Selain pertobatan teologis, manusia juga harus melakoni pertobatan ekologis. Mereka punya banyak dosa dengan alam. Tanggung jawab manusia bukan sekadar beribadah kepada Tuhan, tapi juga ibadah merawat lingkungan.
Lpmarena.com- Pola beragama manusia saat ini lebih mementingkan ibadah individualis, tidak peduli terhadap lingkungannya. Bahkan, di antara mereka malah menjadi aktor perusak lingkungan. Padahal, kewajiban menjaga lingkungan seharusnya tertanam dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran keagamaan, jelas Odent Muhammad, Front Nahdiyin untuk Kedaultan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Yogyakarta, dalam diskusi “Reaksi Umat Beragama Terhadap Kerusakan Lingkungan” di Selasar BC FISIPOL UGM, (23/10).
Kata Odent, semua ajaran agama menjunjung tinggi kelestarian lingkungan. Menghormati alam sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia.
Odent menyayangkan pergerakan dakwah keagamaan saat ini, terutama Islam, jarang mengangkat isu lingkungan dan lebih banyak bergerak pada hal-hal milenial, seperti fenomena hijrah. Mereka hanya memfokuskan diri pada isu kerohanian. Padahal, kata Odent, isu lingkungan seharusnya menjadi fokus. Sebab, dalam ajaran keagamaan manusia menjadi khalifah atau pemimpin yang menjaga bumi.
“Namun, sekali lagi, sepertinya kebanyakan umat muslim kurang menggemari dakwah-dakwah yang mengangkat isu lingkungan,” sesal Odent.
Menurut Odent, penghayatan manusia terhadap lingkungan itu ada dalam setiap perilaku keberagamaan. Dia mencontohkan dalam wudhu, seorang muslim harus sadar bahwa air yang digunakan adalah air suci dan menyucikan. Tentu, air suci itu diperoleh dari lingkungan baik. Jika lingkungan tercemar, sulit menemukan air suci untuk berwudhu.
“Dengan wudhu saja, kita bisa merenungkan betapa pentingnya lingkungan bagi kita (muslim),” terang Odent.
Andreas Kristianto, Komunitas Kristen Hijau, menganggap hal tersebut terjadi juga dalam pola beragama di lingkungannya. Menurutnya, cara beragama yang hanya fokus pada kerohaniaan mengakibatkan manusia abai isu lingkungan.
“Entah siapa yang memulai, tapi saya pernah mendengar pepatah bahwa tak masalah dunia ini hancur lebur, asalkan kita semua bisa bahagia di surga,” ujar Kristanto.
Menurut Kristanto, ada kesalahpahaman pada pepatah itu karena menjadikan manusia rakus terhadap dunia. Membuat manusia punya legitimasi untuk merusak alam dan keseimbangan lingkungan. Akibanya, manusia mengasingkan lingkungan dari kehidupan mereka.
Kristanto menilai, hal itu erat kaitannya dengan kesalahpahaman dalam menafsirkan Alkitab. Tak jarang, penafsiran ayat-ayat Alkitab hanya untuk melegitimasi ketamakan manusia. Kebanyakan ayat ditafsirkan dengan nalar perampas. Alam diposisikan sebagai objek eksploitasi manusia. Dan dilegitimasi sebagai nikmat dari Tuhan.
Merespon hal tersebut, Kristanto menyarankan agar Alkitab dimaknai dengan nalar pembebasan. Nalar yang menumbuhkan kesadaran bahwa manusia dan alam adalah sebuah komunitas. Karenanya, manusia tidak dibenarkan menyakiti atau menghancurkan makhluk lain dalam komunitasnya.
“Sebisa mungkin kita membaca ayat-ayat dengan menggunakan nalar pembebasan. Di mana nalar itu akan mengantar kita pada pemahaman kuat, bahwa manusia dan alam itu bershabat,” jelas Kristanto.
Lebih lanjut, Kristanto menekankan bahwa alam itu tanda wujudnya Tuhan. Selain dalam wujud Yesus, Tuhan juga mewujud dalam alam raya. Oleh karenanya, manusia tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap perwujudan Tuhan. Jika kesewenangan terhadap alam terus terjadi, sama saja membiarkan kesewenangan terhadap Tuhan.
“Maka dari itu, selain pertobatan teologis, manusia juga harus melakoni pertobatan ekologis. Mereka punya banyak dosa dengan alam,” tutup Kristanto.
Reporter: Fatan Asshidqi (Magang)
Redaktur: Hedi