Oleh Ajid FM*
Ini sebuah anekdot yang pernah dimuat di majalah Tempo:
Dari Cina abad ke-4 sebelum Masehi, di masa ketika perang berkecamuk selama hampir dua abad, periode yang terbentuk dari darah dan ambisi. Dalam era itu, para penguasa dari tujuh wilayah saling menyerang, dengan ribuan tentara yang direkrut dari anak-anak petani, dengan kesengsaraan yang seakan tanpa akhir. Pada masa itulah muncul para ‘Filosof’, terutama di kota Lo-yang.
Menjadi ‘filosof’ karena ia mau tak mau merenungkan apa yang terjadi, sepanjang penderitaan sebab politik yang ganas. Bahkan ia akan berpikir keras mencari jalan keluar, misalkan ada. Untuk mengakhiri penderitaan manusia disekitarnya.
Begitulah gelombang protes akhir ini: menggelisahkan, dan menyebabkan pergerakan. Dari siapapun itu.
Antagonisme politik, yang diwakili DPR dan lembaga pemerintah yang berhubungan denganya. Selama lima tahun belakangan tidak mengerjakan apa-apa, hanya dalam waktu enam minggu ngebut mengerjakan RUU-RUU bermasalah, tentu saja semua didorong oligarki. Gerombolan itulah di balik semuanya. Menjadikan sipil sebagai tumbal.
Lantas apa yang muncul setelah antagonisme politik itu? Hanya 5 huruf: LAWAN. Kata itu seperti wahyu dalam kitab suci: di suarakan dan diimani. Semua hanyut dalam satu kalimat, menjelma dengan berbagai bentuk, semua bernada marah. ‘Lawan rezim penindas rakyat!’ bentuk lain dalam bahasa satir ‘Pemerintah dan DPR cidro: Rakyat ambyar’. Dan banyak rangkaian kata-kata menjadi mosi tidak percaya.
Para ‘filosof’ itu tak hanya aktivis dan akademisi, melainkan mahasiswa, buruh, petani, pelajar dan banyak elemen lainya. Dengan ‘mosi tidak percaya’ atas dasar #Reformasidikorupsi para filosof bergerak di berbagai wilayah, serentak dan tanpa jeda. Di Yogyakarta ‘filosof’ bergerak dalam satu aliansi rakyat bergerak, dengan #GejayanMemanggil, ribuan massa berkumpul di Gejayan. 21 tahun silam, 8 Mei 1998, gejayan dibanjiri massa-rakyat yang menuntut Soeharto lengser. Pada 23 dan 30 September 2019 para ‘filsuf’ berkumpul untuk menggelar #GejayanMemanggil, menentang oligarki-oligarki yang telah menginjak-injak demokrasi.
‘Filosof’ itu ada di mana-mana. Di jakarta, massa dari pelbagai universitas mengadakan demonstrasi di depan gedung DPR RI. Demonstrasi mahasiswa di Bandung juga di gelar di depan gedung DPRD Jawa Barat. Serentak dan tanpa jeda itu adalah #BengawanMelawan di Solo, #SurabayaMenggugat, #SemarangBergerak, Makassar, Kendari, dan banyak lagi.
Jika dilihat dalam peta interaktif aksi angkatan 2019, terdapat 68 titik yang tersebar di seluruh Indonesia. Soal tuntutan, relatif sama. Menolak pengesahan RKUHP, UU KPK hasil revisi, dan rancangan serta UU lainya lantaran dinilai mencederai demokrasi.
Negara sebagai ekosistem hukum kemudian terjebak dalam tafsiran formalitas atas legitimasi kekuasaan. RKUHP, UU KPK, serta UU lainya adalah contoh demokrasi kita masih prosedural, tidak substansial. Misalnya demokrasi hanya diartikan sebatas pemilihan langsung per lima tahun sekali, dengan ekosistem politik yang transaksional dan berpegang teguh dalam budaya dinasti.
Setelah Reformasi 1998, semua institusi demokrasi telah berbenah. Kecuali partai politik. Sebagai elemen penting dalam demokrasi tidak langsung, partai politik menjadi pihak yang diberikan kepercayaan oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan. Di parlemen, mereka malah menjadi penghancur demokrasi.
Gurita oligarki dalam partai politik tentunya menjadi persoalan yang tidak pernah usai, bahkan pasca reformasi. Jika masa Orde Baru oligarki hadir dalam satu wajah, Soeharto dan militer, kini ketua-ketua partai dan tempat strategis dalam tubuh partai di isi oleh elite pemegang perekonomian indonesia (red-pemodal). Dengan pola seperti ini, politik praktis bukan soal garis suci ideologi siapa memperjuangkan siapa, melainkan siapa dapat apa.
Demokrasi yang prosedural inilah yang kemudian tidak melahirkan apa-apa, kecuali kecacatan produk UU. Tidak mengakomodir dan menjawab ihwal kepentingan rakyat. Tentu ini masalah serius, karena rakyat bukan menjadi subyek, melainkan objek hukum. Seringkali produk hukum hanya sebatas mewadahi kepentingan elit.
Pelemahan KPK, UU Pertanahan, UU Ketengaakerjaan, dan sederet UU yang bermasalah adalah wujud intervensi oligarki dalam kebijakan. Semua produk kebijakan tunduk atas pemodal. Dalam krangka ekonomi politik, ini terkait dengan upaya transformasi merebut ruang demokrasi rakyat untuk mempertahankan ‘posisinya’.
Puncak dari kemuakan rakyat tentu saat pemerintah merevisi kemudian mengesahkan UU KPK, pada 17 September 2019. Institusi negara yang dianggap bisa diandalkan sudah di taklukkan. Dengan pelemahan-pelemahan pada KPK semangat reformasi untuk membangun pemerintahan yang bersih, demokratis, dan jujur telah runtuh. Bahkan oposisi bungkam, sejalan dengan pemerintah soal UU KPK.
Pemerintah telah mengambil sikap, dengan berbagai produk hukumnya, tindak kekerasan terhadap petani, penangkapan aktivis, pembatasan-pembatasan dalam ber-ekspresi, terang-terangan menampakan wajah aslinya. Orde Baru memang tak pernah pergi. Selangkahpun tidak.
Dalam situasi yang demikian, konsolidasi demokrasi menjadi hal wajib. Menyambung kembali simpul-simpul pergerakan dan perlawanan. Perjungan kita bersandar pada kekuatan massa dan organisasi. Membangun kesadaran bersama dan memperjuangkan apa yang perlu diperjuangkan.
Sudah saatnya semua bangkit, sebab tiran juga telah bangkit.
Gerakan ‘Filosof’ tidak bisa dihentikan. Sebab, dia berpegang pada kata:“Dalam konteks penindasan, makna perang itu suci”.
*Pimpinan Umum (PU) LPM Arena. Nyambi sebagai buruh informal.