Bentuk persaudaraan dan persatuan disimbolkan pada Tugu Golong-Gilig dan Pakaian Peranakan.
Lpmarena.com– Alunan gamelan Jawa mengiringi orang-orang yang memasuki gedung Multipurpose UIN Sunan Kalijaga untuk mengikuti sarasehan budaya bertajuk “Harmoni Islam dan Tradisi Keraton, Selasa (24/09). Mereka disambut para penari yang tersenyum, menari berlenggak-lenggok dengan ayunan gemulai. Nama tarian itu Nawung Sekar. Suasana kebudayaan khas Yogyakarta segera terasa dalam ruangan tersebut.
Dalam sarasehan tersebut, KRT Djatiningrat alias Romo Tirun, Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, mengatakan kebudayaan Yogyakarta mulai diakui eksistensinya setelah adanya Perjanjian Giyanti, Sabtu Pahing, 13 Februari 1755. Perjanjian itu bukan hanya membagi kerajaan Mataram menjadi dua; Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kesunanan Surakarta, melainkan juga pembagian budaya.
Lebih lanjut, Romo Tirun menjelaskan, setahun setelah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-1 membangun tugu Golong Gilig pada tahun 1756. Tugu tersebut berbentuk silinder (golong), dengan puncak berupa bulatan (gilig). Bentuk itu menyimbolkan bahwa hubungan antara Sultan dan masyarakat Yogyakarta adalah persaudaraan, juga mengutamakan persatuan dan kesatuan.
Sayangnya, tugu tersebut runtuh sepertiga bagian akibat gempa letusan Gunung Merapi pada 1867. Selama 22 tahun terbengkalai, Tugu Golong Gilig kembali dibangun pada tahun 1889 dengan nama, seperti yang dikenal masyarakat saat ini, Tugu Pal Putih. Akibat terlalu lama terbengkalai, masyarakat telah lupa dengan desain awal dan filosofi yang terkandung pada tugu tersebut.
Romo Tirun menyebut bahwa desain tugu Pal Putih saat ini yang berbentuk persegi dengan puncak lancip sudah tidak ada artinya lagi. Terlebih terdapat prasasti yang berbunyi, “Wiwara Harja Manggala Praja,” yang berarti pintu kesejahteraan bagi pimpinan.
Menurut Romo Tirun, tulisan itu sangat jauh menyimpang dengan filosofi pembangunan awal tugu Golong Gilig. Bahwa seharusnya kesejahteraan dan persaudaraan adalah untuk seluruh masyarakat Yogyakarta, bukan hanya bagi pimpinan.
“Tulisan itu sangat menyakitkan. (Tugu-red) Itu dibuat Belanda, kita itu ditipu,” ucap Romo Tirun dalam sarasehan gelaran UKM Kalimasada itu.
Kemudian pada masa pemerintahan saat ini, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-10 kembali membangun tugu Golong Gilig di sudut timur keraton. Akan tetapi tugu tersebut tidak terlalu jelas terlihat, pun tidak ada sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak mengerti maksud pembangunan tugu tersebut.
Sementara itu, untuk mewujudkan bentuk persaudaraan, serta persatuan dan kesatuan dalam keraton, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-5 menciptakan pengageman (pakaian) yang bernama Pakaian Peranakan. Peranakan berarti wadah bayi, dimana setiap orang pasti pernah menempati wadah tersebut. Wadah yang pernah ditempati setiap orang menyimbolkan persaudaraan.
Pakaian adat yang masih eksis hingga sekarang itu memiliki motif garis-garis dan berwarna biru tua. Motif garis-garis yang rapat menandakan bahwa esame pemakai baju tersebut dipersaudarakan antara satu dengan lainnya. Sementara warna biru tua menyimbolkan pendalaman, yakni persaudaraan tersebut dirasakan secara mendalam.
Pakaian itu kini dipakai oleh seluruh abdi dalem keraton. Hal tersebut sekaligus menyimbolkan bahwa hubungan antara esame penghuni keraton didasarkan pada persaudaraan. Sementara bentuk persaudaraan yang tertinggi adalah persaudaraan dengan Sultan.
“Jadi sultan itu tidak pernah menganggap abdi dalem itu sebagai batur (pembantu), tapi sebagai saudara,” pungkasnya.
Reporter: Nur Hidayah
Redaktur: Sidra