Home SASTRACERPEN Janji

Janji

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Nur Hidayah*

Aku sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Namun, lelaki berambut keriting dengan tubuh kurus-kering macam orang pakai narkoba itu terus saja memaksa. Perlahan ia mendekatkan batang rokok ke mulut dengan tangan yang otot-ototnya menonjol saking kurusnya. Diisapnya rokok itu kuat-kuat lalu mengembuskan asapnya sambil ber-huh pelan.

Bang Wito, begitu orang-orang biasa memanggil lelaki itu. Penampilannya menyiratkan betapa keras hidupnya di masa lalu. Tampang akhir tiga puluhan, dekil, dan tulangnya menonjol sana-sini, terutama di bagian pipi. Padahal, konon katanya, usia Bang Wito baru akhir dua puluhan.       

“Ayolah, Han! Kali ini untungnya gede banget kalo sukses. Satu semester, deh, kamu bisa hidup kenyang tanpa kerja. Kalau bukan kamu, nggak bakal kuajakin sampai begini. Aku tau kamu lagi butuh duit, kan? Ini namanya peduli!” Bang Wito menaruh rokok kemudian meraih gelas kopinya yang tinggal separuh.

            “Aku udah janji nggak bakal kerja begituan lagi, Bang. Lagian duit yang kemarin juga masih, kok. Cukuplah buat dua minggu lagi.”

Betapa pun besarnya iming-iming yang ia tawarkan, aku sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Bukannya merasa sok suci, justru aku sendiri sadar betapa brengseknya diriku. Tapi sebrengsek apapun, aku sering tidak tega melihat orang-orang meratap karena perbuatanku.

Pernah suatu malam aku tak bisa tidur. Hari itu lepas menipu untuk sekian kalinya, aku mendapat bayaran yang kira-kira cukup untuk hidup sebulan ke depan. Saat asyik-asyiknya menghitung lembaran-lembaran komisi, ucapan lelaki tua yang baru kutipu terngiang di benakku.

            “Anak saya tahun ini masuk kuliah. Makanya saya belikan laptop, biar dia belajarnya gampang. Biarpun bekas juga nggak masalah. Betapa bangganya saya, Mas. Biarpun bapaknya nggak pernah sekolah, tapi anak saya bisa masuk di perguruan tinggi. Tiga tahun saya nabung buat biaya dia kuliah dan beli laptop.  Makasih ya, Mas, anak saya pasti seneng.”

Mendadak tanganku terhenti, aku tidak bisa menghitung lagi. Lelaki tua itu menabung tiga tahun, dan hanya berakhir di penipu sepertiku. Laptop bekas yang kujual padanya itu bahkan dihargai lima ratus ribu saja sudah tinggi. Dan pikiranku melayang, teringat bapakku di kampung sana. Membayangkan bagaimana jika bapakku yang berada di posisi lelaki tua tadi, sudah pasti penipu itu akan kukejar dan kuhabisi.

Bukan, bukannya aku takut bakal dihabisi anak lelaki tua yang baru saja masuk kuliah itu. Tapi menyadari betapa brengseknya aku tega menipu orang tua, miskin, dan tak tahu apa-apa. Semenjak itulah, aku berjanji untuk tidak mau lagi mengiyakan tawaran Bang Wito.

Tapi hari ini, tiba-tiba penipu ulung itu datang ke kos. Tanpa aba-aba dia menyeretku ke warung kopi dan kembali menawari pekerjaan kotornya. Sudah lebih satu jam, dia terus berusaha merayu. Sesekali beralih ke topik pembicaraan lain untuk akhirnya kembali lagi membujukku. Hafal benar aku trik Bang Wito.

            “Halah, sok suci banget, sih! Abis kepentok apa otakmu tiba-tiba waras begitu?” selorohnya sambil mengambil rokoknya kembali.

            “Bukan gitu, Bang. Aku udah dapet kerjaan yang bener ini.” Aku berkilah.

Boro-boro dapet pekerjaan, cari lowongan saja susahnya minta ampun. Karena alasan yang sama itu pulalah dua tahun lalu aku tertarik untuk bergabung dengan Bang Wito. Saat itu aku baru saja kembali ke perantauan setelah pulang kampung pada masa libur semester.

Niatku pulang kampung kala itu adalah untuk meminta jatah pembayaran UKT. Kupikir bapak-ibuku hidup baik di kampung. Nyatanya, belum ada dua jam aku tiba, pintu rumah sudah digedor debt collector. Rupanya uang untuk biaya kuliahku selama ini berasal dari lintah darat. Tak sanggup lagi rasa jika harus ditambah membayar UKT semester ini. Maka hari itu selepas makan malam, alih-alih meminta uang, aku justru bilang baru saja mendapat beasiswa.

Seminggu kemudian aku kembali ke perantauan. Patah hati mengetahui kondisi keluargaku yang carut-marut finansialnya. Pikiran kacau, pontang-panting cari kerja di sana-sini, tapi tetap saja tidak akan cukup untuk membayar UKT. Di saat hampir putus asa dan memilih untuk ambil cuti satu semester, aku bertemu dengan Bang Wito.

Dengan mulut manisnya, dia berjanji uang UKT-ku akan beres, bahkan biaya kos dan makan pun dijamin aman. Dengan kondisi kacau seperti itu, tanpa pikir panjang aku mengiyakan saja tawarannya. Pekerjaannya pun gampang. Hanya pasang foto barang di sosial media dan menunggu orderan. Setelah dapat mangsa, mulailah beraksi dengan telepon, ATM, dan pengiriman barang fiktif.

Pada hari terakhir pembayaran UKT, Bang Wito menepati janjinya. Dan secepat itulah, aku resmi berbisnis dengannya. Kuliah tenang, hidup lancar, bahkan beberapa kali aku sempat mengirimkan uang ke kampung dengan dalih sisa uang beasiswa.

Perihal bapak tua pembeli laptop bekas itu lain urusan. Biasanya aku tak mengurus yang begitu-begitu. Tugasku mengurus penjualan online dan telepon provokatif saat pengiriman uang. Kebanyakan dari mereka yang tertipu tidak akan melapor dengan alasan sudah terhipnotis—malu. Bila ada yang melapor pun, yang berwajib geraknya seret jika tanpa pelicin. Sementara kami terlalu licin dan gesit.

Tapi sial betul aku harus bertemu bapak tua yang harusnya jadi urusan kawan Bang Wito. Sebelumnya memang pernah sekali-dua aku menangani tugas kawan Bang Wito itu, tapi tak pernah sampai membuatku gelisah sepanjang malam.

            “Sok mau nipu ini bocah ingusan. Buaya kok dikadalin. Nggak mempan!”

            Aku hanya garuk-garuk kepala,”Pokoknya aku nggak mau lagi, Bang!” tegasku.

            “Haih, kesurupan apa bocah satu ini? Toh, kamu juga nikmatin hasilnya kan? Kerja mudah, hasil melimpah. Udahlah, jujur sama diri sendiri. Kamu sendiri sebenernya lagi khawatir kan? Sebulan lagi jadwal bayar UKT, bayar kos dua minggu lagi. Dan jangan maksa bilang punya pekerjaan bener….“

Tepat saat itu, tiba-tiba ponselku berdering. Nama “Ibu” tertera di layar.

“Bentar.” Aku memotong kalimat Bang Wito sambil menggeser ikon telepon hijau di layar ponsel.

            “Assalamualaikum, Bu.”

            “Ceilah gaya bener pake salam-salam segala!” sindir Bang Wito mendengarku mengucap salam.

Kukepalkan tinju ke arahnya, kemudian melenggang pergi keluar warung. Bang Wito tahu benar memanfaatkan kondisi keluargaku untuk membuatku terus terikat padanya. Kudengar ia justu berkelakar melihat reaksiku.

Ketika ibu menelpon, artinya ada suatu hal penting yang harus disampaikan. Ibuku, perempuan yang hanya bisa menggunakan ponsel jadul untuk menelpon anaknya. Ia tidak akan sembarangan memencet tombol telepon.

Terus kutunggu-tunggu inti pembicaraan ibu padaku. Hingga akhir telepon, ia akhirnya berkata,“Nak, maaf, Ibu bulan ini belum bisa kirim uang. Bapakmu masuk rumah sakit.”

Setelah ibu menutup telepon, kembali kulangkahkan kaki ke dalam warung. Lelaki kurus itu sedang memainkan ponselnya sambil menyeruput kopi yang tinggal satu tegukan. Kuhela napas panjang.

            “Oke, aku mau, Bang.”

Bang Wito mengeluarkan senyum kemenangan. Bahkan sampai akhir pun aku tetap brengsek.

*Nur Hidayah, mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sumber gambar: gettyimages.com