Politisasi Agama adalah Sumber Perpecahan
Yang paling enak dijadikan pertengkaran adalah soal agama
Lpmarena.com – Politisasi agama merupakan cara praktis perebutan kuasa belakangan ini. Dari narasi penistaan agama, sampai bentrokan antar Organisasi Masyarakat (Ormas) menjadi sajian media beberapa bulan terakhir. Merespon hal tersebut, Jama’ah Cinema Mahasiswa (JCM) menggambarkannya melalui film pendek: Anggarbini dan Noto Negoro. Tayang perdana di Gelanggang Teater Eska, Kamis (12/09).
Kedua film tersebut bercerita soal politisasi agama di tengah masyarakat saat ini. Politik identitas untuk perebutan kekuasaan. Mempolitisasi agama demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Film Anggarbini disajikan lebih awal malam itu. Naskahnya ditulis oleh Ronggo. Disutradarai Aga. Durasinya 13 menit. Ronggo menyebutkan bahwa pembuatan naskah tersebut bertepatan dengan pemilihan gubernur Jakarta. Beberapa tahun silam.
Ronggo menjelaskan naskah film Anggarbiri mengabungkan persoalan politik di sebuah desa dengan unsur mistis atau agamis. Dua hal yang sering terjadi dan mudah ditemui dalam masyarakat Indonesia
“Naskah film itu saya buat pas lagi rame-ramenya pemilihan gubernur DKI. Lalu, saya gabungkan dengan isu klenik (mistis),” terang Ronggo.
Cerita Aggarbini serupa dengan kisah dalam film kedua, Noto Negoro. Ia juga menyinggung isu agama. Spesifiknya terhadap sentimen antar Ormas. Film yang berdurasi 21 menit tersebut menjelaskan tentang pertentangan dan konflik Ormas dalam kehidupan masyarakat.
Oji, penulis naskah sekaligus sutradara Noto Negoro menjelaskan pembuatan naskah filmnya berawal dari hasil penelitian tentang perbedaan laku beragama di suatu desa. Masyarakat di desa itu memiliki perbedaan dalam hal amalan beragama. Disertai dengan sikap intoleransi terhadap kelompok lain.
“Di desa itu ada tiga masjid dengan satu agama yang sama. Tapi, di desa tersebut, kuat banget perbedaannya, sampe gak boleh masuk masjidnya. Kalaupun ada yang masuk dan sholat, nanti dibersihin,” ungkap Oji.
Penelitian itu diinterpretasikan dalam film. “Meskipun, dalam film itu kita hanya memfokuskan pada dua kelompok agama saja,” tutur Oji.
Film itu memerankan tokoh bernama Arip. Anak Ansori, seorang pemuka agama sekaligus kepala dusun di Dusun Seger Rejo. Selain ayah Arip, ada pula tokoh agama lain. Namanya Nurhakim dari Dusun Ambar Sari. Kedua tokoh sama-sama muslim. Meski, memiliki latar belakang Ormas berbeda.
Kedua Ormas itu: An-Nur dan Mahbubah. Sama-sama memiliki basis pengikut yang besar di Desa Suryo Mulyo. Ansori merupakan tokoh penting An-Nur. Dengan pengikut bernama An-Nuriyah. Sedang Nurhakim adalah petinggi kelompok Mahbubah. Pegikutnya disebut Muhibbin.
Dalam ceritanya, akan dilangsungkan pemilihan kepala desa di Suryo Mulyo. Ansori dan Nanada, adik Nurhakim, adalah kandidatnya. Perbedaan kelompok agama ditambah suasana politik kampung yang “panas” membuat masyarakat rentan dihinggapi konflik. Kesalahpahaman berujung perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Dalam situasi tersebut, muncullah orang ketiga. Mereka berusaha memanfaatkan dan mencari keuntungan. Sehingga, perpecahan tak lagi terelakkan.
Oji menambahkan, situasi dan keadaan dalam film merupakan representasi apa yang terjadi di negara kita. Indonesia.
“Jadi pada intinya, kita di Indonesia ini bermacam-ragam. Sebenarnya baik-baik saja. Hanya ada orang yang ingin memperalat perbedaan tersebut. Dijadikan arena pertandingan dan pertengkaran,” ungkap Oji.
Naskah yang ditulis Oji merupakan kegelisahannya terhadap isu agama. Perpecahan akbibat politisasi agama.
“Di Indonesia yang paling enak dijadikan pertengkaran adalah soal agama. Beda ini, lah beda itu, lah. Dimulai sentilan-sentilan seperti itu,” tambah Oji.
Lutfi, mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga memberikan komentar setelah menonton kedua film tersebut. Baginya, Anggarbini cukup menarik perhatiaanya. Ia mengaku mendapatkan pesan moral dari kedua film tersebut, yakni harus menjaga toleransi dalam prilaku beragama.
Reporter: Kristinawati
Redaktur: Hedi