Home KUPAS Antropologi Reflektif: Usaha Memahami Jiwa Patah Papua

Antropologi Reflektif: Usaha Memahami Jiwa Patah Papua

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Walaupun tuntutan Rakjat Indonesia keras supaja Irian Barat dikembalikan kepada Indonesia, tetapi imperialis Belanda tidak mau menjerahkannja, karena Irian Barat memberi harapan2 baik untuk keuntungan2 besar bagi kapital2 besar Belanda,” tukas D. N. Aidit dalam pidato sambutan ulang tahun PKI yang ke-33.

Kedudukan Belanda di Papua tentu saja penuh dengan kepentingan. Sebut saja, Belanda bersama Inggris telah mendirikan perusahaan Nederlandsch Niuw-Guinee Petroleum Mattaschappij (NNGPM) sejak 1935, era awal kapitalisme modern di Papua. Perusahaan tersebut berdiri untuk mengeksplorasi sumber minyak dan kandungan mineral di wilayah Papua.

Maka beberapa tahun setelahnya, D. N. Aidit dan tokoh-tokoh nasional lain, salah satunya Sukarno, mendakwa usaha Belanda untuk memerdekakan Papua hanyalah omong kosong.

Di kesempatan lain, Aidit juga pernah berbicara tentang Irian Barat dalam ceramahnya yang kemudian dibukukan berjudul Tentang Marxisme. Dengan analisis ekonomi-politik (ekopol), ia menyingkap persoalan sengketa Indonesia dan Belanda di Papua.

Baginya, usaha Belanda dalam memerdekakan Papua adalah sebuah usaha untuk menggoyah nasion Indonesia. Kemerdekaan Papua adalah kepentingan imperialis! Sudah seyogyanya buruh, tani, dan borjuis nasional sebagai kelas revolusioner melawan segala bentuk usaha imperialis untuk mengeksploitasi Indonesia.

Namun, baik Aidit maupun Belanda abai terhadap ragam variabel yang berkelindan dalam lokalitas Papua. Di tengah-tengah sengketa, suara lirih Papua tak pernah terlibat dalam obrolan apapun.

Karena keterbatasan kacamata ekopol itulah, dalam buku Jiwa yang Patah, I Ngurah Suryawan mencoba melihat Papua dengan pendekatan antropologi reflektif. Pendekatan tersebut menuntut Suryawan untuk menghayati narasi lokal Papua.

Sejarah Papua adalah Kekerasan

Pada tahun 1961, Belanda memang mendirikan Dewan Nugini untuk memerdekakan Papua. Usaha itu dibalas Sukarno dengan mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Intinya, Indonesia menolak pendirian negara boneka Belanda.

Ngotot-ngototan dengan Sukarno, bagi Belanda, Amerika dan blok barat lainnya bisa memperburuk keadaan. Ia berpotensi membuat Indonesia menghadap ‘kiri’, ke blok komunis, meski sebelumnya mendaku sebagai negara non-blok. Situasi global saat itu memang sedang dilanda perang dingin. Antara Blok Timur dan Barat, komunisme melawan liberalisme.

Maka dilakukanlah skema transisi. Belanda dan Indonesia mengadakan kesepakatan dalam New York Agreement tahun 1962. Hasilnya, kekuasaan Belanda di tanah Papua dialihkan ke United Nations Temporary Excecutive Authority (UNTEA). Indonesia mengambil alih administrasi UNTEA satu tahun setelahnya untuk kemudian mengadakan Act of Free Choice, penentuan nasib rakyat Papua di tahun 1969.

Masalah terjadi.

Persis di tahun 1963, tahun yang sama dengan pengambilalihan administrasi oleh Indonesia, pemerintah menempatkan TNI dalam jumlah besar-besaran di seluruh Tanah Papua. Ada 3 operasi militer dalam rentang waktu 1963-1969: Operasi Sadar (1965-1967); Operasi Barathayuda (1967-1969); dan Operasi Wibawa (1967-1969).

Suryawan—mengutip frasa John Rumbiak, seorang pegiat HAM Papua—menyatakan bahwa Papua mengalami “Jiwa yang Patah”. Frasa itu digunakan untuk menggambarkan isi hati, harkat dan martabat Papua yang dirampas dengan kekerasaan.

Suara Papua dibungkam oleh bunyi pistol ketika dikokang, oleh desing peluru! Melalui kekerasan itu, rakyat Papua ditodong, dipaksa memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Manipulasi suara Papua tidak berhenti sampai di situ. Selain ditodong dan diintimidasi untuk memilih menjadi bagian Indoneisa, mekanisme penentuan nasib Papua juga tidak dengan cara “satu orang, satu suara”. Dari perkiraan 800.000 warga Papua saat itu, yang dilibatkan dalam penentuan nasib hanya 1000 orang.

Dalam persepsi Indonesia, orang Papua dianggap “terlalu sederhana dan “terlalu primitif untuk memberikan suara (hlm. 47).

Begitulah Indonesia menganeksasi Papua. Yang terjadi setelahnya, tak ada beda. Operasi militer masih dilakukan. Korban jiwa berjatuhan. Jumlah militer di Papua hingga kini lebih banyak daripada guru.

Bualan Kesejahteraan dan Perpecahan

Selain pendekatan militeristik, kesalahpahaman dalam memandang Papua juga menjadi masalah. Pendekatan yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua, menurut Suryawan, didominasi oleh rezim pembangunanisme, bias kolonialisasi kebudayaan, stigma separatisme dan “gula-gula Otsus”.

Semuanya dilandasi dengan semangat menyederhanakan orang Papua dalam deretan tabel, grafik, dan kuisioner untuk dibaca oleh orang luar yang kemudian melakukan penetrasi dan eksploitasi.(hlm. 99).

Karenanya, Suryawan menawarkan pendekatan antropologi reflektif. Antropologi mengandalkan kedekatan peneliti dengan masyarakat setempat, serta penafsiran dan apresiasi atas pengalaman lokal. Dengan refleksi itulah antropologi memiliki peran dalam menegakkan identitas dan narasi lokal bersama rakyat Papua. Berangkat dari penafsiran dan apresiasi itu pula, buku ini memiliki banyak data terkait pengamatan visual Suryawan terhadap rakyat Papua.

Sebut saja, ketika Mama Yance, pedagang asli Papua, menggelar jualan yang beralas karung, di dekatnya justru ada hotel megah jaringan internasional dan deretan supermarket. Bagi Suryawan, pemandangan itu adalah bentuk Papua dalam interkoneksi global. Keterhubungan yang tidak menguntungkan masyarakat asli Papua.

Terhubungnya masyarakat Papua dengan dunia global ditandai dengan berdirinya British Petroleum, Freeport dan berbagai perusahaan multinasional. Di Tanah Papua, kehadiran perusahaan-perusahaan itu, kerap dibumbui dengan janji-janji pemberdayaan masyarakat Papua. Namun, nyatanya, listrik bahkan tidak menyala 24 jam di Kabupaten Bintuni, tempat British Petroleum berdiri.

Suryawan pun memiliki pengamatan lain terkait Pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) yang digadang-gadang menyejahterakan Papua. Otsus memungkinkan guliran dana triliunan rupiah mengalir deras di Papua. Kendati demikian, dana Otsus malah menjadi peluang bagi elit lokal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, Otsus justru menjauhkan Papua dari cita-cita kesejahteraan.

“Sa tetap hidup begini saja eee. Jual pinang dari siang sampai malam. Dong baku tipu saja di atas, tra pernah peduli dengan tong pu nasib ini,” kisah Mama Rika yang saya jumpai di Pasar Yotefa pada suatu sore. (hlm. 199).

Otsus menurut sebagian besar orang Papua hanyalah gula-gula politik dari pemerintah Indonesia. Sebagai gambaran, Otsus menawarkan bagian lebih besar  dari pendapatan yang diperoleh dari penyerapan sumber daya  di Papua, termasuk 70 persen dari industri minyak dan gas dan 80 persen dari pertambangan. Hal inilah yang dikeruk oleh elit-elit lokal.  

Selain itu, Otsus juga menjadi salah satu penyebab perpecahan: sentimen antar masyarakat, suku, dan marga. Fenomena ini dilihat Suryawan sebagai akibat serius dari kemunculan elit lokal yang mengklaim paling berhak atas jabatan di birokrasi dan menikmati sumber daya alam di daerah mereka.

Pada akhirnya, tawaran Suryawan terkait pendekatan antropologi reflektif perlu diperhitungkan, melihat permasalahan yang timbul akibat rezim militerisme dan bias pembangunan.

Kita perlu mendengar “nyanyi sunyi” orang Papua, segudang kisah dan narasinya, lantas melakukan transformasi atasnya.  

***

Suatu hari, tepatnya 4 September lalu, LPM Arena mengadakan diskusi publik berjudul Papua: Rasisme dan Persoalan HAM. 26 Agustus, Jhon Gobai, kawan saya sekaligus pengurus Aliansi Mahasiswa Papua mengajak kami, LPM Arena, mengadakan diskusi itu di UIN Sunan Kalijaga.

Banyak pertimbangan untuk menggelar diskusi tersebut. Suasana ketegangan akibat kejadian rasisme di Surabaya masih begitu terasa. Beberapa kali kami diperingatkan oleh berbagai pihak. Pagi hari pada tanggal 4 September, salah seorang pihak kampus bahkan mendatangi kami dan mengungkapkan keresahannya terkait diskusi yang akan berlangsung beberapa jam kedepan.

Tak lama kemudian, Jhon Gobai menghubungi saya lewat Wasap.

“Maaf, aku harus tinggalkan Jogja sejak kemarin pagi sehingga enggak bisa mengisi diskusi,”

“6 kawanku terancam penjara 20 tahun di Polda Jakarta,”

“Aku harus galang solidaritas,”

“Terima kasih untuk kemurahannya. Kau kawanku.”

Mendengar mereka, tentu bukan semata-mata agar kita menjadi juru selamat. Itu omong kosong. Tapi kita perlu bekerja bersama-sama untuk menemukan diri kita masing-masing. Dan bersandar pada itu semua, kita sama-sama manusia dan hanya itu yang patut kita jaga sampai mati.

Judul Jiwa yang Patah | Tahun Terbit April 2019 | Tebal 328 halaman | Ukuran 14 x 20 cm | Penulis I Ngurah Suryawan | Penerbit BASABASI | Peresensi Sidra