Home BERITA Memerangi Disinformasi di Era Post-Truth

Memerangi Disinformasi di Era Post-Truth

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Selain mencemaskan masyarakat, disinformasi juga merugikan orang lain.

Lpmarena.com- Di era post-truth (pasca kebenaran), informasi bisa ditemukan dan datang dari mana saja. Sayangnya, banjir informasi itu justru membawa kepada kebenaran samar. Begitu penjelasan Zainuddin Muda Z. Manggilo, dalam diskusi bertajuk Mencari Kebenaran di Era Pasca-Kebenaran di Auditorium Mandiri Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, (27/11).

Agar tak tergerus oleh banjir informasi, Zainuddin, dosen Ilmu Komunikasi UGM, menghimbau pentingnya verifikasi mandiri dalam menerima informasi. Pasalnya, kata Zainuddin, di era ini sulit memperoleh berita yang faktual.

Menurut Zainuddin, kondisi ini disebabkan oleh banyaknya media abal-abal yang mengusung kepentingan tertentu. Media-media ini, kata Zainuddin tidak punya standar verifikasi yang jelas. Sehingga, memungkinkan penyebaran berita secara cepat dan disesuaikan dengan selera, bukan berbasis fakta. Tak jarang informasi hanya sensasional belaka.

Bagi Zainuddin, praktik media semacam itu sangat memperihatikan. Karena, dihadapkan pada kebiasaan masyarakat yang mudah membagi informasi tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu. Alhasil, terjadi kesimpangsiuran informasi.

“Inilah yang menyebabkan banyaknya berita yang tidak jelas beredar di kalangan masyarakat. Terutama golongan orang tua, yang lebih mudah langsung percaya,” Zainuddin melengkapi.

Septiaji Eko Nugroho, pemerakarsa Masyarakat Anti Fitnah (Mafindo), dalam forum yang sama, mengaku sudah memerangi disinformasi sejak tahun 2015. Berawal dari keresahan atas banyaknya disinformasi yang berseliweran di dunia maya. Maka dibentuklah forum diskusi di Facebook yang sampai saat ini masih berlanjut, dan menghasilkan situs cekfakta.com.

Meski begitu, Septiaji menilai aksinya itu tak efektif jika masyarakat masih belum disiplin verifikasi. Oleh karena itu, Septiaji bersama timnya juga aktif mengampanyekan budaya saring sebelum sharing. Harapnya, masyarakat teredukasi untuk ikut memerangi disinformasi.

Septiaji juga mengusulkan solusi mengecek informasi dengan aplikasi hoax booster tools, dapat diunduh di gawai. Alternatif lain, kata Septiaji, bisa mengecek fakta sebuah informasi di laman pengecek fakta: cekfakta.com, turnbackhoax.id, stophoax.id, dan media-media terpercaya lainya.

Selain itu, Septiaji menyarankan untuk memperkokoh kerukunan masyarakat sebagai alat pencegah seliweran informasi. Menurutnya, kerukunan masyarakat bisa menjadi tameng kuat. Karena disinformasi, kata Septiaji, mencul dari perselisihan dan polarisasi identitas di masyarakat.

Masih dalam diskusi yang sama, Fahri Salam, editor tirto.id, mengungkapkan beberapa ciri disinformasi: judul berita yang sensasional, isi berita yang propagandis, dan selalu mencatut nama tokoh sebagai penguat berita tersebut.

Ciri-ciri informasi seperti itu, kata Fahri, diproduksi oleh orang yang tak bertanggung jawab. Dan dijadikan bisnis yang tentu keuntunganya sangat menggiurkan.

“Keuntunganya lumayan. Ya, kisaran puluhan hingga ratusan juta rupiah,” tambah Fahri.

Menurut Fahri, praktik disinformasi dimanfaatkaan sebagai alat politik untuk menaikan pamor personal tertentu. Atau bahkan untuk mnyerang lawan politiknya. Kata Fahri, Presiden Brasil terpilih karena memanfaatkan informasi yang simpangsiur. Menurutnya, Indonesia sekarang ini juga dibuat kacau dan terbelah oleh praktik disinformasi.

Kata Septiaji, dampak disinformasi lainya adalah jeratan hukum hingga pembunuhan. Hal ini, menurut Septiaji amat berbahaya, karena selain mencemaskan masyarakat juga merugikan orang lain.

“Bahkan di India, ada sekitar 30 orang terbunuh karena disinformasi yang beredar di antara mereka,” Septiaji menguatkan argumennya.

Reporter: Fatan Asshidqi (Magang)

Redaktur: Hedi

Sumber foto: magdalena.co