Home BERITA Nihil Transparansi dan Partisipasi dalam Rencana Relokasi PKL Malioboro

Nihil Transparansi dan Partisipasi dalam Rencana Relokasi PKL Malioboro

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com–Pedagang Kaki Lima (PKL) Teras Malioboro 2 yang tergabung dalam paguyuban Tridharma melakukan aksi dan audiensi di kantor DPRD DIY, pada Jumat (05/07). Aksi tersebut dilakukan menyoal rencana relokasi para PKL untuk kedua kalinya. Mereka menuntut adanya transparansi data serta dilibatkan dalam pembuatan rancangan teknik detail (Detail Engineering Design).

Arif Usman, Ketua Paguyuban dan Koperasi Tridharma, menjelaskan rencana pemerintah yang akan merelokasi PKL untuk kedua kalinya masih terdapat kejanggalan dalam pembuatan Detail Engineering Design (DED), atau rancangan teknik detail.

Bukan hanya itu, sudah hampir dua tahun sejak 2022 aspirasi dan tuntutan para PKL disuarakan terhadap pemangku kebijakan kota Yogyakarta, namun alih-alih tuntutan tersebut direalisasikan, pemerintahan DIY malah membuat rencana baru dengan pr yang sama yaitu, nihil partisipatif.

“Jangan sampai relokasi tahap pertama itu terulang lagi di mana partisipasi dari anggota-anggota paguyuban tidak ada sama sekali. Yang kita tunggu cuma dua: partisipasi dari paguyuban dan juga relokasi yang mensejahterakan,” ujar Arif kepada ARENA.

Arif menegaskan PKL Malioboro menuntut adanya komunikasi dua arah dengan pemerintah, karena selama ini yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah. Di mana PKL Malioboro tidak dilibatkan dalam segala rancangan kebijakan publik yang nantinya akan berdampak pada PKL Malioboro.

Tidak adanya pelibatan PKL dalam rancangan dan pelaksanaan relokasi, kata Arif, membuat rasa kekhawatiran akan kesejahteraan kedepannya menjadi semakin parah. Apalagi dengan rencana relokasi tahap 2 yang dipandang akan lebih merugikan daripada sebelumnya.

“Kesejahteraan PKL Malioboro belum juga didapatkan, namun relokasi jilid 2 sudah dalam proses pengerjaan,” lanjutnya.

Muhammad Rakha Ramadhan, Kuasa Hukum PKL Malioboro, mengatakan bahwa dalam kasus ini, pemerintah harus punya standar ketika membuat suatu kebijakan. Standar tersebut, Rakha merinci, adalah tingkat kesejahteraan ketika para PKL sebelum dan sesudah direlokasi. Kesejahteraan tersebut hanya dapat dicapai ketika masyarakat ikut terlibat aktif dalam pembuatan kebijakan publik.

“Dengan tidak ada transparansi itu melanggar hak atas informasi. Buat unsur tersebut tidak ada, maka kemudian kebijakan tersebut akan melanggar hak teman-teman PKL. Dan yang kemudian yang kedua akan menyingkirkan mereka”, ucap Rakha.

Rakha menceritakan, saat audiensi berlangsung, perdebatan cukup alot terjadi. Pasalnya DPRD sendiri menjelaskan belum dapat menerima usulan dari para PKL itu sendiri, dengan dalih masih memerlukan komunikasi kembali bersama pemerintah Kota Yogyakarta. Dengan begitu, pihaknya memberikan tenggat waktu kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan tugasnya.

“Sehingga kita ngasih tenggat waktu. Satu minggu adalah waktu yang cukup bagi kami untuk mereka melakukan tugas mereka sebagai pemerintah,” terang Rakha.

Selain itu, para PKL juga menuntut kepada para pemangku kebijakan, ketika pembahasan DED belum juga terselesaikan dan belum melibatkan partisipasi PKL, maka PKL Malioboro menuntut hal tersebut untuk dihentikan atau ditunda sejauh pada pelaksanaan dan perencanaannya.

Arif mengaku, meski tuntutan yang dibawa sebenarnya belum terjawab. Namun, setidaknya para PKL mendapatkan jalan untuk dapat berkomunikasi dengan pemerintah.

“Cuman tadi kan di dalam disebutkan bahwa Dewan Provinsi ini akan memfasilitasi atau menjembatani komunikasi antara istilahnya dari dinas-dinas provinsi menjembatani ke Dinas Kota untuk bisa mencari komunikasi selama satu minggu ke depan,” pungkasnya.

Reporter Sadrah Tawang Mahari | Redaktur Ridwan Maulana