Pagi (23/9/2019) itu, kami baru saja sarapan dan mempersiapkan diri untuk mengikuti long march dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) menuju Jalan Gejayan. Dijadwalkan mulai pukul 11.00 WIB, aksi ini akan mengokupasi ruang publik untuk dijadikan mimbar menyatakan, “Mosi Tidak Percaya kepada DPR dan Elit Politik”.
Di angkringan, sudah ramai percakapan tentang aksi yang akan digelar siang nanti. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah aksi pertamanya. Saya menguping pembicaraan tiga laki-laki di samping saya. Satu di antara mereka vokal bercerita tentang pamannya yang ikut demonstrasi semasa kuliah di Yogyakarta.
Mahasiswa UIN Suka memang doyan aksi. Tahun 2014, mereka melakukan demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pertigaan Laksda Adisucipto di depan kampus diblokade dan aksi berlangsung di sana. Kontak fisik antara mahasiswa dengan pihak kepolisian pun tak terelakkan. Saat itu, polisi mengerahkan mobil water cannon dan menembakkan gas air mata ke arah demonstran.
Pemilik angkringan mengelap meja dan mengambil gelas kosong. “Sampai bertemu di jalan,” kata Sidra, kawan saya, setelah kami selesai sarapan di angkringan kecil belakang kampus. Ia ikut aksi bersama teman-teman jurusan. Sedangkan saya harus kembali ke sekretariat Arena di gedung Student Center untuk mengambil barang yang perlu dibawa.
Baterai gawai sudah terisi penuh; satu bungkus kretek dan geretan kuning disimpan di kantong samping tas gendong; dan tidak ketinggalan air mineral 1500ml, sebagai persiapan jika dehidrasi datang. Saya mendapat tugas meliput.
Tiga bus study tour yang diparkir membuat halaman Student Center tampak penuh sesak. “Ayo buruan masuk,” ujar orang berperut buncit, “keburu macet, mau ada demo.”
Mendekati jam sebelas, kerumunan orang mulai berdatangan melalui gerbang Kampus Timur UIN Suka. Dengan peluit dan tangan yang memberi aba-aba, satpam membantu menyeberangkan orang.
Hari itu, sebagian dari mereka datang untuk berkumpul di halaman gedung Multipurpose. Mereka datang dari berbagai kampus di Yogyakarta, ada yang memakai jas almamater, tapi banyak pula yang berpakaian bebas. Mereka datang bukan untuk mengikuti kuliah, tapi bergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak.
UIN Suka adalah salah satu dari tiga titik kumpul aksi #GejayanMemanggil. Dua titik lainnya, di gerbang utama Universitas Sanata Dharma dan Bunderan Universitas Gadjah Mada (UGM). Peserta aksi dari semua titik ini akan bertemu di Pertigaan Jalan Colombo, Gejayan.
Jalan Colombo berlokasi strategis pun dekat dengan beberapa kampus, seperti Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Sanata Dharma (USD), dan Universitas Atma Jaya. Selain itu, Jalan Colombo juga dipilih karena memoar panjang dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Yogyakarta.
Dilansir kembali oleh Kompas.com,titimangsa 8 Mei 1998, terjadi bentrokan antara gabungan ribuan mahasiswa dan masyarakat dengan ratusan aparat di Jalan Kolombo, Yogyakarta. Aksi itu digelar guna penolakan terhadap terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden. Dikenal dengan Peristiwa Gejayan atau Tragedi Yogyakarta, peristiwa itu merenggut satu korban tewas dan ratusan orang luka-luka.
Saya mengelilingi halaman Multipurpose untuk memantau situasi. Koordinator dari masing-masing kelompok mengondisikan massa aksi. Seseorang mengenakan jas almamater berwarna merah hati, dengan bantuan TOA kecil sebagai pengeras ia berkata, “Aksi ini aksi damai. Jaga diri kalian masing-masing.”
Saya menemui teman yang baru pertama kali mengikuti aksi. Tidak ingin disebutkan namanya, mahasiswa semester satu jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin ini mengaku sangat bersemangat. Ia membawa poster bertuliskan, “Dewan Pembohong Rakyat #NegaraGagal”.
Lagu “Darah Juang” dinyanyikan serempak beberapa kali. Tangan kiri mengepal ke udara. Tampak tali hitam yang diikatkan di lengan atau pergelangan tangan sebagai penanda bahwa ia tergabung dalam massa aksi. Selang beberapa menit, azan zuhur berkumandang. Orasi yang semula saling bersahutan dihentikan seketika.
Meski waktu sudah menunjukkan waktu 11:55 WIB, tapi massa aksi belum mulai berjalan. Mereka memberikan waktu kepada yang hendak menunaikan ibadah salat zuhur. Jalan masih terpantau ramai lancar.
Saya bersama Firdan, fotografer Arena pergi memantau kondisi di simpang tiga depan UIN Suka. Seperti biasa, polisi hanya berjaga di pos Kawasan Tertib Lalulintas (KTL). Dulu, pada peringatan Hari Buruh tahun 2018, pos itu sempat terbakar saat sejumlah demonstran menyuarakan aspirasinya.
Menurut Amir, Kapolsek Depok Barat, dalam aksi kali ini tidak ada pengamanan khusus yang dilakukan oleh pihak kepolisian. “Untuk di UIN sampai pertigaan itu (Laksda Adisucipto-red) dikerahkan sekitar 90 personil dari beberapa Polsek,” imbuhnya. 90 tentu sangat sedikit dibanding ribuan massa aksi yang menyemuti di sekeliling gedung Multipurpose.
Meski begitu, beberapa gerbang utama UIN, yaitu di depan gedung Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam serta gerbang depan gedung Pusat Administrasi UIN sudah ditutup oleh pihak kampus.
Firdan memilih menunggu massa aksi dari jembatan penghubung antara Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya. Dari atas jembatan yang membentang di atas Jalan Timoho itu, ia berharap memeroleh sudut terbaik untuk memotret.
Saya menunggu di bawah pohon, di trotoar depan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Pada 12:17 WIB, mobil media swasta, TV One, melintas dari arah Selatan dan menghilang dari pandangan saya setelah berbelok ke kiri di pertigaan.
Dua puluh tiga menit setelah itu, massa aksi mulai keluar dari gerbang. Kemudian berhenti dan melakukan orasi singkat di tengah jalan. Berkali-kali, koordinator berteriak, “Jangan terprovokasi.”.
Jalan Timoho ditutup karena massa aksi mulai memenuhi jalan. Beberapa awak media berebut memotret dari depan. Saya mengabadikan gambar melalui kamera gawai. Tidak terlalu buruk.
Tampak ratusan mahasiswa duduk dan memenuhi sepanjang Jalan Timoho. Kata Hedi, Pimpinan Redaksi ARENA, mahasiswa belum keluar semua. Barisan mahasiswa ini mengular dari lampu merah sampai gedung Multipurpose.
Di pertengahan aksi, seorang laki-laki, mengenakan topi abu-abu muda dan baju hitam lengan panjang dengan aksesoris berupa simbol garuda kecil berwarna merah, dicurigai sebagai penyusup. Ia diduga bukan bagian dari massa aksi.
Lantas, ia dikerumuni dan diamankan di samping massa aksi. Ia mengaku sebagai mahasiswa dari Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Suka. Namun, ketika dimintai memperlihatkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), ia mengaku tidak bisa menunjukkan.
Akhirnya, laki-laki yang tertuduh sebagai penyusup ini membuka gawainya untuk memperlihatkan bahwa ia adalah mahasiswa UIN Suka. Ia bergegas menunjukkan grup WhatsApp yang ia ikuti. Saya melihat, ia tergabung dalam grup “Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum 2019”. Setelah itu, petugas keamanan memintanya masuk ke dalam barisan.
Masyarakat dan Demonstran
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Jalan Colombo, Koordinator Lapangan dari masing-masing kampus berembuk. Lalu, dengan seluruh massa aksi mereka melakukan doa bersama, pukul 13:19 WIB. Diiringi dengan nyanyian lagu-lagu yang membakar semangat, massa aksi berjalan menuju Jalan Colombo.
Masyarakat sekitar tampak antusias menyaksikan aksi ini. Menggunakan telepon genggam, mereka merekam jalannya aksi dari trotoar jalan. Begitu pula beberapa anak yang keluar dari beberapa gang di sepanjang Jalan Laksda Adisucipto, mengenakan celana kolor dan kaus yang tidak setel. Mereka menyaksikan berjalannya aksi dari seberang dengan girang, tanpa sedikit pun raut yang menyiratkan rasa takut.
Pamflet #GejayanMemanggil memang secara jelas telah menyatakan bahwa aksi ini adalah aksi damai. Dalam pamflet berlatar hitam itu pula undangan tidak hanya ditujukan kepada mahasiswa, tapi juga elemen masyarakat Yogyakarta untuk ikut andil dalam aksi ini. Meski demikian, satpam Pegadaian menutup pagar kantornya untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun, tidak sedikit yang menyambut baik aksi ini. Salah seorang Ketua RW di Kecamatan Demangan, misalnya. Hedi juga mengabarkan kepada saya bahwa menurut pengakuan beberapa anggota masyarakat yang ia temui, tidak ada pemberitahuan resmi mengenai terjadinya aksi dari pihak berwajib. Saya masih sibuk mencatat melalui telepon genggam.
Pukul 13:36 WIB, massa aksi sampai di pertigaan menuju Jalan Colombo. Sementara massa aksi melewati jalan itu, lalu lintas dari arah Jalan Munggur ditutup. Polisi berjaga di pos, di depan Gereja Kristus Penebus (GKP). Di situ, tidak lebih dari dua puluh personil polisi yang tampak melakukan penjagaan. Massa aksi belok ke kanan menuju Jalan Affandi.
Hingga massa aksi tiba di pertigaan Gejayan, tampak sepanjang jalan, beberapa toko masih buka seperti biasa. Toko-toko kelontong yang menjual air mineral dan aneka jenis minuman dingin, disinggahi beberapa demonstran. Mereka membeli air mineral untuk menuntaskan dehidrasi di tengah cuaca yang begitu terik. Satu botol dibagi untuk banyak orang.
Saya sampai di Pertigaan Jalan Colombo, pukul 13:48 WIB. Di sana telah ramai mahasiswa dari kampus lain. Firdan mencari-cari lokasi yang tepat. Badannya yang tinggi, tubuhnya yang besar, melewati kerumunan itu.
Massa aksi telah berkumpul. Udara benar-benar pengap, panas membuat tubuh lebih cepat lelah. Tampak dari keringat yang menetes di dahi demonstran. Perempuan, laki-laki berbaur menyuarakan satu hal yang sama. 13:57 WIB, Mobil pikap datang sebagai panggung orasi. Mobil itu dipasangi TOA besar yang biasa digunakan masjid dan penjual getuk.
Saya menepi dan mencari tempat yang lebih teduh. Firdan dengan kamera mirrorless, ia berjalan ke tengah-tengah kerumunan.
Terhitung sejak mobil pikap itu menjadi panggung aksi, gemuruh massa memekik yel-yel; lagu Efek Rumah Kaca disetel mengiringi aksi teatrikal; Sisir Tanah menyanyi tanpa alat musik; orasi tentang Papua; seorang mahasiswa Papua menangis. Saya tertegun
14.19 WIB, seorang orator membacakan pernyataan sikap aliansi. Massa lantas membubarkan diri enam menit setelahnya.
***
Jam digital di gawai menunjukkan angka lima. Saya memasang headset di telinga. Membuka playlist lagu Cigarettes After Sex. “Apocalypse” menjadi lagu pertama yang saya putar. Dari kejauhan di atas gedung, lanskap langit berwarna kuning dengan garis-garis jingga yang khas di gumpalan awan tipis. Bau lezat daging bakar semerbak ketika pedagang sate mengayunkan kipas. Warung itu tampak ramai dengan beberapa sepeda motor terparkir di pinggir jalan raya. Saya berjalan di bahu jalan, ke arah timur, melawan arus kendaraan yang melaju ke arah matahari tenggelam. Hari yang melelahkan. Namun, hari ini akan dicatat dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Yogyakarta yang terus memantau Indonesia.
Reporter: Zaim Yunus
Redaktur: Sidra