Home BERITA Warisan Pemikiran Al Farabi dan Relevansinya di Masa Kini

Warisan Pemikiran Al Farabi dan Relevansinya di Masa Kini

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com- “Bagi Al Farabi logika adalah seni berpikir yang bisa mengantarkan seseorang kepada keyakinan mendalam akan suatu ilmu,” ujar Muhammad Muhibbudin dalam seminar bedah buku Mazhab Pemikiran Al Farabi karya Ian Richard Netton. Seminar tersebut diadakan di Teatrikal {erpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Kamis (21/11).

Muhibbudin selaku penerjemah buku Mazhab Pemikiran Al Farabi menjelaskan bahwa dalam Islam, kajian filsafat tidak sepopuler fikih atau tasawuf. Tetapi, Richard Netton berupaya membuka berkas-berkas lama yang menjadi warisan khazanah filsafat Islam yang pernah eksis di abad pertengahan.

Filsuf Islam, menurut Muhibbudin, memiliki jasa besar karena menjembatani peradaban barat modern dengan filsafat Yunani. Salah satunya Al Farabi yang saat itu banyak mengulas pemikiran Aristoteles yang hampir tereliminasi. Karena sering mengulas pemikiran Aristoteles, Al Farabi dijuluki Muallim Tsaani (Guru Kedua) setelah Aristoteles yang bergelar Muallim Awwal (Guru Pertama).

Lebih lanjut, Muhibbudin menjelaskan bahwa epistemologi Al Farabi lebih cenderung kepada positivisme Aristotelian, meskipun demikian pemikiran Al Farabi juga mengandung sedikit unsur neoplatonis yang membicarakan metafisika.

Al Farabi juga membagi akal menjadi dua dimensi; yaitu ontologis yang menjelaskan akal sebagai representasi realitas; dan epistemologis, akal sebagai sarana mencari pengetahuan.

Fahruddin faiz, selaku pembedah buku, menambahkan bahwa Al Farabi memiliki empat ciri khas.

Pertama adalahlogika untuk meyakinkan umat Islam bahwa filsafat dan agama tidak memiliki pertentangan. Al Farabi berpendapat bahwa kebenaran yang dibawa oleh agama dan filsafat akan bermuara pada kebenaran yang sama. Hanya saja filsafat menggunakan bahasa argumentatif, sedangkan agama menggunakan bahasa analogis.

Kedua adalah klasifikasi ilmu. Al Farabi memiliki cara tersendiri dalam dunia keilmuannya. Ia berpendapat bahwa yang menjadi kunci dari keilmuan adalah logika dan bahasa.

Ketiga adalah klasifikasi akal. Al Farabi membagi akal menjadi empat, yaitu akal potensial berupa kemampuan memikirkan sesuatu, akal aktual sebagai kemampuan memikirkan sesuatu secara mendalam, akal mustafad atau perolehan yang lebih dikenal sebagai ilmu laduni, dan akal fa’al yang dilimpahkan oleh Allah. Fahruddin Faiz mengibaratkan akal fa’al sebagai akal yang berkaitan dengan kedekatan seseorang kepada Allah.

Keempat adalahhubungan antara pengetahuan, tindakan dan kebahagiaan. Pengetahuan yang benar  akan memicu tindakan yang benar dan tindakan yang benar akan melahirkan  kebahagiaan.

“Banyak orang yang pintar, wawasannya tinggi, tapi kelakuannya rusak. Berarti ilmunya belum benar. Ilmu yang benar tidak akan mengizinkan kelakuan yang tidak benar,” terang Fahruddin Faiz.

Selain itu muhibbudin juga menjelaskan tujuan membahas Al Farabi pada masa sekarang. Tujuannya tidak lain guna menunjukkan bahwa dalam sejarah ilmu pengetahuan, ada pemikir seperti Al Farabi yang sangat berpengaruh pada masanya.

Senada dengan Muhibbudin, Fahruddin Faiz menyatakan wacana Al Farabi tidak akan pernah kehilangan relevansi karena berkaitan dengan kebahagiaan, eksistensi diri, dan metode berpikir.

Reporter: Muhammad Alfaridzi (Magang)

Redaktur: Sidra