begitulah nyonya,” kata kakek sambil tertawa.
“Waw bagus sekali, tuan.” Sahut nyonya itu.
“Apanya Sahukue.”
“Apa dahulu ketika muda, jihat demi kucing?” Tanya kakek.
“Betul tuan, kala itu saya masih bersama dengan seorang teman yang memberi buku itu kepada saya, tetapi sekarang hanya bila pagi sedang cerah dan sejuk seperti ini. Bagaimana dengan tuan sendiri?” Tanya nyoya tua itu.
“Saya baru dua kali akhir pekan, setibanya saya di kota ini lagi, dahulu saya juga sering, juga tiap pagi di akhir pekan, dengan seorang teman saya.” Jawab kakek.
“Buku itu sangat bagus tuan, sayang penglihatan saya sudah lemah, jadi saya harus minta tolong bacakan cucu saya jika sedang kangen-kangennya dengan beberapa puisi di dalamnya.
“Apakah nyonya pernah mencari keberadaan teman nyonya itu?” Tanya kakek.
“Saya tidak pernah mencarinya tuan, sebab dia berada di negeri jauh Eropa sana, bukan di negara ini.” Jawab perempuan tua itu.
“Apa nyonya pernah berbalas-balasan surat dengan temannya nyonya?” Kata kakek.
“Pernah tuan, beberapa kali di tahun pertamanya menempuh pendidikan di luar negeri.” Jawab perempuan tua itu.
“Apa dia tidak pernah ingin pulang menengok keluarganya?” Kata kakek.
“Apa dia tidak ingin bertemu nyonya lagi?”
“Oh tidak tuan, dia sangat ingin kembali, bertemu dengan keluarganya, juga denganku, begitulah yang ia tulis di surat terakhirnya.” Sambar nyonya itu.
“Lalu apa yang dia katakan di dalam surat pertamanya?” Tanya kakek lagi.
“Kalimat yang paling kuingat dalam suratnya yang pertama, aku pergi untuk kembali, katanya dalam surat itu. Ia akan kembali dan menemuiku di taman tempat biasa kita bertemu, ya, di taman ini, di kursi ini, dengan remah remah roti dan burung-burung merpati ini.”
“Tetapi sampai sekarang, ia belum pernah kembali tuan.Tetapi aku tetap yakin bahwa ia tidak akan khianati janjinya, aku yakin ia akan kembali, entah kapan, tapi ia akan kembali dan menemuiku di sini, dalam keadaan seperti apapun.”
Angin pagi tiba-tiba semilir berhembus lembut, daun – daun kering berguguran dari ranting-ranting pohon, langit meneteskan bulir-bulir kecil air, cuaca cerah berubah menjadi awan yang berselimut mendung. Gerimis mulai menangis, membuyarkan segerombolan burung merpati yang berterbangan mencari tempat berteduh, suara-suara cericit burung-burung kecil yang mengoceh, hilang bersama datangnya angin. Suasana hening dan lembap, keduanya mulai merasakan perasaan aneh, mereka berdua mulai salah tingkah, sebab menyadari bahwa obrolan seperti obrolan dua orang yang sudah lama akrab. Mereka merasakan keakraban yang aneh dan tiba-tiba muncul, yang dulu juga pernah mereka rasakan di waktu muda.
Aku melihat kakekku, membuka-buka bukunya, terlihat seperti akan membaca sebuah puisi. Aku merunduk lagi, kembali ke ponselku. Dan aku mendengar suara lirih yang parau bercampur tangis, suara itu menyanyikan lagu kesukaannya, suara itu semakin keras, dan menjadi dua, dan makin terasa sedu-sedan dua penyanyinya. Aku angkat kepalaku, juga gadis di sebelahku itu mengangkat kepalanya, kami melihat sepasang senja yang menangis, dan menyanyikan sebuah puisi yang biasa kakekku nyanyikan bersama kekasihnya;
Kabut yang likang dan kabut yang pupuh
Lekat dan gerimis
Pada tiang-tiang jembatan
Matahari mengeliat dan kembali gugur
Tak lagi di langit
Berpusing di pedih lautan.
Dalam tangis, perlahan – lahan nyonya itu bertanya pada kakekku. “Apa benar kau Rasyid yang memberikan buku itu padaku?”
“Ya Fatimah, aku Rasyid yang memberi buku itu padamu, dulu.”
Dan aku terus memperhatikan mereka, Seperti pantulan alam semesta yang terus memperbarui sekaligus mengulang apa yang terjadi.
*Farid Merah, mahasiswa Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Teater Eska.
Catatan sumber:
Puisi Sapardi Joko Darmono; * The Beatles Yesterday *Tirto.id Berita tentang Eksil.
Sumber Gambar: Medium