Home BERITA Sisi Janggal UKT UIN: Golongan I Tak Penuhi Batas Minimal 5%

Sisi Janggal UKT UIN: Golongan I Tak Penuhi Batas Minimal 5%

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Ketetapan UKT UIN Suka memberatkan Imam, bahkan membuatnya gagal kuliah. Sementara itu, UIN tidak mematuhi batas minimal 5% untuk alokasi UKT I yang telah ditentukan KMA Nomor 151 Tahun 2019 

lpmarena.com– Ketetapan penggolongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terbit pada tujuh Agustus kemarin. Melihat pengumuman itu, Imam (bukan nama sebenarnya) berniat pulang ke Bondowoso. Ia mesti mencari uang guna membayar biaya perkuliahannya untuk satu semester ke depan. Imam diterima dan memperoleh UKT golongan II. 

Mahar itu tidak bisa tidak dibayar. Itu syarat mutlak jika Imam ingin berstatus sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka).. 

Dengan uang pas-pasan, Imam memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Sesampainya di rumah, Imam berharap menemukan jalan keluar. Entah bagaimana caranya, dua juta rupiah harus ia bayarkan sebelum tanggal 14 Agustus.

Sayang, niatnya untuk pulang terpaksa ditunda. 50 ribu ongkos pulangnya hilang. “Gak tahu siapa yang ngambil, jadi ongkos pulang ke Bondowoso enggak nyampek,” ucap Imam getir 

Kesempatannya untuk segera mencari biaya kuliah mau tak mau harus diurungkan. Imam pun nekat pulang meski hanya sampai Madura, di kediaman salah seorang kerabatnya. Di sana, ia mencari ongkos untuk ke Bondowoso. Ia baru bisa sampai di rumah dan mencari uang dua hari sebelum tenggat waktu pembayaran.

Uang sebanyak itu baginya sulit dicari. Kedua orangtuanya buruh tani. Pendapatan buruh tani seringkali tak menentu. Dalam sebulan, paling tidak orangtua Imam memperoleh upah sebesar 200 ribu dari hasil menggarap lahan orang. Upah itu pun harus segera digunakan untuk membangun usaha. Tidak cukup untuk membayar biaya kuliahnya sekaligus.

Sebetulnya, Imam lulus SMA pada tahun 2016. Setelah lulus dari sekolah, ia tak langsung melanjutkan ke perguruan tinggi. Jeda tiga tahun ia gunakan untuk mengabdi di pondok pesantren. 

Karenanya, Imam juga tak dapat mendaftar beasiswa bidikmisi untuk meringankan beban biaya kuliah. Bidikmisi hanya dapat diakses oleh pendaftar yang baru saja lulus dari SMA sederajat. Ia lantas mencoba mendaftar jalur non-tes dengan ijazah tahfidz yang ia dapat ketika di pondok.

Imam mendaftar di UIN Suka karena mengidolakan beberapa tokoh, juga pertimbangan biaya. Di benaknya, biaya kuliah di kampus tersebut terjangkau. Ia pun mendaftar melalui dua jalur. Setelah gagal pada jalur non-tes, ia kembali mendaftar melalui ujian mandiri. 

Pada pengumuman kelulusan, nama Imam tercantum sebagai mahasiswa Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Semangatnya untuk kuliah didukung oleh kakak dan kedua orangtuanya. 

“Cobalah kuliah. Barangkali diangkat derajatnya jadi orang,” ujar Imam meniru saran orangtuanya. 

Imam tak sampai mengira biaya yang mesti ia bayar di luar kemampuannya. 

Masalah keuangan menghambatnya untuk berstatus mahasiswa. Selama dua hari, hingga jatuh pada tenggat waktu, ia belum mendapat pinjaman uang. Pontang-panting ia mencari biaya kuliah sementara golongan UKT telah ditetapkan. Ketetapan itu tak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga dan Imam terlambat membayar.

Tidak Ada Dispensasi

Tenggat waktu berlalu. Nama Imam tak terdaftar dalam sistem. Imam masih berupaya untuk mendapatkan uang kendati tanggal pembayaran sudah lewat. Ia akhirnya mendapat pinjaman uang selang empat hari. 

Cepat-cepat Imam menuju Yogya, dan menghubungi teman-teman satu asramanya. Di kota itu, Imam tinggal di asrama perkumpulan mahasiswa santri daerahnya, Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB). Beberapa teman menyarankan untuk langsung mengadukan masalahnya ke pihak kampus.

Pada 19 Agustus, Imam menuju ke Gedung Rektorat. Dua kali berturut-turut usahanya untuk bertemu Sahiron, Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Keuangan, gagal. Di Rektorat, ia hanya bertemu staf Sahiron. Entah kepada siapa Imam harus kecewa. Di sana ia tak mendapat titik terang. 

Imam sudah kalah oleh sistem. Jika ingin melanjutkan kuliah di UIN, lebih baik mendaftar di tahun berikutnya. Begitu tanggapan yang diperoleh Imam.

“Hancurlah, pokoknya. Cuma bisa bilang, ya, mau gimana lagi,” kisahnya sembari mengingat perjuangannya untuk lulus. Kekecewaan bertambah mengingat hal itu.

Imam tak patah arang. Sehari setelah usaha pertama itu ia mencoba menghubungi Inayah Rohmaniyah, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, melalui pesan Whatsapp. Inayah menyarankan Imam untuk mengajukan surat permohonan untuk memperpanjang waktu pembayaran UKT. 

Imam lantas meminta surat tembusan ke dekan fakultas, Alim Roswantoro, yang ditujukan ke Sahiron. Dalam surat tersebut, Imam menjelaskan alasan keterlambatan beserta kronologi masalahnya. Namun hingga kini, ia belum mendapat tanggapan atas surat yang ia tulis.

“Apakah ada yang mengusulkan itu?” respons Sahiron ketika dimintai keterangan oleh ARENA terkait surat permohonan Imam di ruangannya (27/08). 

Terkait hal itu, Sahiron menerangkan bahwa calon mahasiswa dinyatakan mengundurkan diri apabila tidak membayar UKT. Pembayaran UKT telah menjadi satu sistem dengan pendaftaran ulang mahasiswa baru. Setelah membayar UKT, mahasiswa akan memperoleh Nomor Induk Mahasiswa (NIM) dan kata sandi untuk mengakses halaman akademik guna mengikuti tahapan registrasi berikutnya.

Terlebih, mahasiswa baru harus menandatangani surat kesanggupan membayar UKT di atas materai sebagai persyaratan. Tak ada dispensasi meski besaran biaya yang ditanggung mahasiswa tidak sesuai kemampuannya.

Mahasiswa baru tidak dapat mengajukan dispensasi ketika golongan UKT telah ditetapkan. Sekalipun penetapan tersebut tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa. Tak ada hal lain yang dapat dilakukan selain tetap membayarnya terlebih dahulu. 

Alasan utama tidak adanya dispensasi atau perubahan lain adalah tenggat waktu. Sahiron mengungkapkan, “Karena waktu tidak memungkinkan. Mengeceknya susah, kan, itu hanya beberapa hari saja.” 

Ketika tanggal pembayaran ditutup, seluruh daftar mahasiswa yang resmi diterima akan dikirim ke Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Sahiron mengatakan akan timbul pertanyaan apabila sebuah perguruan tinggi merevisi daftar yang telah dikirimkan.

Namun, dalam disclaimer pada laman forlap.ristekdikti.go.id disebutkan bahwa Kemenristekdikti tidak menambah, mengubah dan menghapus data tanpa ada permintaan dari Perguruan Tinggi.

Sekalipun mengirimkan surat permohonan, seperti dalam kasus Imam, registrasi ulang tak dapat dilakukan. “Kalau tidak bayar, tidak registrasi, dia tidak menjadi mahasiswa.” Lanjut Sahiron.

“Menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, untuk (masalah-red) finansial udah down semua kayaknya,” kata Imam pasrah.

Imam baru pertama kali menginjakkan kaki di Yogya dan belum pula berpenghasilan. Kendati harapannya tinggi, benturan ekonomi membuatnya terbatasi. Apalagi asrama yang ia tempati mengharuskannya membayar satu juta rupiah per tahun.

UKT yang harus Imam bayar jelas memberatkan. Namun, ia pun tak tahu mengapa ditetapkan kedalam golongan UKT tersebut. Padahal ia telah mengisi borang data dengan jujur.

Hal yang sama dialami oleh Dhea Bulan Sabila, mahasiswi baru Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Ia ditempatkan kedalam golongan UKT on top atau tarif tertinggi: Rp. 6.700.000,00. Ia mengaku telah mengisi seluruh kolom borang UKT sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya. 

Ngisi formulir dengan jujur. Gak dilebih-lebihin, gak dikurang-kurangin,” tutur Bulan. 

Dalam borang data, Bulan, sapaan akrabnya, mengisi jumlah orang yang mesti ditanggung ayahnya: empat anak dan seorang istri. Selain itu, Bulan mengaku bahwa gaji orangtuanya masih terpotong hutang sebesar tiga juta. Sementara penghasilan ayahnya lima juta per bulan.

Besaran UKT yang ditanggung mahasiswa, menurut Sahiron, hanya ditetapkan berdasarkan dua indikator: penghasilan dan banyak tanggungan orang tua. Meskipun, dalam borang terdapat kolom indikator lain yang harus dilampirkan seperti tagihan listrik, pajak bumi bangunan, jumlah kendaraan, hingga jumlah hutang. Perintilan di atas tak menjadi pertimbangan.

“Terlalu rumit untuk menghitung itu semua,” terang Sahiron.

Sahiron mengungkapkan, apabila mahasiswa tidak merasa sesuai dengan ketetapan UKT, hal tersebut terjadi karena kesalahan mengisi borang data. Dua kali ia mengutarakan bahwa bisa jadi mahasiwa meninggikan besaran gaji orangtuanya supaya tak kelihatan miskin. Tak ada kesalahan lain.

Selain itu, jalur pendaftaran yang dilalui oleh calon mahasiswa juga memengaruhi. Pendaftar melalui jalur mandiri tidak dapat memperoleh UKT golongan I. Hal ini sudah merupakan ketetapan internal dari kampus. Sahiron menjelaskan alasannya karena asumsi dasar atas mahasiswa yang mengikuti jalur mandiri. 

Pendaftar mandiri diasumsikan perlu ditingkatkan kualitasnya. Lantas seleksi penerimaan mahasiswa pun perlu diperketat. Namun di lain sisi, kuota mahasiswa harus terpenuhi. Untuk menyiasati hal ini, Sahiron menuturkan, “Istilahnya beginilah, yang mandiri kita turunkan derajat kesulitannya, tapi bayarnya yang tinggi.” 

Akibatnya, mahasiswa pendaftar mandiri digolongkan mulai dari UKT golongan II.

Penetapan Golongan UKT

Sistem UKT diterapkan sejak tahun ajaran 2013/2014 di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Tahun ini, penerapan UKT khususnya bagi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) merujuk pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 151 tahun 2019 Tentang Uang Kuliah Tunggal Pada PTKN Kementerian Agama. 

Berdasarkan keputusan tersebut, setiap PTKIN termasuk UIN Suka memiliki tujuh penggolongan UKT yang disesuaikan kondisi ekonomi mahasiswa. Penggolongan tersebut juga berdasar pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (SSBOPTN).

Terkait penggolongan UKT, nominalnya diusulkan oleh masing-masing program studi berdasarkan dana operasional yang dibutuhkan. Dana itu dihitung berdasarkan SSBOPTN, yaitu dana ideal yang dibutuhkan bagi setiap prodi untuk setiap mahasiswa. 

Beban biaya tak hanya ditanggung oleh mahasiswa. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) paling tidak memberi anggaran sebesar 30% seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Sisanya diambil dari mahasiswa sesuai kemampuan ekonomi masing-masing. Itu kemudian disebut dengan UKT.

Penggolongan UKT bagi mahasiswa baru dirapatkan oleh para pimpinan terkait. Acuan dari penentuan tersebut adalah data yang diisi mahasiswa. Namun semua data kecuali gaji dan banyak tanggungan kepala keluarga tak menjadi pertimbangan. Selain karena terlalu rumit dalam menghitung itu semua, menurut Sahiron, “Waktunya singkat. Biasanya antara penerimaan dengan (penetapan-red) UKT, kan, hanya beberapa hari.”

Kembali pada KMA Nomor 151 Tahun 2019, kuota UKT I untuk mahasiswa baru memiliki batas minimal, yaitu 5%. 

“Yang jelas untuk UKT 1, yang 400 ribu, minimal 5%. Itu amanat negara. Jadi kalau penerimaan itu pastinya 5% lebih.” tutur Sahiron. 

Namun, saat dimintai data persenan itu, Sahiron mengaku belum menerima laporan dari staf yang mengelolanya. Ia lantas menyarankan ARENA untuk meminta rincian data ke kantor Admisi. 

Atas arahan Sahiron, ARENA meminta persentase penggolongan UKT ke kantor Admisi. Aulia Faqih Rifa’i, ketua admisi membacakan dari layar komputernya. Dari total seluruh mahasiswa yang diterima, 4350 mahasiswa, hanya 1,52% yang masuk dalam UKT golongan I. Persentase terbanyak berada pada golongan VII sebanyak 23,84%. 

Pusat Analisis Data ARENA memiliki hasil hitungan sendiri, dan tidak jauh berbeda dengan Admisi. Dari total mahasiswa yang diterima, terhitung 67 orang yang masuk dalam golongan UKT I, persentasenya hanya 2%. UKT tertinggi sebanyak 24% juga ada di golongan VII, yaitu 1027 mahasiswa.

ARENA mendapat hasil hitungan tersebut setelah mengolah data dari setiap Surat Keputusan (SK) penggolongan UKT yang diterbitkan pada setiap jalur tes. Kedua persentase di atas termasuk mahasiswa yang diterima dan tidak mendaftar ulang.

Bulan termasuk dalam golongan 1027 mahasiswa itu. Mahasiswi itu tak dapat berkilah. Ia tak sampai pikir uang yang mesti ia bayar untuk kuliah di UIN sebanyak itu. “Ya Allah, kayaknya enggak harus kuliah di UIN, deh,” sesal Bulan. 

Mulai semester awal ini, Bulan berkata akan mencari pekerjaan untuk membantu meringankan beban ekonomi keluarganya.  

Sedang Imam, kini ia mendaftar di salah satu perguruan tinggi swasta dengan ijazah tahfidz yang ia miliki. Ia diterima pada program studi Manajemen. Dengan prestasinya, ia bebas biaya pengembangan selama dua semester. 

Reporter: Dina Tri Wijayanti

Redaktur: Muh. Sidratul Muntaha Idham

Ilustrator: Sultan