Setiap tahun Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bertambah, sementara upah buruh stagnan. KHL Yogyakarta selalu lebih tinggi dari upah minimum..
Lpmarena.com- Serikat buruh Yogyakarta menuntut penetapan besaran upah 2020 disesuaikan dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Tuntutan tersebut disampaikan Irsyad Ade Irawan dalam audiensi dengan anggota DPRD dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY di Gedung DPRD Yogyakarta, Jumat (18/10).
Audiensi diadakan untuk menyongsong penetapan upah buruh 2020 pada 01 November 2019 mendatang. Pertemuan diprakarsai oleh DPD KSPSI DIY, DPD SPN DIY, SPN DI, ASPEK DIY, FSPM Indonesia Regional Jateng DIY, FPPI Yogyakarta dan Sekolah Buruh.
Pukul 09.50 WIB, suasana gedung DPRD tampak masih lengang dan sepi. Hanya ada Humas DPRD dan seorang wanita yang telihat mempersiapkan kursi untuk audiensi.
Wartawan pun mulai berdatangan. Mereka disambut dengan tanggapan sinis dari Humas DPRD. Humas mengatakan tidak ada komunikasi terlebih dahulu dari pihak penyelanggara, serikat buruh, ke Humas bahwa akan ada undangan wartawan. Humas khawatir kursi yang disediakan tidak cukup menampung tamu, termasuk wartawan.
Jarum jam menunjukkan pukul 10.00, wakil dari serikat buruh memasuki ruang audiensi. Tetapi, pihak DPRD yang diundang belum hadir. Setelah menunggu 13 menit, Ketua Komisi D DPRD DIY, Kuswanto memasuki ruangan. Audiensi dimulai dengan mempersilahkan masing-masing perwakilan serikat buruh menyampaikan aspirasi dan tuntutannya.
“Upah murah berdampak kepada kemiskinan dan ketimpangan,” Irsyad Ade Irawan, perwakilan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), memulai pembicaraan.
Kata Irsyad, upah murah berbanding lurus dengan tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Yogyakarta. Baginya, problem ketimpangan itu tak kunjung menuai perbaikan signifikan.
“Upah adalah hak kontutisional dan hak hukum. Bagaimana agar Pemda DIY dan DPRD yang dibantu oleh seluruh elemen masyarakat mampu memutuskan hal itu (upah layak-red),” ucap Irsyad lantang.
Perwakilan ASPEK Indonesia, Aziz, juga mengatakan sumber dari segala sumber kemiskinan adalah upah. Menurutnya, jika upah tidak ditingkatkan, apapun program yang direncanakan untuk mengangkat garis kemiskinan menjadi omong kosong. Gagal.
“Semakin besar upah yang diterima pekerja, semakin besar kemakmuran yang dirasakan rakyat Indonesia,” jelas Aziz dengan suara sedikit meninggi.
Aziz menutup pembicaraannya dengan gertakan. Dia mengingatkan wakil rakyat yang ada di depannya tentang nilai sila pertama pancasila: semua warga Indonesia berketuhanan dan punya agama. Menurut Aziz, apapun jabatan yang diemban, apapun kedudukannya dan menyangkut hajat hidup orang banyak bersiaplah untuk dimintai pertangungjawaban.
“Manfaat apa yang bisa kita berikan dengan jabatan yang kita punya? Kalau memang jabatan yang kita emban tidak memiliki manfaat bagi orang lain, letakkan,” tegas Aziz.
Irsyad mengarahkan audiensi dalam tiga fokus tuntutan. Pertama, upah minimum kota tahun 2020 harus memenuhi KHL. Kedua, menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, sebagai dasar pengupahan karena faktanya tidak mensejahtrakan buruh. Ketiga, Gubernur harus memikirkan dampak upah murah, yakni mengenai kemiskinan, ketimpangan buruh. Serta banyak buruh yang belum memiliki rumah layak huni.
Dengan PP 78, kata Irsyad, kenaikan upah tidak akan signifikan, dan masih jauh dari KHL.
Usai Irsyad berbicara, Ketua Komisi D DPRD DIY kemudian mempersilahkan Alif Hartono dari Fakultas Ekonomi UII sebagai perwakilan dewan pengupahan buruh di bidang akademisi menyampaikan padangannya.
Alif mengatakan bahwa Gubernur justru salah jika di Yogyakarta tidak menerapkan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Sebab peraturan itu berlaku di seluruh Indonesia. “Jika kita memperbaiki ini haruslah sistematis. Tidak sporadis di Yogyakarta sendiri,” kata Alif.
Alif mengungkapkan bahwa tidak adanya pengakomodasian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada PP No.78.2015, itu salah. Dia memisalkan terkait upah tahun 2016. Menurut Alif, penetapan tersebut menggunakan upah minimum tahun 2015 ditambah Produk Domestik Bruto (PDB) dan disesuaikan dengan angka inflasi.
“Dan upah 2015 itu komponennya KHL. Di Yogya semuanya sudah seratus persen, tidak ada yang di bawah KHL,” Kata Alif.
Alif mempertanyakan hasil survei KHLyang dilakukan serikat buruh. Apakah sudah memenuhi 60 komponen, sesuai tercantum dalam Permenaker No. 13 Tahun 2012 tentang komponen kebutuhan hidup layak? Apakah survei kualitasnya sudah sampai mereka atau tidak?
“Dewan pengupahan sudah melakukan survei sampai merek. Kalau itu beda, otomatis hasilnya berbeda. Saya challange teman-teman mari kita buat naskah akademik yang bagus,” Alif menantang.
Irsyad menanggapi dengan lugas, menurutnya survei yang dilakukan dan naskah yang dibuat serikat buruh sudah ilmiah.
“Mereka juga golongan akademisi, ada yang sarjana hukum,” lantang Irsyad, meyakinkan keilmiahan survei KHL teman-temannya.
“Kami juga ilmiah dalam survei. Kami menggunakan instrumen yang Anda gunakan. Tapi, angkanya selalu beda,” tambah Irsyad.
Kata Irsyad, setiap tahun serikat buruh melakukan survei. Hasilnya, angka KHL selalu lebih tinggi dari upah minimum.
Irsyad mencontohkan hasil surveinya pada tahun 2019. Katanya, KHL tahun 2019 rata-rata 2,5 juta. Sementara, UMP Yogyakarta hanya berkisar pada angka 1,5 juta sampai 1,7 juta. “Selalu defisit. Selisihnya Rp900 ribu,” jelas Irsyad.
“Saya siap untuk sharing,” Alif Hartono merespon.
“Kalau mau buat naskah ya, monggo. Kami sering membuat tapi tak pernah diundang”, lagi Irsyad menjawab.
Audiensi selesai. Tuntutan serikat buruh tak menuai hasil.
Irsyad meresa tidak puas dengan pertemuan ini. Meski begitu, Irsyad mengaku akan melakukan banyak hal lagi demi upah layak bagi pekerja.
“Kami juga akan melakukan audiensi dengan DPRD Sleman dan DPRD Yogyakarta. Kami juga sudah melayangngkan audiensi kepada Gubernur agar audiensi ini bisa ditindaklanjuti,” tutup Irsyad.
Seusai audiensi, ARENA memintai keterangan Ariyanto Wibowo, Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Disnaker DIY. Dia mengatakan penetapan upah 2020 tetap akan menggunakan PP 78 Tahun 2015.
Reporter: Astri Novita
Redaktur: Hedi