Published on April 5, 2019
Lpmarena.com- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Yogi Zulfadhli mengatakan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Runtung Sitepu telah mengabaikan kovenan hak sipil dan politik. Indonesia telah meratifikasi kovenan tersebut dan disahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Pasal 19 undang-undang tersebut menyatakan setiap orang berhak berpendapat tanpa campur tangan orang lain. Pasal ini juga menjamin hak menyampaikan pendapat yang meliputi, hak mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran apapun.
Sebagaimana diketahui, Rektor USU memecat 18 pengurus aktif Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU pada 25 Maret karena telah menerbitkan cerpen yang dinilai mendukung LGBT dan berbau pornografi. Beberapa hari sebelumnya suarausu.co, website Suara USU juga disuspensi. Setelah dikosongkan, kepengurusan Suara USU diganti dengan orang-orang pilihan rektorat.
Apa yang dilakukan oleh pengurus Suara USU, menurut Yogi, merupakan bentuk pelaksanaan hak yang telah dijamin dalam kovenan tersebut. Sementara, tindakan yang dilakukan oleh Rektor USU kontra produktif dengan semangat dan ketentuan konstitusi di Indonesia.
“Tindakannya mencederai demokrasi,” kata Yogi kepada ARENA setelah mengikuti aksi solidaritas pers mahasiswa Yogyakarta pada Senin sore (01/03) di Tugu Pal Putih, Yogyakarta.
Yogi juga menilai, pendekatan yang digunakan oleh Rektor USU cenderung represif. Mestinya, karena Suara USU merupakan entitas pers, pendekatan yang dilakukan menggunakan Undang-Undang Pers. Masih ada mekanisme yang bisa ditempuh selain pemberedelan atau pemecatan.
Tindakan represif Rektor USU juga akan membangun preseden buruk. Seseorang yang mengkritik kampus menggunakan karya tulis akan dibayang-bayangi ketakutan dikeluarkan dari kampus atau dilaporkan ke polisi.
“Ini bisa jadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi kalau pendekatannya menggunakan pendekatan yang represif seperti ini.”
Selain itu, mengingat Suara USU berada di lingkungan perguruan tinggi, mestinya Rektor USU bisa menggunakan pendekatan akademik. Namun, Yogi justru melihat ada indikasi rektor menggunakan hukum represif, hukum yang digunakan secara sewenang-wenang.
Di sisi lain, Yogi memandang, tuduhan cerpen yang diterbitkan Suara USU mengandung pornografi tidak tepat jika ditindaklanjuti menggunakan pendekatan hukum. Sebab, tolak ukur suatu konten bisa dikatakan mengandung pornografi sangat bias. Beberapa orang bisa berbeda pandangan dalam menilai apakah suatu konten tulisan mengandung pornografi atau tidak. Hal yang sama juga berlaku dalam dunia seni yang menggunakan visual sebagai medium penyampaian pesan.
Yogi menilai, masalah pornografi sama dengan istilah penghinaan yang termuat dalam pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penghinaan bergantung pada subjektivitas pihak yang merasa dirugikan.
Sehingga, pada tataran ini LBH Yogyakarta menyatakan tidak sepakat Rektor USU menggunakan pendekatan hukum, terlebih hukum pidana. Rektorat bisa mengontrol narasi yang diterbitkan Suara USU dengan narasi tandingan. “Tanpa harus ada pendekatan hukum pidana atau hukum represif yang sampai dipecat itu,” kata Yogi.
Senada dengan Yogi, Tomi Apriando Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, mengatakan, kritik yang diajukan oleh pers mahasiswa mestinya ditanggapi menggunakan tulisan, bukan dengan pemberedelan, pemidanaan, atau bentuk kriminalisasi lainnya.
Ia juga mengatakan, jika tuntutan pencabutan surat keputusan tentang pemecatan pengurus Suara USU tidak dipenuhi, AJI Yogyakarta bersama dengan pers mahasiswa dan LBH Yogyakarta, akan mengirim surat kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang menuntut agar menteri mengevaluasi sampai memberhentikan Rektor USU.
“Dan mungkin upaya tindakan hukum lain yang masih dalam proses pendiskusian dengan teman-teman YLBHI dan LBH Pers,” ujar Tomi.
Sebagaimana diberitakan Tirto.id, menanggapi pihak yang mengkritik tindakannya sebagai bentuk intervensi terhadap pers, Runtung berdalih Suara USU merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa yang mengacu pada Surat Keputusan Rektor. “AJI [Aliansi Jurnalis Independen] jangan mengurusi kayak gini. Ini UKM, urusannya kampus USU. Ini bukan pers mahasiswa, tapi UKM,” kata Runtung.
Menurutnya, orang-orang yang membela Suara USU dengan menggunakan argumen kebebasan berekspresi dan menilai cerpen terasebut wajar belaka mesti belajar moral dan etika terlebih dahulu.
Sementara itu, melihat tingginya angka kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa yang kebanyakan justru dilakukan oleh birokrat kampus, Tomi mengatakan, AJI akan mengirim surat kepada rektor perguruan tinggi.
Isinya, pernyataan bahwa AJI, pers mahasiswa, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan LBH Pers akan meneken Memorandum of Understanding (MoU) tentang pendampingan dan advokasi terhadap kasus-kasus yang menimpa pers mahasiswa sampai tuntas.
Reporter: Syakirun Ni’am
Redaktur: Fikriyatul Islami M.
Foto: Fidya L.S.