Home BERITA Aidit: Sejarah Pemikiran yang Dihilangkan

Aidit: Sejarah Pemikiran yang Dihilangkan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Aidit: Sejarah Pemikiran yang Dihilangkan

Barangkali memang tidak ada sejarah yang benar-benar hilang, yang ada bahwa sebagian sejarah dikedepankan dan sebagian yang lain dipinggirkan.

Lpmarena.com– “Barangkali memang tidak ada sejarah yang benar-benar hilang, yang ada bahwa sebagian sejarah dikedepankan dan sebagian yang lain dipinggirkan,” ujar Luqman Hakim selaku moderator dalam seminar Sisi Lain Politik Indonesia: Sejarah Pemikiran Politik Yang Hilang. Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika menggelar seminar tersebut di Gedung Dewi Sartika Universitas Negeri Jakarta, Rabu (14/8)

Menurut Luqman, meskipun sudah tumbang 21 tahun lalu, Orde Baru masih mewariskan amnesia sejarah, akibatnya bangsa kita sering melupakan masa lalu. Fenomena ini biasa disebut “politik ingatan”. Sepanjang Indonesia berdiri, rezim Orde Baru merupakan pelaku terbesar yang menggunakan “politik Ingatan”.

Senada dengan Luqman, Andi Achdian, anggota Masyarakat Sejarah Indonesia sekaligus pembicara, menegaskan bahwa riset sejarah bisa saja mencari sejarah yang hilang itu dengan segala cara, tapi menurutnya ada sejarah yang dihilangkan. Dengan tegas narasumber kedua ini menekankan ”Ada effort yang lebih, ada kata kerja di situ.” Bukan karena sejarahnya yang tidak ada, tetapi menurut Achdian memang sengaja ditiadakan.

Satriono Priyo Utomo, Akademisi Sejarah Universitas Indonesia,  dalam makalahnya mengomparasikan buku Indonesian Political Thinking 1945-1965 yang ditulis Herberth Feith dan Lance Castles tahun 1970 dengan karya yang dibahasakan menjadi Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Buku yang diterjemahkan oleh LP3ES itu menghilangkan bab pemikiran politik dari aliran nasionalisme radikal atau komunisme, terutama Dipa Nusantara Aidit.

“Biasanya, ya, terjemahan asing bahasa inggris ke Bahasa Indonesia akan lebih tebal. Nah, kalau di Indonesia ajaib,” sesal Achdian.

Buku dengan terbitan asli sebanyak 524 halaman itu diterjemahkan menjadi 306 halaman. Herberth dan Lance menyebut bahwa penempatan Aidit dalam buku rangkainya itu merupakan keniscayaan. Sebab, politik periode itu benar-benar mempesona dan menegangkan. Dengan jelas, Aidit memberikan kepastian peta politik masa itu.

Buku yang terbit di Indonesia tahun 1988 ini menurut Priyo tidak bisa lepas dari kuasa pengetahuan Soeharto. Selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru membangun kekuasaan dengan proyek Pancasila versinya sendiri, sejarahnya versinya sendiri, juga kontrol media menurut versinya sendiri.  Kita tak perlu heran, mengapa tiap tahun terjadi razia buku-buku “kiri”.

Tentang Aidit

Priyo memaparkan, Aidit adalah seorang intelek dari kecil. Dididik dengan kultur Islam yang disiplin membuat dirinya melek literasi. Aidit tidak saja fasih dan khatam membaca Alquran, hal itu juga ia lakukan terhadap buku-buku marxis.

“Bahkan akibat kekurangan referensi pada tahun 1948 di Yogyakarta,” tulis Priyo, Aidit tergabung dalam komisi penerjemah buku-buku marxis bersama Lukman, A. Havil, Peris Pardede, dan Njoto.  Buku-buku marxis itu diterjemahkan dengan bantuan bahasa Belanda dan Inggris. Aidit tergabung dalam komisi itu oleh karena kerja kerasnya memahami Belanda. Sejak kecil kegigihannya untuk belajar sangatlah besar.

Achmad, nama Aidit kecil dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak sombong. Bahkan ketika melihat temannya dikeluarkan dari sekolah akibat tak sanggup membayar, “Aidit pernah melakukan mogok sekolah,” tulis Priyo.

Kepribadiannya yang tidak membeda-bedakan teman, membuat Aidit bergaul dengan siapa saja tak terkecuali kaum buruh. “Saat-saat buruh tengah bekerja…” tulis Priyono, “Aidit juga ikut menyapu, memacul, hingga membuat lubang untuk pohon pisang.” Kehidupan yang membaur dengan para buruh inilah yang membuat Aidit terbiasa dengan kaum yang tertindas. Dan menurut Priyono, Aidit adalah seorang yang mau tahu kehidupan rakyat di manapun berada.

Pemikiran Marxisme dan Ironi Sejarah Indonesia

“90 persen karya tulis ilmiah tentang Indonesia yang dipublikasikan di dalam atau di luar” tulis Peter Carey, “sebagian besar adalah orang asing seperti saya atau orang Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri dan menjadi WNA.”

Dalam paper yang dibuat untuk seminar ini, Peter Carey, Sejarawan, berpendapat Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya kepada dunia luar. Padahal menurut Carey, Indonesia salah satu anggota G-20 yang akan sebanding dengan Jerman dan melebihi Korea pada 2030 secara ekonomi. “tetapi jika tidak bisa menjelaskan dirinya secara Internasional apa gunanya?” sesal Carey.

Amnesia sejarah mudah saja ditemui di negeri kita. Peter Carey mencontohkan, “Pergilah ke toko buku apapun, Anda akan menemukan banyak buku tentang aspek takhayul dan agamis tsunami, tetapi tidak dengan aspek ilmiah.” Bahkan, anaknya yang sekolah di kelapa gading berjarak 5 km dari bibir pantai utara Jakarta tidak mendapat pelatihan atau sosialisasi tentang bahaya tsunami.

Melihat persoalaan ini, Carey melihat ada dua permasalah utama. Pertama hilangnya persentuhan dengan sejarah dan keterasingan dari tradisi budaya sendiri yang mempunyai pembacaan sendiri terhadap alam dan zaman.

Masalah ini lebih jelas sebetulnya di bidang politik. Andi Achdian merasa iri, melihat dialektika spektrum politik era awal revolusi yang penuh dengan ide dan gagasan. Bahkan tiap-tip orang mempunyai sintesa dari ide-ide besar dengan melihat konteks Indonesia pada waktu itu. Dia mencontohkan Tjokroaminoto yang menulis Islam & Sosialisme, pun Soekarno dengan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Bagi Priyono pun, tak terkecuali Aidit. Masa itu beberapa karya tulisnya yang dibukukan sempat dilarang dan disita oleh pihak kepolisian. Aidit aktif menulis di majalah Bintang Merah: gagasannya tentang marxisme dan pembacaan terhadap situasi Nasional dan Internasional pada waktu itu. Aidit berpandangan bahwa “demokrasi Indonesia…” tulis Priyono “adalah demokrasi ketiga. Demokrasi yang lahir belakangan tetapi tidak lagi menjadi demokrasi dan borjuis dan belum menjadi demokrasi proletar.”

Para tokoh dan pemimpin partai melalui media dan debat-debat publik pada saat itu tidak terdikotomi cebong dan kampret seperti akhir-akhir ini. Spektrum politik waktu itu sangatlah berwarna dan jelas siapa dan kelompok mana membawa ideologi apa. Berbeda dengan hari ini, para politikus bisa saja hari ini bicara M dengan menggebu-gebu, esoknya dia berubah bicara A dengan menggebu-gebu, tak ada kejelasan visi, ideologi dan gagasan.

Achdian mengingatkan di akhir, “kita perlu memperbanyak kajian sejarah yang skeptis dan kritis.” Seminar yang merupakan bedah buku karya Priyo, Politik Dipa Nusantara perlu diperbanyak. Seperti Carey yang mengutip Milan Kundera “Perjuangan manusia melawan kekuasaan, adalah perjuangan memori melawan lupa.”

Sumber gambar: historia.id

Reporter: BagusNAA

Redaktur: Zaim Yunus