Published on April 14, 2019
Sajak Pemilu
Karena mulut dan pantat amat berjarak
Maka petinggi parpol, akademisi pun penulis anak-anak revolusi mencemooh kami
yang emoh perut kosong sekedar ditutupi kaos oblong
bertulis angka dan gambar pasanagan calon yang bergaya rapi
sebab kami tahu, koalisi lebih ruwet dari kabel listrik yang kendor
Karena gerrak mata tak terdengar oleh telinga
Maka media massa yang dipunya ketua parpol cuma tertarik memberitakan 651 janda dan duda baru menjelang pemilu
Sebab kami tahu kardus maupun besi wadah kotak suara tak kuat menahan beban 115 mayat korban tambang!
Karena gigi hanya mampu menggigit dengkul kaki sendiri
Maka penjilat tahu guna lidahnya untuk bersilat janji-janji kartu sakti
Bukan untuk mencicip tanah dan air tanah air yang tercemar merkuri
Bukan pula untuk menyuarakan Konvensi Minamata yang sudah dirativikasi
Karena pantat dan mulut amat berjarak
Maka ijon politik tambang dan praktik korupsi tak bisa dipungkiri
Maka aku bertanya,
pada tanah
pada air
pada tanah air
pada batu
pada bara
pada tanah air kaya batu bara
Dan kepadamu aku bertanya :
Pemilu kali ini untuk siapa?
Yogyakarta, 8 April 2019
Sajak Untuk Orang-Orang Tercinta
Bukan hujan yang menuntunku pulang
Apalagi puisi sembarang jadi yang ditulis para penyair musiman dan puisi pesanan yang
dibikin para penyair proyekan
Melainkan, pembangunan gila-gilaan yang menuntut adanya korban!
Rentenir diundang, hutang dibenarkan
Sektor tambang dan energi jadi garapan
Sedangkan, ancaman kelestarian alam tak diutamakan dan 32 korban meninggal di lubang
tambang diumbar!
1.665.457 hektar berkobar
455 petani dikriminalisasi
239 orang jadi korban kekerasan
18 orang tewas
Di tangan mereka yang mengaku nasionalis tapi bengis menindas!
Maka, aku tulis sajak ini,
seperti air mata orang-orang tercinta yang dikalahkan, yang jatuh dan tak dapat kembali
Agar kita segera pulang dan bersama-sama memenangkan pertarungan yang penuh jebakan.
Madiun, 10 Desember 2018
Kepada Rafika
Karena cinta
puisiku telah jadi api
Karena benci
puisiku mencipta bara
Dan aku perlu kau
untuk meramu keduanya
untuk membakar seribu bangau koran kemarin
yang tak mampu membawa kita terbang ke Karimunjawa,
yang tak mampu membawa kita menyelam ke taman karang
yang koyak yang dirusak
jangkar tongkang batu bara Kalimantan
Batu bara Kalimantan
yang hitam
yang murah
Sehitam kopiah capres-cawapres mbelgedes!
Semurah ludah pendukung mereka yang marah
Baru bara Kalimantan
yang hitam
yang mudah
Sehitam sayap enggang yang kehilangan hutan yang tinggal kita kenang
Semudah marah pengusung mereka
Melotot pada orang-orang tertindas
yang ogah jadi keledai Sancho Panza
yang tolol, penakut dan gila kuasa
Demi moralitas!
just stupid, benalu, psycho-freak!
Demi jadi WNI!
Kekasihku,
Karena cinta
puisiku telah jadi api
Karena benci
puisiku mencipta bara
Dan aku perlu kau untuk meramu keduanya
Yogyakarta, 10 April 2019
Kamu Ingin
Kamu ingin menguasaiku dengan membabi buta – dengan zirah dan pedang yang dikenakan Don Quixote mengembara tanpa sangsi yang membuatnya jadi disegani
Kamu ingin menguasaiku dengan membabi buta – dengan kisah cinta yang dikarang Don Quixote sendiri yang membuatnya pantas memaki
Yogyakarta, 11 April 2019
Kepada Penyair!
Puisi adalah api – raung yang meruang yang mengacaukan iblis semadi
Yogyakarta, 11 April 2019
Eko Nurwahyudin, lahir di Kebumen 11 Januari 1996. Mahasiswa asal Madiun yang menimba ilmu di jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan seorang kader PMII Rayon Ashram Bangsa Yogyakarta.