Published on May 2, 2019
Lpmarena.com- Besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Daerah Istimewa Yogyakarta jauh dari standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Salah satu faktor penyebabnya adalah penetapan PP Nomor 78 tahun 2015 yang didasari oleh hasil survei yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Berkaitan dengan ketidakadilan tersebut, Komite Aksi May Day menuntut dicabutnya PP Nomor 78 yang menjadi dasar penetapan UMK/UMP DIY, Rabu (01/05). Tuntutan disampaikan dalam aksi long march dari parkiran Abu Bakar Ali sampai titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Data yang mengacu pada PP Nomor 78 berdasarkan rapat koordinasi oleh Gubernur, Bupati/Walikota DIY, UMK 2019 yang ditetapkan bagi para pekerja di DIY tidak lebih dari Rp2.000.000. yakni Kota Yogyakarta sebesar Rp1.846.400, Kabupaten Sleman Rp1.701.000, Kabupaten Bantul Rp1.649.800, Kabupaten Kulon Progo Rp1.613.200. Terendah, Kabupaten Gunung Kudul Rp1.571.000.
Sementara hasil survei KHL Komite Aksi May Day per April 2019, rata-rata kebutuhan adalah Rp2.600.000. Dengan perincian Kota Yogyakarta Rp2.864.641, Kabupaten Sleman Rp2.819.248, Kabupaten Bantul sebanyak Rp2.781.574, Kabupaten Kulon Progo Rp2.682.049, serta Kabupaten Gunung Kidul Rp2.421.774. Survei tersebut didasarkan pada kondisi dengan melihat 60 komponen kebutuhan hidup.
UMK DIY yang tidak lebih dari dua juta, jauh dari standar KHL. Kinardi mengatakan hal itu terjadi akibat kebijakan pemerintah atas pengupahan. Menurutnya, hasil survei yang menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan UMK tidaklah tepat.
“Itu surveinya sudah salah, dijadikan dasar dalam menetapkan PP 78, artinya kenaikannya hanya stagnan,” ungkap Kirnadi selaku Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta saat ditemui ARENA seusai aksi, Rabu (01/05).
Meskipun berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Upah Minimum Provinsi (UMP) secara nasional meningkat sekitar 8% serta telah disesuaikan dengan PP No 78 Tahun 2015, kenaikan upah pekerja DIY masih merupakan yang terendah se-Jawa.
Penentuan upah pekerja yang menggunakan acuan nasional tersebut dirasa tidak adil dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan. ”Upah yang tinggi akan semakin tinggi, yang rendah tidak akan mungkin mengejar, karena menggunakan distribusi nasional,” paparnya.
Jumlah Rakyat Miskin Kota Meningkat
Berdasarkan data BPS jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan DIY melonjak. Maret 2018, tercatat penduduk miskin bertambah menjadi 305.240 jiwa dengan garis kemiskinan Rp409.744 per kapita per bulan. Terjadi peningkatan kemiskinan sebanyak 3,40 persen dari kondisi September 2017. Pada periode September 2017 sampai Maret 2018 penduduk miskin di perkotaan menjadi 11 persen.
“Provinsi (DIY) paling miskin se-Jawa, ketimpangan ekonomi tertinggi se-Indonesia, kemudian banyak buruh yang tidak punya rumah,” papar Irsyad Ade Irawan, salah satu koordinator dari KSPSI DIY, Rabu (01/05).
Sebagai dampak atas upah murah yang diterapkan oleh Pemerintah daerah DIY, banyak pekerja belum memiliki rumah hunian sendiri. Upah yang ditetapkan itu menyebabkan buruh sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di DIY semakin tinggi. BPS DIY mencatat bahwa garis kemiskinan di DIY pada Maret 2018 adalah Rp 409.744 per kapita dalam sebulan.
Salah satu massa yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional Yogyakarta, Abu Tauhid menyampaikan bahwa upah murah membuat daya beli buruh sangat kurang. Hal itu menyebabkan mereka harus mencari pekerjaan sampingan. “Buruh Jogja itu banyak sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya di Titik Nol Kilometer, Rabu (01/05).
Irsyad mengatakan bahwa gubernur kurang responsif menangani hal ini. Padahal dalam pidato pengukuhannya sebagai gubernur tahun 2017-2022, dia sudah mengakui tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan di DIY.
Namun kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang tinggi itu tidak dibarengi dengan langkah nyata dari pemerintah. “Mereka abai dan itu hanya menjadi gimmic, tidak ada langkah nyata untuk mengurangi itu,” tambahnya.
Irsyad mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali mengusulkan kenaikan UMK DIY namun pemerintah belum melakukan apapun. “Kami pernah melakukan kajian dan sudah mengusulkan itu berkali-kali tapi sampai hari ini belum dijalankan,” ujarnya saat ditemui ARENA di Kafe Margo Mulyo.
Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta, Kirnadi juga mengakui belum adanya langkah pasti dari pemerintah daerah. “Jawaban sederhana saya adalah konflik kepentingan, karena gubernur sekaligus juga pengusaha, ia juga akan menikmati hasil dari upah rendah itu,” papar Kinardi saat ditanya alasan pemerintahh belum meloloskan tuntutan rakyat.
Reporter: Dina
Redaktur: Fikriyatul Islami M